Hillary Clinton vs Donald Trump, Siapa Unggul?
Jika tidak ada aral melintang, pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) akan dihelat pada 8 November 2016. Seperti Pilpres-Pilpres sebelumnya, pemilihan orang penting di “White House atau the Oval House” itu akan diikuti oleh tiga orang kandidat Presiden yang diajukan oleh dua partai politik utama di Amerika Serikat yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik, selain dari Capres gabungan Parpol di AS yang tidak bergabung baik dalam kubu Partai Republik ataupun kubu Partai Demokrat..
Dari sejumlah nama Capres AS dari kubu Partai Demokrat, setelah bertarung memperebutkan pengaruh dan kepercayaan basis massa Partai Demokra maka muncul nama mantan “First Lady“ AS dan mantan Menlu AS, Hillary Clinton sebagai calon terkuat mengalahkan Senator dari Vermont, Bernie Sanders .
Seperti kita ketahui bersama, basis massa Partai Demokrat adalah kalangan pemuda, warga pendatang atau imigran atau yang dikenal di AS dengan istilah “people of color”, kalangan perempuan yang belum menikah atau unmarried women, dan dari kalangan profesional yang memiliki ideologi atau dikenal dengan istilah liberal professionals. Oleh karena itu, ciri khusus dari Partai Demokrat Amerika Serikat adalah berideologi sosialis liberal namun terhubung erat dengan ekonomi moderat yang telah mapan.
Tidak mengherankan jika sponsor utama dari Partai Demokrat AS adalah Holywood, Wall Street dan Silicon Valley. Sementara itu, basis massa Partai Republik AS yaitu dari kalangan moderat, perempuan, anak-anak muda (young people), menginginkan kestabilan politik yang menyeluruh (the whole political establishment), kelompok independen, berpendidikan sarjana sebanyak 46% dan pendidikan pasca sarjana sebanyak 23% yang selama ini menjadi tipe pemilih kalangan Republik.
Berdasarkan pemberitaan Reuters, bahwa basis massa Partai Demokrat menginginkan agar siapapun Presiden AS yang akan terpilih pada 8 November 2016 terutama khususnya dari Partai Demokrat diminta untuk meneruskan kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan Obama terutama dalam bidang kesehatan atau dikenal dengan Obamacare dan sekitar 42% basis massa Partai Demokrat menginginkan agar Presiden AS ke depan lebih memberikan petunjuk atau perintah-perintah yang bernuansa liberal.
Hasil Sementara Pemilihan Awal dan Hasil Polling
Setiap empat tahun sekali, Amerika Serikat mengadakan kontestasi politik untuk membenahi rumah tangga mereka. Memilih presiden dan wakil presiden melalui pemilihan umum yang dipenuhi pidato politik dan kampanye selama satu tahun penuh.
Pemilihan umum yang ada di Negeri Paman Sam terbilang rumit, jika dibandingkan dengan pilpres di Indonesia. Dengan kondisi, rakyat langsung memilih sepaket presiden dan wakil presiden yang sudah berkoalisi partai pengusungnya. Sementara di AS, pemilihannya tidak benar-benar langsung dari rakyat kepada capres-cawapresnya, melainkan melalui lembaga pemilih yang disebut Ellectoral College.
Ellectoral college akan memegang peranan penting untuk menentukan presiden dan wakil presiden yang baru. Sistem pemilu AS terdiri dari dua jenis, yakni pemilihan pendahuluan berserta kaukus (primary election dan caucuses) dan pemilihan presiden.
Sebelum menjadi Capres terkuat dari masing-masing kubu, baik Clinton dan Trump telah memenangkan pemilihan awal di sejumlah negara bagian. Hillary Clinton menang Dalam pemilihan awal di kaukus Iowa pada 1 Februari 2016. Sedangkan dalam pemilihan di New Hampshie, giliran Donald Trump yang menjadi “jawara”.
Hasil sementara pemilihan awal di internal Partai Demokrat, Hillary Clinton memenangkannya di negara bagian Alabama, Arkansas, Georgia, Massachusetts, Tennessee, Texas, Virginia, Maryland, Deware, Pennsylvania, Connecticut dan American Samoa. Hillary Clinton kalah di Minnesotta, Oklahoma, Vermont, Rhode Island dan Colorado. Di Partai Republik, Trump unggul di negara bagian Alabama, Arkansas, Georgia, Oklahoma, Texas, Pennsylvania, Maryland, Connecticut, Rhode Island, Delaware, New York, dan Vermont. Trump kalah di Massachusetts, Tennesse dan Minnesota.
Sedangkan beberapa hasil jajak pendapat atau polling menunjukkan persaingan ketat antara Hillary Clinton dengan Donald Trump. Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters/Ipsos, Hillary unggul 10,7 poin atas Trump (Reuters,19/6/2016). Jajak pendapat yang dilakukan selama lima hari itu rata-rata menunjukkan bahwa 45,5% pemilih Amerika cenderung mendukung Clinton, sementara 34,8% mendukung Trump, dan lain 19,7% tidak mendukung keduanya. Sedangkan polling yang dilakukan Fox News Pool (30/6/2016) menunjukkan Hillary Clinton mendapatkan 44% dan Trump mendapatkan 38%.
Hanya 40% pendukung Sanders yang menyatakan siap mendukung Hillary, sementara sisanya masih ragu-ragu atau dibagi rata antara mendukung Trump, mendukung calon alternatif, atau golput.
Jajak pendapat AP-NORC Center for Public Affairs mengungkap bahwa sebanyak 70 persen warga Amerika Serikat (AS) merasa frustasi dengan Pemilu Presiden (Pilpres) 2016. Tujuh dari 10 orang mengatakan bahwa mereka merasa frustrasi. Sedangkan lebih dari setengahnya, termasuk dari pendukung Partai Demokrat dan Partai Republik merasa marah dan tak berdaya. Seperempatnya mengatakan bahwa mereka tidak yakin suara mereka dihitung secara akurat. Hanya 8% pendukung Partai Demokrat dan 15% dari pendukung Partai Republik percaya dengan Pilpres. Bahkan, hanya 29% dari Demokrat dan 16% dari Partai Republik yang percaya terhadap partai mereka sendiri. Hanya 13 persen yang mengatakan bahwa mereka bangga dengan Pilpres. Sebanyak tiga dari 10 responden mengatakan bahwa mereka sudah bosan dengan Pilpres. Jajak pendapat AP-NORC mengambil sampel dari 1.060 orang dewasa yang dilakukan pada pertengahan Mei 2016.
Black and Negative Campaign Mendominasi
Dalam setiap helatan Pilpres dimanapun juga, materi kampanye dapat menjadi ukuran matang tidaknya capres tersebut serta dapat diperkirakan langkah atau kebijakan yang akan dilakukan capres tersebut setelah memenangkan “hajatan politik” itu. Disisi yang lain, materi kampanye yang salah juga menjadi blunder bagi para capres. Selintas, dari berbagai materi kampanye atau debat capres AS 2016 yang dapat kita lihat melalui CNN misalnya menunjukkan bagaimana “brutalitas politik” mewarnai Pilpres AS 2016, walaupun terbungkus secara rapi. Dibawah ini beberapa contoh “brutalitas politik” tersebut.
Dalam debat capres dari Partai Republik di Nevada, South Carolina yang disiarkan oleh CNN dan mengutip Daily Mail, nampak “brutalitas politik” semakin intens terjadi termasuk didalamnya melakukan charracter assasination and black campaign. Ted Cruz mengingatkan masyarakat AS mengenai dukungan kuat Trump dalam pendanaan federal untuk menyediakan aborsi terbesar pada masa lalu. Tuduhan itu membuat geram Trump, yang kemudian menuding balik lawan politiknya itu sebagai pembohong besar dan orang yang lebih buruk dibandingkan Jeb Bush.
Sementara itu, Donald Trump menuntut permintaan maaf dari saingan separtainya, Ted Cruz atas iklan-iklan politik yang menyudutkan dirinya. Ia mengancam, apabila Senator Texas itu tidak segera mencabut iklan politiknya dari layar publik, maka sang miliarder tak akan segan-segan memperkarakan status kewarganegaraan Cruz ke jalur hukum.
Sedangkan Donald J Trump dinilai kompetitornya dan berbagai kalangan di AS sebagai tokoh anti migran dan anti Islam, memiliki ideologi yang konservatif dan mendapatkan julukan sebagai retorika pembakar (incendiary rhetoric) dan orang yang sering menggertak dengan kemarahan (angry bluster).
Kandidat calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik; Donald Trump di Manhattan (23/6/2016) menuduh Hillary Clinton sebagai orang paling korup dari sekian tokoh yang pernah maju dalam Pemilu Presiden AS. Secara eksplisit, Donald Trump menuduh Hillary menggunakan jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri AS di era Presiden Barack Obama untuk memperkaya diri sendiri. Kebijakan luar negeri Hillary di Timur Tengah dan Afrika Utara, lanjut Trump, membuat dia dan suaminya mantan Presiden Bill Clinton, diterima untuk pidato berbayar. Trump juga menyoroti pundi-pundi uang di yayasan keluarga Clinton.
Kandidat calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik; Donald Trump, menuntut rivalnya Hillary Clinton mengembalikan dana USD25 juta dari Arab Saudi. Dana itu disumbangkan ke Clinton Foundation, yayasan keluarga Clinton. Tuntutan Trump ini mengacu pada laporan The Wall Street Journal pada tahun lalu yang menyebut bahwa Kerajaan Arab Saudi telah menyumbangkan antara USD10 juta hingga USD25 juta untuk Clinton Foundation sejak dibentuk pada tahun 1999. Donor lainnya adalah Uni Emirat Arab, Oman, Australia dan Jerman.
Dalam perjalanan kampanyenya, Donald Trump kerap membuat pernyataan kontroversial yang memicu kritikan luas, termasuk soal imigran Meksiko, warga Muslim, dan kaum perempuan.
Sementara itu, Hillary Clinton menilai Donald Trump temperamental dan tak layak jadi Presiden AS. ”Dia bisa menjalankan kampanye penghinaan,” kata Hillary dalam wawancaranya dengan NBC seraya menambahkan Trump temperamental, tidak layak untuk menjadi presiden.
Hillary Clinton mengolok-olok rivalnya, Donald Trump dengan menyebut sebagai “keledai dekade (Donkey of the Day)” seperti dikutip USA Today (19/4/2016). Hillary juga merilis iklan di televisi untuk menyerang Trump, di mana iklan itu menyoroti seruan Trump untuk menghukum wanita yang melakukan aborsi, serta retorika Trump soal Meksiko dan warga Muslim.
Pelajaran penting bagi warga Indonesia dari Pilpres AS adalah tidak ada hal positif yang dapat kita tiru, karena baik Clinton ataupun Trump menggunakan trik yang tidak sejalan dengan etika demokrasi modern yaitu “still to respect to rival”. Maraknya black dan negative campaign akan merugikan AS, karena negara kompetitor mereka memantau dan mencatat semua yang terjadi untuk dijadikan salah satu masukan dalam membina hubungan diplomatik dengan AS ke depan.
Siapa yang akan pergi ke Oval House ?
Who will go to the Oval House? Itu adalah pertanyaan banyak kalangan terkait Pilpres AS yang akan digelar pada November 2016. Walaupun masih lama, tulisan ini juga berusaha memprediksi siapa pemenang Pilpres AS 2016.
Suara mayoritas konstituen di AS yang saat ini diwarnai perkembangan kontemporer yaitu penduduk muda AS dibebani dengan college debt, berjuang untuk mendapatkan peluang kerja yang semakin jelek (struggling with lousy job opportunities), menghadapi kemungkinan perang do masa depan yang tidak dapat dihindarkan serta bencana perubahan cuaca (catastrophic climate change), bahkan dengan kondisi gaji yang tidak bertambah dan tidak amannya pekerjaan (wages stagnant and jobs insecure) yang dialami penduduk/pekerja di AS saat ini, dapat membuat situasi di AS akan memburuk.
Hillary Clinton akan berusaha merayu basis massa Bernie Sanders dari kalangan sosialis Yahudi, banyak didukung pekerja kasar, pemilih dari kulit putih, pemilih dari kelompok minoritas, kalangan pemuda yang antusias, dan masyarakat berpendapatan menengah ke bawah yang selama ini menjadi ciri khas pemilih Partai Demokrat.
Secara umum Partai Demokrat menawarkan reformasi yang fundamental di bidang kesehatan, beasiswa kuliah, pengenaan pajak yang fair terhadap kelompok orang kaya, menentukan kembali kebijakan perdagangan AS dan menginisiasi pertemuan internasional dalam menghadapi perubahan cuaca.
Sementara, Presiden Peru Pedro Pablo Kuczynski bercanda dengan mengatakan bahwa pemerintahnya akan memutuskan hubungan dengan Amerika Serikat (AS) jika Donald Trump terpilih menjadi presiden.
Donald Trump yang merupakan bakal calon Presiden AS dari Partai Republik telah memicu kritik di seluruh wilayah Amerika Latin atas retorik anti-imigran. Presiden Meksiko, Enrique Pena Nieto, pernah membandingkan kampanye Donald Trump dengan kebangkitan rezim Adolf Hitler.
TIME (25/5/2016) memberitakan Walikota Muslim pertama London, Sadiq Khan, mengatakan bahwa dia tidak bisa pergi ke Amerika Serikat (AS) untuk bertukar ide dengan para walikota di negara itu jika Donald Trump menjadi Presiden AS. Sadiq Khan sudah berencana untuk melakukan brainstorming dengan para pemimpin Kota New York tentang cara mengontrol kejahatan. Tapi, karena Donald Trump akan melarang semua Muslim memasuki AS, maka dia akan mengurungkan niatnya.
Akhirnya tulisan ini memproyeksikan Trump akan unggul tipis atas Hillary Clinton, dan akan banyak kebijakan AS yang “mengagetkan” dibawah Trump.
*) Toni Ervianto adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI).