Swa-Radikalisasi, Fenomena Baru Terorisme
Ivan Armadi Hasugian, pelaku bom di Gereja Katolik Santo Yosep Medan 28/8/2016) menguak sebuah fenomena baru dalam dunia terorisme yaitu adanya swa-radikalisasi (self radicalization). Aktivitas pelaku di dunia maya membentuk pelaku menjadi radikal dan terdorong melakukan teror. Profil pelaku seperti suku, keluarga, usia, jaringan dan ketrampilan yang dimiliki akan sangat tidak meyakinkan bahwa pelaku menjadi teroris, namun fakta berbicara lain.
Bukan hanya kali ini saja bahwa aksi teror didorong oleh aktivitas pelaku di dunia maya / internet. BNPT pada bulan Agustus 2015, melalui pejabatnya, Agus Surya Bakti, di Jambi menyatakan bahwa tren munculnya bibit terorisme baru-baru ini karena banyak yang belajar agama dari internet. Dijelaskan pula oleh Agus SB bahwa 47% orang belajar agama dari internet.
Pelaku terorisme seperti Agus Abdillah (kasus Beji), yang tertangkap pada 17 September 2012 oleh Tim Densus-88/AT Mabes Polri, terbukti pada fakta persidangan bahwa dia merasa terpanggil untuk berjihad setelah belajar melalui internet. Fungki Isnanto, pelaku teror bom di Lumajang pada 1 Juni 2013 mengaku mempelajari cara membuat bom dan merencanakan pengembomannya melalui internet.
Orang yang mempunyai paham radikal berpotensi melakukan teror. Untuk melakukan teror, tidak cukup hanya dengan paham radikal. Selama tidak dorongan dan motivasi kuat, peralatan, logistik, akses, dan sasaran maka teror tidak akan terjadi.
Daya pemersatu paham radikal bisa dipicu oleh bermacam-macam hal. Fanatisme, politik, bahkan ekonomi bisa menjadi daya pemersatu paham radikal. Abu Sayyaf di Filipina yang berkali-kali melakukan penyanderaan WNI disatukan oleh fanatisme dalam paham radikal tetapi kemudian melakuka teror untuk motif ekonomi, yaitu mengharapkan tebusan.
Kelompok radikal di Papua (OPM) mempunyai daya pemersatu dan tujuan politik untuk melepaskan diri dari Indonesia dan merdeka, sehingga melakukan teror termasuk melakukan serangan terhadap orang-orang yang dianggap musuh. Bahkan pekerja infrastruktur ditembak supaya tidak terjadi pembangunan di wilayah tersebut.
ISIS menjadi kelompok radikal yang ideologinya menyebar dengan cepat dan mendapatkan banyak simpatisan termasuk dari Indonesia. Simpatisan ISIS dari Indonesia cukup militan karena sebagian besar migrasi dari kelompok radikal yang telah eksis dan dengan faktor pemersatu yang sama.
Beberapa sel/kelompok radikal di Indonesia berbaiat setia kepada ISIS karena dianggap mempunyai tujuan dan paham yang sama. Aksi teror oleh kelompok ini sudah cukup banyak terjadi di Indonesia terutama kelompok Jamaah Ansarut Daulah Khilafah Nusantara yang berafiliasi dengan Bahrun Naim di Suriah dan Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso yang telah tewas di Poso.
Berkembangnya teknologi mendorong fenomena baru dalam terorisme. Orang bisa mengalami radikalisasi secara mandiri dengan bantuan konten-konten yang diperoleh dari internet. Internet menguatkan dorongan untuk melakukan teror dengan menyediakan konten-konten teknis melakukan teror seperti pembuatan dan penggunaan bom.
Orang bisa berperilaku radikal dan menjadi teroris tanpa adanya afiliasi dengan kelompok lain, tanpa adanya pelatihan, tanpa adanya jaringan. Pelaku menjadi radikal karena aktivitas di internet dan akhirnya menjadi teroris lone wolf. Hal ini sangat mengejutkan dan hampir tidak bisa dipercaya terutama oleh keluarga dan lingkungan pelaku.
Orang yang sedang haus akan eksistensi diri ketika menemukan konten-konten yang dapat mengisi kekosongan akan ketagihan dan cenderung akan mengaplikasikan hal yang diperolehnya. Lebih berbahaya lagi jika teryata orang tersebut menemukan sosok idola yang membimbing dan mengarahkan untuk melakukan sesuatu, termasuk teror.
Penggunaan internet yang sangat pesat dan sulit dikendalikan menjadi alat efektif bagi kelompok-kelompok radikal menambah simpatisannya. Pola perekrutan anggota yang sebelumnya dilakukan dengan satu-per-satu bertemu langsung yang didahului dengan man to man marking, sekarang bisa difasilitasi oleh internet.
Internet menjadi alat perekrutan dan penyebaran paham radikal sekaligus menjadi instuktur untuk melakukan teror. Internet ibarat jala yang siap menangkap calon-calon pelaku teror yang masuk dan terperangkap dalam entitas tersebut.
Negara mempunyai peran besar dalam mencegah swa-radikalisasi. Tugas dan wewenang dari Kementrian Kominfo seharusnya bisa untuk membendung konten-konten yang bersifat menyebarkan paham radikal, merekrut anggota kelompok radikal, dan tutorial aksi teror. Lembaga negara lain seperti Kementrian Negara dan Kementrian Pendidikan dapat mengambil perannya dalam menguatkan nilai-nilai humanisme, pluralisme, dan damai kepada generasi muda sehingga terbentengi dari paham-paham radikal yang dapat masuk dari mana saja.
Keluarga menjadi entitas kunci untuk mencegah terjadinya swa-radikalisasi. Komunikasi dan interaksi yang baik dalam keluarga akan mencegah anggota keluarga mencari eksistensi dari sumber-sumber yang tidak jelas. Selain itu keluarga bisa melakukan deteksi dini dan cegah dini atas penyebaran paham radikalisasi di lingkup rumah tangga.
Swa-radikalisasi tidak akan hanya berhenti pada aksi bom di Medan. Internet akan menjadi alat yang efektif dan susah dikendalikan untuk menyebarkan paham-paham radikal. Generasi muda yang kosong, memerlukan eksistensi, sakit hati, atau akan melakukan balas dendam dengan mudah terperankap dalam jaring radikalisasi secara mandiri di internet.
Selama tidak ada langkah strategis mencegah konten-konten di Internet yang dapat menjadi bahan swa-radikalisasi terhadap penggunanya maka akan banyak orang disekitar kita yang sebelumnya baik-baik saja menjadi radikal dan berbahaya. Akhirnya masyarakat hanya terkaget-kaget dan tidak percaya bahwa orang tersebut menjadi pelaku teror, bahkan menganggap bahwa hal tersebut adalah skenario pihak tertentu.
*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme, alumnus Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia