Teror Bom di Medan Akibat Swa-Radikaliasi

Teror Bom di Medan Akibat Swa-Radikaliasi
sumber: kompas.com

Aksi teror dengan menggunakan bom dengan daya ledak rendah terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep Kota Medan (28/08/2016). Pelaku bernama Ivan Armadi Hasugian gagal melakukan aksinya dan hanya membuat sedikit luka pada lengan kiri Pastor Albert S Pandingan. Bom rakitan dengan pipa warna kuning tersebut dibawa pelaku sambil menghunus pisau menuju Pastor Albert yang akan memulai khotbah. Pastor berhasil diselamatkan oleh umat dan pelaku diamankan.

Hasil dari interogasi sementara pelaku mengaku bahwa ada orang yang menyuruh dia untuk melakukan aski penyerangan tersebut. Aksi tersebut bisa dikatakan sebagai aksi bom bunuh diri mengingat bom dalam pipa warna kuning berada dalam tas yang digendongnya. Aksi bom bunuh diri pasti mempunyai dorongan yang sangat kuat, sehingga mampu membuat pelaku melakukan aksi hingga mengorbankan nyawanya.

Aksi teror dengan bom bunuh diri sebagian besar bermotif ideologi. Aksi teror, yang dilakukan oleh kelompok maupun perorangan (lone wolf) dengan motif selain ideologi biasanya tidak dengan model bunuh diri. Hal ini seperti terjadi pada aksi bom di Mall Alam Sutera, 28 Oktober 2015.  bermotif ekonomi (pemerasan). Aksi teror dengan motif ekonomi (pemerasan) tentu berbeda dengan aksi teror dengan motif ideologi. Aksi teror motif ekonomi skalanya kecil dan cenderung hanya untuk menakut-nakuti. Berbeda dengan aksi teror dengan motif ideologi, pelaku tidak segan untuk mengorbankan nyawanya demi keyakinan yang sudah dia miliki.

Dari karakteristik aksi teror dapat diketahui pesan dan motif yang ingin disampaikan. Aksi teror yang dilakukan hingga mengorbankan nyawa pasti karena dorongan yang sangat kuat. Saat ini motif yang dominan untuk mendorong orang melakukan teror hingga mengorbankan nyawa adalah ideologi. Keyakinan yang kuat untuk mendapatkan kemuliaan pasca kematian tersebut yang mendorong pelaku melakukan aksi hingga mengorbankan dirinya sendiri.

Aksi teror dengan motif ekonomi atau politik biasanya menggunakan bom kiriman atau atau bom yang diletakkan tanpa mengorbankan pelaku. Dorongan bermotif ekonomi atau politik ini masih bersifat keduniawian sehingga belum sampai pada tahap rela mengorbankan nyawanya sendiri demi tujuannya.

Kejadian di Medan ini kemungkinan besar bermotif ideologi dan termasuk lone wolf terror, aksi teror yang dilakukan sendiri tanpa afiliasi dengan kelompok atau orang lain. Jika pelaku benar-benar sendirian dan tidak mempunyai afiliasi dengan kelompok manapun dalam melakukan aksinya maka kemungkinan pelaku mengalami radikalisasi secara mandiri didorong oleh informasi yang didapatkan dengan mudah dari internet. Pelaku kemungkinan mengalami swa-radikalisasi, adanya pengaruh radikal yang tertanam oleh aktivitas mandiri.

Aksi teror di Gereja Katolik Santo Yosep Medan menguat dikategorikan lone wolf terror dengan motif ideologi. Dorongan melakukan aksi ini bisa timbul karena bersimpati terhadap kelompok ISIS atau tafsir ideologi yang dangkal sehingga terbentuk paham radikal dalam pemikirannya.

Usia pelaku yang tergolong masih muda bisa menggambarkan kelabilan dan pemikiran pendek yang dipicu dengan kebutuhan eksistensi sehingga terjadilah aksi tersebut. Aksi teror seperti yang terjadi di Perancis bisa menjadi inspirasi pelaku untuk melakukannya di Indonesia (Medan).

Aksi-aksi ini tidak akan berhenti di Medan saja. Kemungkinan terjadi aksi lone wolf terror di Indonesia masih besar. Masih banyak orang yang berpotensi menjadi pelaku lone wolf terror. Kelompok radikal di Indonesia yang tercerai berai pasca tewasnya Santoso dan kelompok radikal alumni Suriah yang terus ditekan dan diawasi akan menjadi kelompok kecil dan individu-individu yang bergerak sendirian.

Orang yang belum pernah bergabung dengan kelompok radikal bisa menjadi pelaku lone wolf terror hanya dengan bantuan internet. Gabungan motif ideologis dan balas dendam karena sakit hati atas kekalahan kelompok pujannya menjadi dorongan kuat untuk melakukan aksi lone wolf terror yang sulit dideteksi.

Untuk mencegah aksi lone wolf terror perlu keterlibatan masyarakat. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan aparat keamanan dan intelijen. Calon pelaku lone wolf terror berada di tengah-tengah masyarakat. Sebelum menjadi pelaku, dia akan tampak biasa-biasa saja dan normal di masyarakat. Namun hari-hari terkahir sebelum pelaku melakukan aksinya akan tampak perubahan seperti menjadi menutup diri, menghilang, atau bersembunyi karena sedang menyiapkan peralatan untuk aksinya.

Masyarakat harus waspada dan menangkap perubahan ini. Siapapun dapat menjadi pelaku lone wolf terror. Dorongan untuk melakukan aksi teror mudah terjadi terutama dengan bantuan informasi yang tersebar di internet. Pemerintah harus melakukan pencegahan dengan menghambat konten yang mengarah pada narasi radikal. Tindakan pemberantasan teror justru bisa menjadi pemicu simpati dan dorongan untuk melakukan aksi selanjutnya.

Kontra narasi radikal harus dilakukan secara sistematis oleh pemrintah melalui kewenangannya dalam mengatur arus informasi, dan dilakukan oleh masyarakat secara luas sebagai entitas terbesar yang mampu melakukan kontrol sosial lebih efektif. Tanpa kerjasama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat maka lone wolf terror tidak akan berhenti di Medan.

*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme, alumnus Program Pascasarjana bidang Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.

Print Friendly

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent