Resensi Buku : Memperlajari Intelijen Dengan Kaidah Ilmiah
Judul Buku :Intelligence Theory : Key Questions And Debates
Editor : Peter Gill, Stephen Marrin dan Mark Phythia
Penerbit : Routledge, London and New York.
Bahasa : Inggris
Tebal Buku : 230 halaman termasuk lampiran dan index.
Peresensi : Toni Ervianto (Alumni Pasca Sarjana Kajian Intelijen Strategis Universitas Indonesia)
Buku berjudul “Intelligence Theory : Key Questions and Debates” ini merupakan kumpulan dari berbagai pakar intelijen antara lain, David Khan, PhD yang merupakan pakar sejarah intelijen, khususnya terkait dengan komunikasi intelijen dan code breaking, Prof. James J Wirtz adalah profesor dalam bidang politik di Colombia University, sedangkan editor buku ini antara lain Prof. Peter Gill adalah profesor bidang ilmu intelijen di Universitas Salford Inggris, Stephen Marrin adalah mantan analisis CIA dan Mark Phythian adalah profesor bidang politik internasional di Universitas Leicester, Inggris.
David Khan misalnya dalam artikelnya yang berjudul “An historical theory of intelligence” menyatakan bahwa pada jaman dahulu intelijen diterjemahkan sebagai informasi terkait dengan bagaimana negara tersebut dalam memenangkan peperangan, sehingga yang dicari adalah informasi kemampuan dan kelemahan tempur lawan yang dinamakan Khan dengan “physical intelligence” seperti kegiatan patroli lawan, kavaleri dan pergerakan pasukan lawan, namun “physical intelligence” tersebut membutuhkan “verbal intelligence” meliputi antara lain keinginan dari komandan, kemampuan taktis pasukan dan moral pasukan. Namun dalam situasi sekarang ini, intelijen terkait dengan tingkat ketidakpastian strategis, karena menurut David Khan, perang dan pertempuran hanya dapat dimenangkan dengan pasukan, senjata, otak dan keinginan (battles and wars are won by men and guns, brains, and will). Oleh karena itu, informasi atau intelijen terkait dengan niat dari musuh, sangat diperlukan untuk mengetahui kapan mereka melakukan serangan atau kapan waktu yang tepat bagi kita untuk menyerang lawan. Untuk masa mendatang, intelijen sangat diperlukan dalam rangka mengurangi ketidakpastian, mengurangi tensi permusuhan antar negara dan membantu menstabilkan sistem internasional (halaman 13).
Sementara itu, penulis lainnya Michael Warner dalam “Intelligence as Risk Shifting” pada intinya menyatakan, intelijen yang baik adalah intelijen yang mampu untuk mengurangi tingkat ketidakpastian bagi pembuat kebijakan agar kebijakannya tidak meleset. Disamping itu, karena intelijen itu terkait erat dengan praktek politik, maka intelijen yang baik juga harus mampu untuk mengetahui bagaimana langkah yang akan dilakukan pesaing (kompetitor) terkait dengan oposisi mereka (halaman 17). Mengutip pernyataan Wheaton dan Beerbower, Michael Warner menyatakan, intelijen harus dapat membantu dalam pembuatan kebijakan secara tepat mengalahkan langkah yang dapat dilakukan oleh musuh-musuhnya/adversary (halaman 19).
Mark Phythian dalam artikelnya “Intelligence theory and theories of internasional relations” pada dasarnya hanya merangkum pendapat dari berbagai pakar. Menurut Mark Phythian, tujuan daripada teori intelijen adalah memfasilitas untuk terciptanya pengertian terkait dengan masa lalu dan masa sekarang, untuk digunakan dalam mengasah kemampuan memprediksi dan petunjuk dalam menghadapi masa depan (halaman 55). Michael Warner menyatakan, intelijen adalah rahasia, kegiatan negara untuk mengerti dan mempengaruhi entitas luar negeri, Abram Schulsky dan Gary Schmitt, intelijen adalah informasi yang terkait dengan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan terkait dengan keamanan dan kepentingan nasional serta bagaimana menghandle ancaman yang ditimbulkan dari musuh-musuh yang potensial dan aktual (halaman 57).
James J Wirtz dalam tulisannya tentang “Theory of surprise” pada dasarnya menyatakan, teori surprise atau pendadakan berasal dari konsep Clausewitz terutama terkait dengan strategi dan perang. Disamping itu, teori surprise ini juga terkait dengan struktur konflik dan psikologi pendadakan (psychology of surprise) itu sendiri dalam rangka memitigasi ancaman agar tidak menjadi pendadakan di masa mendatang (halaman 74).
Dalam artikel berjudul “Intelligence in a turbulent world : Insights from organization theory” yang ditulis Glenn P Hastedt dan B Douglas Skelly pada intinya menyatakan, organisasi intelijen tidak boleh mengalami friksi (perpecahan), karena tugasnya semakin berat di era dunia yang semakin bergolak. Oleh karena itu, berbasis pada teori intelijen maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh organisasi intelijen untuk menghindari friksi atau kesalahan yaitu semua kegiatan dan operasionalnya harus mengacu kepada efisiensi dan efektifitas, terutama terkait dengan distribusi kewenangan yang jelas, mengacu kepada tujuan organisasi dan jejaring komunikasi untuk mendukung pengambilan keputusan (halaman 115).
Philip HJ Davies dalam tulisan “Theory and intelligence reconsidered” menegaskan bahwa teori-teori intelijen itu terkait dengan berbagai ilmu lainnya seperti psikologi, teori manajemen, tingkah laku organisasi, etnografi, antropologi, ekonomi, mikro ekonomi dan current issues terkait dengan reformasi intelijen. Bahkan, menurut Ken Robertson dan Peter Gill, dalam berbagai analisanya CIA juga menggunakan teori etnografi dan antropologi (halaman 193).
Mengingat intelijen itu adalah seni dan science (ilmu pengetahuan) maka intelijen itu harus dapat dipelajari termasuk dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah. Penggunaan berbagai teori dalam pembuatan laporan analisis intelijen serta dalam mencari bahan keterangan (baket) sangat diperlukan, agar laporan intelijen tersebut agar semakin “precisely”. Persoalannya adalah ternyata cukup sulit juga menemukan teori-teori yang terkait dengan intelijen itu sendiri, dimana hal ini dialami oleh mereka yang sedang mendalami ilmu intelijen itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa teori intelijen itu sering ditemukan dalam mata pelajaran atau ilmu yang lainnya seperti sosiologi, antropologi, politik, hukum, sejarah, ekonomi dan lain-lainnya.