Membaca Arah Angin Pernyataan Panglima TNI Soal Intelijen Negara
Pernyataan jujur dan terbuka Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam wawancara khusus yang diterbitkan Majalah Forum dalam rangka memperingati HUT TNI 5 Oktober 2016 lalu patut mendapat perhatian serius para pengambil kebijakan negara ini. Dalam pernyataannya, Nurmantyo menyatakan sudah sejak lama pihaknya tidak menerima informasi dari kalangan intelijen tentang ancaman negara. Bahkan, ketiadaan informasi tersebut sudah berlangsung lama, sejak dirinya berpangkat Kolonel.
Itu berarti, kondisi tersebut sudah berlangsung cukup lama, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan mungkin sejak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, dan beberapa kali pergantian pucuk pimpinan di Badan Intelijen Negara (BIN) dari Hendropryono, Sjamsir Siregar, Sutanto, Marchiano Norman, Sutiyoso, hingga Budi Gunawan. Mungkin inilah pernyataan pertama dan “vulgar” seorang pejabat negara setingkat Panglima TNI terkait kondisi intelijen dan Badan Intelijen Negara.
Di satu sisi, pernyataan Nurmantyo merupakan pengakuan jujur dan tulus terhadap kondisi gawat darurat yang dialami negara ini. Betapa tidak, informasi memegang peranan penting bagi keberlanjutan sebuah negara. Era ini, informasi tampil sebagai kekuatan besar, yang sering disebut sebagai “soft power”. Negara dipastikan terancam jika keputusan yang diambil tidak berdasarkan informasi akurat. Pada titik ini, Negara Indonesia bersyukur karena bisa selamat dari “malapetaka” akibat absennya informasi yang dilaporkan intelijen, seperti terbaca dari pernyataan Nurmantyo tersebut.
Dosen Pertahanan Universitas Indonesia (UI), Marsma (Purn.) Koesnadi Kardi, dalam perbincangan dengan penulis usai diskusi di kawasan Menteng Jakarta Pusat beberapa waktu lalu mengapresiasi sikap jujur Nurmantyo tersebut. Menurutnya, pernyataan Panglima TNI tersebut harus ditanggapi secara positif yaitu dalam kerangka perbaikan negara ke depan. Koesnadi mengatakan, melalui pernyataannya, Nurmantyo mau mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres bahkan berbahaya dalam pengelolaan negara ini.
Politis?
Pernyataan Nurmantyo itu memang patut disayangkan. Kita tidak tahu apa latar belakang atau alasan sampai pimpinan TNI itu menyampaikan kritik terbuka seperti itu. Mata kaum awam, yang selama ini tidak mengetahui kondisi badan intelijen kita selama ini akhirnya terbuka karena pernyataan Nurmantyo itu.
Nurmantyo bukan hanya melontarkan pernyataan kontroverial terkait kondisi intelijen negara. Dalam ingatan penulis, selama momentum peringatan HUT TNI, Panglima TNI juga mengeluarkan pernyataan kontroversial yaitu terkait hak pilih TNI.
Menjawab pertanyaan wartawan, Nurmantyo mengatakan, bahwa saat ini TNI netral dalam pemilihan umum (pemilu). Namun, netralitas (hak pilih) TNI, kata Nurmantyo, bisa saja berubah seiring keputusan politik DPR dan pemerintah. TNI, kata Nurmantyo, menjalankan keputusan politik yang diambil pemerintah dan DPR.
Walaupun terlihat adanya keikhlasan TNI untuk mengikuti keputusan politik tersebut, namun pernyataan Nurmantyo bisa membuka kembali diskurus keterlibatan TNI dalam politik. Apakah pernyataan tersebut keluar dari “keinginan terpendam” sang Jenderal untuk terlibat dalam politik seperti pada era Orde Baru melalui Dwifungsi ABRI (TNI)?
Penulis berharap, Panglima TNI seharusnya “mengunci” keterlibatan TNI dalam politik dan pemilu. Sebagai Panglima, Nurmantyo harus memastikan bahwa keputusan tentang hak pilih TNI dan keterlibatan TNI dalam politik merupakan harga mati, yang tidak boleh dibuka kembali. Betapa tidak, keputusan tersebut dalam rangka membangun TNI yang professional, kuat, dan disegani.
Pernyataan Nurmantyo yang menohok BIN, hemat saya, sudah keluar rel. Tidak etis bila Nurmantyo mengeritik lembaga lain, sementara di internal TNI sendiri masih memiliki banyak masalah yang membutuhkan perbaikan yang cepat dan tuntas.
Apakah pernyataan tersebut hanya upaya untuk meningkatkan posisi “tawar” Nurmantyo, yang diisukan segera diganti? Sejauh ini memang pihak Istana, khususnya Presiden Joko Widodo, belum mengeluarkan pernyataan terkait “curhat” Nurmantyo di sebuah media cetak tersebut. Beberapa hari setelah membaca komentar Nurmantyo yang dikirim seorang teman, penulis mengirim whatsApp kepada pengamat sosial politik, Hendardi.
Dalam pernyataannya, Hendardi mengatakan, pernyataan Panglima TNI tentang lemahnya kinerja BIN merupakan cerminan kontestasi antara lembaga intelijen negara yang justru membuka ancaman baru karena mengumbar situasi dan kekuatan intelijen negara secara terbuka.
Dia mengatakan, tidak sepantasnya keluhan semacam itu disampaikan secara terbuka karena membahayakan pertahananan negara. TNI juga tidak boleh terus-menerus merasa lebih supreme atau lebih unggul karena Konstitusi dan peraturan perundang-undangan sudah mengatur tugas dan fungsi masing-masing lembaga negara, termasuk dalam soal intelijen.
Ide pembentukan BIN dimaksudkan untuk memusatkan segala informasi keluar dari satu pintu dan dikelola secara lebih akuntabel dibanding intelijen di masa lalu. Jadi BIN adalah antitesis dari unit-unit intelijen di banyak institusi, terutama di TNI yang nyaris tidak bisa diakses, dikontrol, dan cenderung represif.
Intelijen di bawah BIN adalah cara untuk memaksa kinerja intelijen bekerja dengan cara-cara non militer. Bagi Hendardi, aspirasi Panglima TNI tersebut sudah offside dan menggenapi daftar keinginan buruk TNI yang sudah banyak dikemukakan di ruang publik untuk kembali mendominasi tugas keamanan termasuk kehendak untuk kembali berpolitik.
Karena itu, alangkah bijaknya bila Panglima TNI menghormati aturan yang ada dan bekerja tanpa “mengintervensi” instansi lain. Nurmantyo harus memberi kepercayaan kepada Kepala BIN yang baru, Budi Gunawan, yang sudah dipilih Presiden Jokowi, untuk menjalankan tugasnya.
Seharusnya, Panglima TNI mendukung dan memberi masukan secara tertutup, tanpa harus diumbar-umbar ke publik. Negara ini tidak bisa dijalankan oleh satu institusi saja, tetapi membutuhkan sinerji antarinstansi. Yang paling penting, tidak boleh ada rasa superior dan merendahkan instansi lain.
*) Very Herdiman, editor senior, tinggal di Jakarta.