Strategi Korporasi Menghadapi Unjuk Rasa dan Konflik Horizontal

Strategi Korporasi Menghadapi Unjuk Rasa dan Konflik Horizontal

Salah satu tantangan berat bagi korporasi adalah menghadapi masalah sosial. Kerap kali masalah sosial seperti unjuk rasa dan konflik horizontal datang tiba-tiba sehingga melumpuhkan operasional korporasi. Unjuk rasa bisa dilakukan oleh pihak internal seperti karyawan, bisa juga dilakukan oleh pihak eksternal seperti masyarakat sekitar. Konflik horizontal bisa mengganggu korporasi jika dalam konflik tersebut ternyata korporasi dianggap sebagai oposisi salah satu pihak. Masalah sosial bagi korporasi sering dianggap sepele, namun dampak masalah sosial bisa mengakibatkan korporasi tidak berdaya.

Unjuk rasa yang terjadi pada korporasi secara umum disebabkan oleh tiga hal. Pertama adalah masalah ketenagakerjaan. Masalah klasik yang terjadi pada ketenagakerjaan berkaitan dengan pendapatan dan status kekaryawanan. Pendapatan biasanya berkaitan dengan gaji pokok yang tidak sesuai standard, THR, dan uang lembur. Status kekaryawanan yang sering menjadi permasalahan berkaitan dengan status kontrak yang lamanya melebihi aturan sehingga tidak diangkat sebagai karyawan tetap, dan pemutusan hubungan kerja yang dianggap tidak sesuai aturan.

Tenaga kerja alih daya (outsourcing) yang tidak sesuai dengan regulasi banyak terjadi di Indonesia. Nasib tenaga kerja alih daya yang terkatung-katung memicu rasa ketidakadilan dan solidaritas sehingga menciptakan daya pemersatu untuk melawan perusahaan. Dan biasanya yang menjadi sasaran unjuk rasa dari kasus tenaga kerja alih daya ini adalah perusahaan yang menggunakan jasanya. Perusahaan pengelola tenaga kerja alih daya justru sering bersembunyi dan melemparkan masalah ke penerima jasa. Tidak jarang perusahaan pengelola tenaga kerja memprovokasi karyawannya untuk menuntut hak yang lebih ke perusahaan penerima jasa tenaga kerja alih daya.

Masalah kedua yang sering menjadi bahan untuk unjuk rasa adalah berkaitan dengan lingkungan. Masalah lingkungan yang kompleks termasuk di dalamnya tanggung jawab sosial korporasi terhadap masyarakat di sekitarnya. Limbah dan pencemaran sebagai dampak operasional korporasi termasuk salah satu masalah lingkungan penyebab unjuk rasa.

Masalah ketiga adalah lahan. Permasalahan lahan banyak terjadi di korporasi yang bergerak di bidang infrastruktur, pertambangan, perkebunan, HTI, dan bidang lain yang memerlukan lahan luas untuk aktivitasnya, termasuk pabrik otomotif. Tata ruang dan tata wilayah yang masih belum baik di Indonesia membuat banyak kepentingan dan mafia lahan bermunculan. Tidak jarang masyarakat pemilik lahan dan korporasi justru diadu domba. Permasalahan lahan ini sering kali memicu konflik horizontal yang dampaknya luar biasa seperti kasus konflik lahan di daerah Lampung.

Deteksi Dini dan Cegah Dini

Unjuk rasa dan konflik horizontal tidak muncul tiba-tiba. Aksi unjuk rasa dan konflik horizontal pada tahap pertama akan didahului oleh noise. Keluhan-keluhan, rasa ketidakpuasan, atau kritikan di arus bawah ini menjadi penanda bahwa ada sesuatu masalah. Korporasi sering menganggap remeh adanya noise, terutama korporasi yang merasa sudah besar dan mempunyai sistem pengamanan dan jaringan dengan aparat keamanan yang besar. Pengabaian inilah yang menyebabkan penguatan noise menjadi voice.

Voice sebagai implikasi ketidakpuasan dilakukan lebih kuat daripada noise. Dalam tahap ini ketidakpuasan atau permasalahkan sudah terlihat jelas misalnya melalui laporan, aduan, atau komplain secara tertulis. Voice sudah terjadi secara sistematis dan terbuka. Jika tahapan voice tidak dikelola dengan baik maka yang terjadi adalah aksi unjuk rasa. Di tingkat umum masyarakat,  voive bisa menjadi konflik horizontal.

Korporasi sebagai lembaga seharusnya mampu melakukan deteksi dini atas noise dan voice. Jika noise dan voice bisa dideteksi sejak dini maka langkah-langkah pencegahan bisa lebih mudah dilakukan dibandingkan jika sudah terjadi aksi unjuk rasa. Aksi unjuk rasa, apalagi yang sudah disusupi oleh pihak luar, melibatkan banyak kepentingan. Penanganan menjadi rumit, perlu pihak ketiga karena korporasi sudah tidak dipercaya lagi, Ujung-ujungnya dalah biaya penanganan yang cukup tinggi.

Hubungan vertikal di korporasi yang baik akan memudahkan deteksi dini dan cegah dini atas unjuk rasa. Penanganan noise dan voice secara cepat akan mencegah unjuk rasa terjadi. Biaya pencegahan lebih kecil daripada biaya penanganan unjuk rasa.

Kerentanan Korporasi

Ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal mempunyai korelasi dengan kerentanan korporasi. Dalam menghadapi ancaman, korporasi harus memperhatikan 3 faktor dari kerentanan yaitu daya tarik, kemudahan diserang, dan dampak. Dengan mengecilkan daya tarik, kemudahan diserang, dan dampak maka unjuk rasa dan konflik horizontal akan sulit terjadi pada korporasi. Minimal jika sudah terjadi maka akan lebih mudah untuk ditangani.

a. daya tarik

Semakin tinggi daya tarik korporasi maka akan semakin tinggi peluang unjuk rasa dan konflik horizontal terjadi. Unjuk rasa yang ditunggangi oleh pihak ketiga seperti organisasi politik akan mengarah pada korporasi yang sudah mempunyai nama besar. Hal ini mempunyai tujuan untuk menaikkan nilai popularitas pelaku,

Selain itu daya tarik korporasi dimainkan oleh pelaku untuk berhadapan dengan media masa. Korporasi besar akan sangat terganggu citranya jika ada unjuk rasa. Citra korporasi, terutama bagi perusahaan terbuka, sangat mempengaruhi nilai saham.  Daya tarik ini akan menjadi permainan para pelaku unjuk rasa guna mewujudkan kepentingannya.

Salah satu upaya untuk mencegah unjuk rasa dan konflik horizontal adalah dengan memperkecil daya tarik, walaupun hal ini sangat sulit terjadi terutama bagi perusahaan go publik. Langkah minimal bagi korporasi adalah dengan membagi risiko dan sektor bisnis kepada anak perusahaan sehingga daya tarik korporasi akan terbagi. Masalah di anak perusahaan sebaiknya diselesaikan di tingkat anak perusahaan, campur tangan induk perusahaan (holding company) justru akan dimanfaatkan oleh pelaku unjuk rasa untuk memudahkan kepentingannya tercapai.

b. kemudahan diserang

Jangan membayangkan istilah “kemudahan diserang” seperti dalam suatu peperangan saja. Korporasi yang mempunyai celah-celah “sasaran tembak” maka nilai kemudahan diserangnya akan tinggi. Contoh dari faktor kemudahan diserang ini adalah aspek legalitas yang lemah atau adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi.

Sistem kontrak kerja yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku akan menjadi celah bagi pelaku unjuk rasa untuk menyerang perusahaan. Selain unjuk rasa, pihak oposisi juga bisa melakukan perlawanan hukum. Pelanggaran hukum lainnya seperti pencemaran lingkungan atau penyerobotan lahan juga menjadi makanan empuk bagi oposisi korporasi. Satu-satunya jalan untuk meminimalkan nilai kemudahan diserang adalah dengan mentaati aturan dan perundangan yang berlaku.

Selain dari sistem legalitas, korporasi perlu membangun sistem pengamanan yang baik agar tidak mudah diserang. Sistem pengamanan secara fisik seperti adanya tembok dan security guard masih belum cukup untuk menghadapi ancaman unjuk rasa. Korporasi harus melengkapi sistem pengamanan dengan social protection, yaitu sistem pengamanan sosial yang terbangun karena adanya hubungan baik antara korporasi dengan entitas disekitarnya.

Masyarakat yang mempunyai hubungan baik dengan korporasi akan menjadi ujung tombak dalam deteksi dini dan cegah dini atas ancaman korporasi. Social protection harus dibangun secara berkelanjutan dan dilakukan dengan tulus. Investasi sosial ini tidak bisa dipetik hasilnya dalam waktu dekat, tapi dalam jangkan panjang dampaknya akan sangat besar.

c. dampak

Unjuk rasa dan konflik horizontal pasti akan membawa dampak bagi korporasi. Dampak yang timbulkan bisa macam-macam seperti dampak operasional dan dampak sosial, yang semuanya akan berujung pada cost. Korporasi harus mempunyai strategi dan skenario untuk melakukan deteksi dini, pencegahan dini, dan penanganan unjuk rasa / konflik horizontal.

Simulasi tanggap darurat dan sistem business continuity process (BCP) yang baik dan teruji akan meminimalkan dampak jika terjadi gangguan terhadap korporasi. Contohnya adalah adanya unjuk rasa dan mogok kerja yang bertujuan ingin mengentikan operasional. Jika perusahaan mempunyai skenario BCP yang baik maka jika terjadi unjuk rasa operasional tetap dapat berjalan. Strategi BCP ini tentu sudah dikuasai oleh masing-masing  korporasi.

Tanggap Strategi

Untuk menghadapi ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal pada korporasi maka perlu disiapkan rencana tanggap startegi. Rencana  tersebut sebaiknya terdiri dari empat langkah minimal yaitu : pencegahan, persiapan, tanggap darurat dan pemulihan.

Pencegahan terhadap ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal dapat dilakukan pada saat potensi ancaman tersebut pada tahap voice dan noise. Penanganan yang cepat dan responsif atas noise dan voice dapat efektif mencegah unjuk rasa. Selian itu penaganan sejak dini akan menutup adanya pihak-pihak lain yang ingin memperkeruh suasana.

Langkah persiapan dilakukan jika noice dan voice tidak bisa tertangani. Persiapan yang haris dilakukan misalnya menyiapkan mediator/negosiator, sistem pengamanan, BCP, logistik, perekaman kejadian dan lain-lain. Persiapan dilakukan terutama untuk mencegah kepanikan. Selain itu dengan persiapan yang matang akan memperkecil dampak dari ujunk rasa dan konflik horizontal yang terjadi pada korporasi.

Tangap darurat adalah langkah korporasi pada saat menghadapi unjuk rasa dan konflik horizontal. Pada fase tanggap darurat peran dari mediator / negosiator dan aparat keamanan sangat penting. Logistik dan tindaka BCP dijalankan agar operasional tetap berjalan jika memungkinkan. Tindakan tanggap darurat sangat penting untuk mennetukan apakah unjuk rasa dan konflik horizontal akan membesar atau tidak.

Fase pemulihan adalah saat tanggap darurat penanganan unjuk rasa dan konflik sosial selesai. Fase ini sangat penting terutama untuk memperbaik sistem penyebab adanya unjuk rasa dan konflik sosial. Fase pemulihan dilakukan juga untuk menghilangkan trauma.

Penutup

Salah satu pendadakan strategis yang dialami oleh korporasi adalah unjuk rasa dan konflik horizontal. Langkah deteksi dini dan pencegahan dini dapat dilakukan selama potensi ancaman tersebut pada tahap noise dan voice. Ancaman unjuk rasa dan konflik horizontal berkorelasi dengan kerentanan korporasi. Semakin kecil kerentanan korporasi maka akan sulit terjadi unjuk rasa dan konflik sosial.

Langkah tanggap strategi dalam empat fase yaitu pencegahan, persiapan, tanggap darurat, dan pemulihan. Dengan langkah ini diharapkan korprasi tidak gagap dan panik dalam menghadapi pendadakan strategis. Masalah sosial seperti unjuk rasa dan konflik horizontal tidak bisa diprediksi.

Hal terbaik yang bisa dilakukan oleh korporasi adalah menyiapkan diri dengan memperkecil kerentanan dan mempersiapkan langkah  strategi untuk mencegah, menghadapi, dan memulihkan situasi.

*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan keamanan korporasi, alumnus Program Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia

 

 

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent