Resensi Buku: The Old Soldier Never Die
Judul Buku : Dari Terorisme sampai Konflik TNI-Polri (Renungan dan Refleksi Menjaga Keutuhan NKRI).
Penulis : Jenderal Purn. DR. Ir. H. AM Hendropriyono, SH, MBA (mantan Kepala Badan Intelijen Negara).
Penerbit : Kompas Penerbit Buku.
Tebal Buku : 194 halaman termasuk lampiran dan biodata penulis.
Terbitan : Mei 2013
Peresensi : Toni Ervianto (alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia)
Pernyataan diatas tampaknya cocok disematkan kepada sosok Jenderal Purn AM Hendropriyono yang juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), karena lelaki yang juga pemegang gelar sabuk hitam karate ini cukup aktif dalam mengamati dan mengevaluasi perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di dalam negeri pada khususnya. Hendropriyono juga rajin menulis dan menerbitkan buku-buku baru.
Dalam bukunya berjudul “Dari Terorisme sampai Konflik TNI-Polri (Renungan dan Refleksi Menjaga Keutuhan NKRI)”, doktor filsafat lulusan UGM Yogyakarta ini menyoroti sejumlah permasalahan yang dibagi dalam enam bagian. Bagian satu membahas “Menghadapi Terorisme dan Penyusupan”. Bagian kedua membahas “Netralitas Militer dan Dilema Loyalitas”. Bagian ketiga membahas “Demokrasi yang mengemban amanat rakyat”. Bab keempat mengulas tentang pendidikan dan hukum berlandaskan moral. Bab kelima mengulas tentang praktik-praktik ekonomi kerakyatan dan bab keenam mengevaluasi masalah reformasi di segala bidang. Bagian satu, dua, tiga dan enam dapat dikatakan sebagai “keahlian” Hendropriyono untuk mengulasnya, namun di bagian keempat dan kelima tampaknya kurang tajam dalam menganalisisnya.
Ada beberapa catatan menarik dalam buku AM Hendropriyono kali ini yang selain merupakan tulisan-tulisan ketika lelaki kelahiran Yogyakarta ini masih menjabat dalam pemerintahan ataupun tulisan-tulisan yang menyoroti perkembangan terakhir.
Catatan menarik pertama adalah, public policy pemerintah yang inkonsisten menimbulkan ketidakpastian politik yang cenderung menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Salah satu konsekuensi yang sulit dihindari adalah obsesi sebagian masyarakat daerah untuk keluar dari ketidakpastian tersebut melalui ide separatisme (hal vii). Selaras dengan catatan ini adalah pendapat Prof. Dr. Teuku Yacob, terdapat dua bentuk disintegrasi yaitu disintegrasi sentral berlaku jika pusat kekuasaan bubar sebagai suatu bangsa dalam negara bersatu dan disintegrasi periferal berlaku jika hanya sebagian daerah yang ingin melepaskan diri dari ikatan kesatuan yang lebih besar, artinya sebagian besar daerah ingin menampilkan regional state dan melepaskan diri dari keterikatan terhadap nation state (halaman xiv).
Catatan menarik kedua adalah terkait bombing theory. Teori dan seni bombardemen dikembangkan secara signifikan antara lain oleh Giulio Dauhet dari Italia dan Hugh Trenchard dari Inggris. Titik berat teori mereka adalah mengenai bombardemen udara, tetapi lalu dikembangkan menjadi teori pengeboman atau bombing theory dalam rangka sabotase yang dilakukan oleh para sabotir dari gerakan bawah tanah yang dikenal dengan istilah klandestin. Dalam teori Dauhet dikatakan, bombing ditujukan untuk merusak pusat-pusat keramaian, sehingga menghasilkan situasi yang histeris diantara massa rakyat. Trenchard menambahkan, sasaran bom adalah moril lawan, sebab kerusakan psikologis masyarakat 20 kali lebih berguna untuk merebut keunggulan daripada kerusakan materril yang diakibatkannya (halaman 4).
Jika terjadi peristiwa pengeboman, Hendropriyono juga mengajari kalangan analis intelijen negara untuk menganalisanya melalui : pertama, kualitas bom pada umumnya. Jika rakitan tradisional, maka analisis bisa mengarah kepada pelaku dari kalangan masyarakat menengah ke bawah, bila teknologinya canggih mengarah pada kelompok yang pernah dapat pendidikan khusus di suatu negara sponsor. Kedua, dari modus operandinya, apakah di satu tempat atau tersebar, dan apakah berturut-turut atau relatif serempak. Ketiga, perkiraan tujuan. Keempat, semua tokoh yang dicurigai harus dimonitor komunikasinya dengan berbagai cara (halaman 7).
Catatan menarik ketiga adalah apakah ada kemungkinan TNI melakukan kudeta? Militer tidak selalu dapat mengandalkan obyektivitas keputusan pemerintah. Idealnya pemerintah bertindak berdasarkan kepentingan konstituennya. Sejarah menunjukkan tidak sedikit keputusan-keputusan pemerintah yang memuat agenda politik partisan atau bahkan agenda pribadinya sendiri. Kekeliruan TNI yang tetap memberikan loyalitasnya kepada pemerintah Orba sampai kejatuhannya tahun 1998, juga kesalahan militer Yugoslavia yang tetap mendukung Presiden Slobodan Milosevic sampai kejatuhannya pada tahun 2000.
Ada tiga hal penting yang dapat dijadikan pertimbangan TNI yaitu : pertama, TNI perlu segera mengidentifikasi sejauh mana gerakan massa yang tengah berlangsung saat ini “mewakili” aspirasi rakyat. Kedua, TNI perlu menilai bagaimana pemerintah menyikapi perkembangan situasi itu. Ketiga, bila pemerintah tetap bersikeras bahkan berencana menumpas “tegas” gerakan-gerakan massa itu, tiba saatnya TNI untuk menentukan sikapnya. Mengapa keputusan ini perlu dipertimbangkan ? Sebagai alat negara yang bekerja dibawah eksekutif, TNI tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari fenomena collective responsibility (halaman 47).
Catatan menarik keempat adalah pers sebagai social control dalam kehidupan demokrasi, sehingga pers disebut cabang kekuasaan keempat. Ada sisi negatif pers yang tidak dapat dihindari, tetapi partisipasinya nyata sangat menentukan tingkat stabilitas demokrasi. Permasalahannya bila sisi negatif itu terlalu banyak, akibat besarnya volume insan pers yang terlibat dalam konflik kepentingan seperti dendam politik, termakan suap, mencari popularitas, criminal extortion dan sebagainya. Output dari mekanisme itu justru menimbulkan instabilitas dalam kehidupan demokrasi (halaman 73).
Catatan menarik kelima yang sekaligus paling berani yaitu revitalisasi nasionalisme Pancasila di era global dilakukan dengan kebangsaan yang segar adalah wawasan yang berdiri diatas interdependensi atau saling ketergantungan di dalam kehidupan modern antar negara di dunia, bukannya hanya mengantungkan nasib kepada negara-negara maju. Salah satu contoh praksis Pancasila dalam konteks mengemban amanat penderitaan rakyat akibat cekikan maut global adalah suatu renegosiasi kontrak atas konsesi pertambangan minyak asing, dengan tujuan mencapai keadilan praksis dari sistem produksi dan distribusi BBM, seperti yang dilakukan Venezuela. Pertanyaannya apa berani dan apa bisa? Kita tunggu pemerintahan hasil Pemilu 2014.