TNI Harus Sinergis Menjalankan Peran Strategis Pertahanan Negara
Pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang berkeluh-kesah, atas keringnya info intelijen berpotensi menjadi ancaman bagi Indonesia, dianggap sebagai suatu sikap lebay pucuk komando militer di negeri ini. Bahkan, memperlihatkan kondisi institusi TNI masih cukup lemah untuk melindungi rakyat, serta rapuh dalam pertahanan negara. Mestinya, seluruh institusi negara harus mampu bersinergi dan bekerja optimal demi kepentingan bangsa, tanpa menyalahkan satu sama lain.
Ironisnya, statement Gatot Nurmantyo disaat TNI sudah genap berusia 71 tahun sangat kontradiksi dengan harapan masyarakat, yang menggantungkan keamanan diri dari institusi ini. Khususnya, terhadap ancaman negara asing maupun pihak-pihak yang ingin mengrongrong keutuhan NKRI. Selain itu, pernyataan kotroversi ini justru dapat melemahkan semangat para prajurit di lapangan, akibat merasa kurang dihargai dalam usaha menjalankan tugas-tugas negara, terutama untuk menjaga dan melindungi rakyat dari berbagai ancaman keamanan.
Pernyataan Panglima TNI terkait minimnya pasokan informasi penting yang sudah berlangsung lama, melalui wawancara dengan majalah Forum beberapa hari lalu sebagai sesuatu yang serius. Sejak era kepemimpinan Presiden Megawati Sukarno Putri hingga Presiden SBY, dinilai tendensius dan cenderung menyudutkan institusi negara lainnya di era Presiden Jokowi saat ini. Keluhan tersebut semakin menunjukkan kegalauan TNI dan komando militer itu sedang frustasi, bahkan terkesan paranoid dengan situasi yang kini mengancam negeri ini.
Padahal, dengan kemampuan militer Indonesia yang diperkuat ribuan prajurit intelijen dari bermacam kesatuan, serta didukung tehnologi tingkat tinggi yang dimiliki untuk mendeteksi potensi ancaman. TNI seharusnya mampu bekerja secara optimal, guna memproteksi negara dari ancaman yang ada, tanpa menyalahkan institusi lainnya karena ego sektoral. Termasuk bahaya ancaman baru berbentuk proxy war, atau perang tanpa penggunaan senjata yang dapat merusak sistem tanpa terlihat secara kasat mata. Sehingga berdampak pada polarisasi dalam kabinet seperti yang dicontohkan oleh Gatot Nurmantyo, sebagai salah satu akibat proxy war disamping penanganan imigran gelap yang diciduk saat hendak menyeberang ke Australia, serta beberapa ancaman lain dan belum mampu ditangani oleh TNI selaku pelindung negara.
Bahkan, Jenderal bintang empat itu juga menuding sejumlah politisi dan Parpol ikut terlibat menciptakan krisis, akibat ulah mereka yang mempekeruh suasana. Tetapi, siapa politisi busuk yang dimaksud tak pernah disebutkan namanya, sehingga berpotensi mencemarkan lembaga legislatif selaku wujud perwakilan rakyat dalam sistem tatakelola pemerintahan. Jika analisis ini disampaikan oleh seorang komandan tinggi TNI, pastinya institusi yang tidak lagi terlibat dalam politik ini, masih memiliki instiusi tajam dan masih mampu menganalisa perkembangan situasi politik. Walau pasca reformasi tahun 1998 silam, respektasi publik atas peran TNI mengalami degradasi tinggi, sehingga seluruh keistimewaan yang sempat melekat di zaman orde baru, sekarang hilang dan dihapus agar TNI fokus sebagai pelindung negara.
Termasuk peranan TNI dialihkan kepada Polri yang menimbulkan kecemburuan, dengan presepsi bahwa kepolisian kini seperti berada di atas angin atau dijadikan anak kandung, sedangkan TNI menjadi anak tiri. Bahkan, menurut Gatot Nurmantyo kendati membawahi tiga angkatan bersenjata RI (Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara). Namun, Panglima TNI tidak memiliki akses langsung ke Presiden. Malahan jika ingin bertemu dan melapor ke Presiden harus melalui Menteri Pertahanan.
Kegalauan Gatot Nurmantyo yang memperlihatkan kecenderungan psikologis TNI sedang mengalami gangguan, semoga saja bukan dipicu sikap kecemburuan berlebihan atas penempatan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN, karena perasaan adanya nuansa diskriminatif yang semakin kuat antara TNI dan Polri. Mengingat, BG yang ditunjuk oleh Jokowi berlatar belakang seorang Jenderal Polisi. Sehingga menimbulkan ketidakpuasan yang direfleksikan melalui statemen-statemen kontroversial kepada media. Mengingat, Presiden juga merupakan pimpinan tertinggi angkatan bersenjata di Indonesia, sehingga prasangka-prasangka buruk itu sebaiknya dikikis habis demi kepentingan lebih besar, demi bangsa dan negara.
Momentum peringatan HUT TNI ke 71 tahun ini, diharapkan dapat dimaknai baik dan menjadi introspeksi atas tugas dan beban berat yang diemban setiap prajurit, untuk menjaga bangsa ini dari bermacam potensi ancaman, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Meskipun perang terbuka dengan kemampuan persenjataan yang ada, ataupun perang tanpa senjata yang harus selalu diwaspadai dan diantisipasi sejak dini, melalui profesionalitas TNI serta dukungan segenap lapisan masyarakat, secara individu serta institusi di lembaga pemerintahan. Dirgahayu TNI…yakin dan percayalah kami rakyat selalu bersama dalam setiap nafas dan merahnya darah mu wahai para kesuma bangsa, penjaga negara yang setia melindungi tanah air ku beserta segenap lapisan masyarakat. Teruskan semangat dan cita-cita Jenderal Besar Sudirman yang rela dan ikhlas berjuang tanpa mengeluh, demi kewibawaan bangsa kita…
*) Muhammad Syukran, seorang pemerhati isu nasional yang berdomisili di Bireuen, Aceh)