Politik Negara Politik Intelijen

Politik Negara Politik Intelijen

“Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berkeras untuk membentuk badan intelijen pertahanan sebagai bagian dari struktur organisasi di lembaganya. Ia berkata, Indonesia adalah satu-satunya negara yang tidak mempunyai badan intelijen pertahanan”, begitulah narasi singkat dari salah satu media online (CNN Indonesia, 8/6/2016). Walaupun dalam beberapa perdebatan atas pro dan kontra terhadap rencana tersebut, ada argumentasi kuat untuk menjelaskan sikap kontra dari Wakil Ketua Komisi I DPR Mayjen (Pur) Tubagus Hasanudin yang mengatakan bahwa fungsi intelijen pertahanan tersebut sudah dijalankan oleh Badan Intelijen Strategis TNI dan sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara pada Paragraf 2 Pasal 11 Ayat 1, “Intelijen Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b menyelenggarakan fungsi Intelijen pertahanan dan/atau militer”.

Terlepas dari polemik tersebut, ada hal lain yang sangat perlu dicermati dan dipahami atas eksistensi lembaga dengan fungsi intelijen tersebut, yaitu peranan intelijen sebagai garda terdepan ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui fungsi peringatan dininya (early warning system). Secara struktur melalui UU Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara pada Bagian Kedua Penyelenggara Intelijen Negara Pasal 9, dikatakan bahwa penyelenggara intelijen negara terdiri atas: [a]Badan Intelijen Negara; [b]Intelijen Tentara Nasional Indonesia; [c]Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia; [d]Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia; dan [e]Intelijen kementerian/lembaga pemerintahan nonkementerian. Sedangkan pada pasal 28, ayat 2, disebutkan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) menyelenggarakan fungsi koordinasi Intelijen Negara. Dengan kata lain, seluruh kegiatan Intelijen Negara yang ada pada lembaga seperti dimaksudkan pada pasal 9 menginduk secara fungsi pada BIN melalui fungsi koordinasi yang ditugaskan Undang-Undang. Secara konstitusi, BIN merupakan koordinator dari fungsi intelijen untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa atas potensi Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG) baik yang datang dari dalam maupun dari luar negara.

Intelijen Pertahanan

Secara alamiah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkuasa atas dasar keinginan untuk selalu hidup tenang, tenteram dan damai. Atas dasar inilah, Hans J Morgenthau, salah seorang tokoh populer dalam pemikiran realis, menjadikan hal tersebut sebagai salah satu asumsi dasar dalam pengembangan kerangka pikir politik antar bangsa (Morgenthau, 1982). Bahkan perkembangan pemikiran tersebut sampai pada tahap pemodelan dalam pengukuran kondisi kekuatan nasional dari suatu bangsa secara kuantitatif. Formula tersebut banyak dijadikan sebagai batu penjuru (milestone) dalam pengukuran berbagai daya tahan (resilience) baik pada landscape target pribadi, rumah tangga, kelompok/ komunitas, domestik, negara bahkan kawasan regional beberapa negara. Perkembangan pembahasan daya tahan tersebut berkembang sangat pesat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dan ilmu pengetahuan lainnya dalam suatu sinergisitas yang harmonis.

Morgenthau menjelaskan sifat alamiah manusia tersebut dalam aplikasi ke dunia politik, khususnya politik internasional. Dalam konteks politik, Morgenthau menjelaskan bagaimana dorongan atau keinginan untuk berkuasa (will to power) merupakan karakteristik yang sangat berperan. Faktor ekonomi untuk mencapai kemakmuran ataupun faktor religi dan moralitas adalah faktor pendukung atau faktor subordinat dari will to power. Dengan kata lain, politik adalah dunia yang menafikan nilai-nilai moralitas. Yang terjadi dalam dunia politik hanyalah keinginan-keinginan untuk selalu berkuasa dengan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sehingga, kepentingan menjadi faktor dominan dalam politik. Hal ini sangat sesuai dengan adagium politik yang mengatakan bahwa “dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Tetapi dalam konteks kehidupan bernegara, kepentingan negara yang menjadi tujuan politiknya, baik dari aspek upaya untuk meraih kekuasaan (struggle of) maupun pendayagunaan kekuasaan (use for) menuju kondisi negara yang tenang, tenteram dan damai, merupakan sebuah power politic dari suatu negara.

Indonesia sebagai negara memiliki fungsi, tujuan, dasar dan nilai serta aturan dalam penyelenggaraan negara secara kelembagaan yang ditetapkan melalui pembukaan dasar UUD 1945, yaitu:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yangberkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dari alinea keempat tersebut, dapat ditarik sebuah asumsi dasar mengenai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Tujuan nasional tersebut dapat dijadikan sebagai strategi nasional berbasis keamanan dan kesejahteraan. Hal serupa banyak dilakukan oleh negara-negara lain di dunia ini, sebagai strategi negara-negara tersebut yang menjadikan aman dan sejahtera sebagai kepentingan nasionalnya sehingga menimbulkan konflik antar negara yang dapat mengarah pada persaingan atau kerjasama. Usman mengatakan bahwa persaingan kepentingan ini kadang-kadang membawa ke peperangan dan selama kepentingan negara untuk sejahtera dan aman itu ada, maka perjuangan antar negara untuk menyusun kekuatan tak pernah berakhir[2] (Usman, 2015). Seiring dengan kamajuan jaman, banyak negara melakukan modernisasi terhadap kekuatannya (national power), baik dari aspek teknologi, metode maupun kualitas sumber daya manusianya yang bertujuan untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya, kondisi aman dan sejahtera. Pembangunan kekuatan masing-masing negara tersebut sedikit banyaknya menimbulkan perubahan sosial pada hubungan antar negara baik pada dimensi struktur dan proses maupun kultur.

Bagaimanapun perubahan-perubahan yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai respon terhadap dinamika perubahan sosial dalam hubungan antar negara, merupakan sikap politik intelijen pertahanan negara yang tetap mengacu pada politik negara, yaitu upaya untuk menjaga keberlangsungan tujuan dan kepentingan nasional seperti yang tertuang di dalam alinea keempat UUD 1945. Dinamika proses yang dilakukan oleh Indonesia dalam membangun kepentingan terhadap negara luar maupun melakukan counter terhadap kepentingan negara-negara asing yang dimainkan melalui politik luar negerinya, harus mampu dikelola oleh aktor-aktor intelijen pertahanan secara baik. Dalam memainkan peran tersebut, ada tiga jenis kekuatanya yang dapat dipakai, yaitu hard power, soft power dan smart power. Hard power yang cenderung pada penggunaan kekuatan represif sangat berbeda dengan soft power yang cenderung pada penggunaan kekuatan diplomasi. Sedangkan smart power merupakan perpaduan antara hard power dan soft power. Intelijen pertahanan mutlak mengetahui dan menguasai penggunaan smart power tersebut dalam pelaksanaan tugasnya.

Dalam pelaksanaan tugas tersebut, intelijen pertahanan harus mampu menembus sekat-sekat ego sektoral dan berkoordinasi dengan lembaga terkait lainnya sehingga penguatan ketahanan nasional dapat terjadi. Jika hal tersebut berlangsung, tentu fenomena atas rencana Menteri Pertahanan yang berencana membentuk Badan Intelijen Pertahanan di bawah Struktur Organisasi Kementerian Pertahanan tidak harus terjadi. Tentu ada proses yang tidak berjalan atau dirasa kurang berfungsi atau secara struktur tidak terakomodir. Jika dicermati implikasi dari pembentukan Badan Intelijen Pertahanan adalah potensi pemborosan anggaran negara, tumpang tindih tugas dan fungsi beberapa lembaga intelijen dan kemunduran dari upaya reformasi sektor keamanan terkait intelijen.

Perang Teknologi 

Secara struktur, baik melalui UU Nomor 17 Tahun 2011, UU Nomor 3 Tahun 2002, UU Nomor 34 Tahun 2004, Perpres Nomor 10 Tahun 2010, Perpres Nomor 90 Tahun 2012, Perpres Nomor 58 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 7 Tahun 2015, tidak satupun yang menjelaskan bahwa Kementerian Pertahanan memiliki fungsi intelijen pertahanan. Fungsi intelijen pertahanan tersebut ada pada Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI sebagai leading actor. Kementerian Pertahanan hanya memiliki Badan Instalasi Strategis yang memiliki tugas dalam melaksanakan pengelolaan instalasi strategis pertahanan. Sebagaimana terpapar pada Pasal 43, ayat a sampai dengan e dari UU Nomor 58 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pertahanan, fungsi Badan Instalasi Strategis tersebut sangatlah tepat untuk menjawab dinamika tantangan ancaman saat ini. Fungsi tersebut terdiri dari: [a]penyusunan kebijakan teknis, program, dan anggaran pengelolaan kawasan instalasi strategis, informasi strategis, dan pertahanan siber; [b]pelaksanaan pengelolaan kawasan instalasi strategis, informasi strategis, dan pertahanan siber; [c]pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan kawasan instalasi strategis, informasi strategis, dan pertahanan siber; [d]pelaksanaan administrasi Badan Instalasi Strategis Pertahanan; dan [e]pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Menteri Pertahanan mengatakan Badan Instalasi Strategis atau Bainstranas tersebut akan bertransformasi menjadi Badan Intelijen Pertahanan dan saat ini tinggal menunggu Peraturan Presiden sebagai dasar hukumnya[2]. Namun hal tersebut menimbulkan polemik karena seolah-olah akan terjadi tumpang tindih tugas dan fungsi antar lembaga intelijen dan menjadi salah satu isu nasional. Jika dilihat dari kerangka pikir perubahan sosial, pendekatan aspek struktur, proses dan kultur, seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi, karena secara struktur fungsi strategis intelijen tersebut ada di Kementerian Pertahanan tanpa harus bersikukuh untuk mengganti nama dari Bainstranas tersebut. Namun jika dilihat dari relasi kekuasaan dan sumber daya, legitimasi tersebut memang diperlukan untuk mendapatkan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya strategis, mulai dari anggaran sampai dengan penempatan personil intelijen di daerah dan atase pertahanan, tetapi tentu menimbulkan konflik antar lembaga penyelenggara intelijen negara. Konflik tersebut merujuk pada aspek struktur dari situasi yang disebabkan oleh persaingan atau kerjasama yang dirasa tidak berjalan dengan baik atas kepentingan data dan informasi intelijen pertahanan.

Namun sebagai analogi dari fenomena tersebut di atas, perlu diperhatikan sejarah perkembangan internet dan fungsi Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Departement of Defense – DoD). Pada tahun 1969, DoD melalui lembaga riset ARPA (Advance Research Project Agency) mengembangkan sebuah jaringan yang dinamakan ARPANET yang berhasil mendemonstrasikan bagaimana hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak) komputer berbasis Unix berkomunikasi antar komputer, untuk kepentingan militer. Protokol komunikasi yang dikembangkan tersebut menjadi Internet Protocol (protokol komunikasi antar komputer) terus berproses dengan melibatkan pihak kampus untuk mengembangkannya menjadi jaringan antar unit komputer dalam skala besar, singkat cerita menjadi jaringan besar seperti internet yang kita ketahui sekarang. Esensi dari pelaksanaan fungsi DoD dalam menguasai dunia berhasil, mengapa? Hal tersebut dimulai dari penguasaan protokol dasar sehingga muatan apapun yang ada diatasnya dapat dikelola untuk kepentingan tertentu. Penguasaan lalu lintas data dan informasi berbasis komunikasi antar komputer tersebut dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga intelijen lainnya seperti CIA, NSA, FBI dan lain sebagainya dalam satu kerangka penggunaan sumber daya berasama (data and information integrity).

Seperti diungkapkan oleh Snowden[3], bagaimana penggunaan informasi untuk tujuan diplomatik yang dilakukan Australia, termasuk dukungan untuk memenangkan kursi jabatan di Dewan Keamanan PBB, pejabat Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang berhasil duduk di Dewan Keamanan PBB tersebut berujar, “Tanpa dukungan intelijen (hasil sadapan) Amerika, kami tidak dapat memenangkan kursi itu”. Snowden juga mengungkapkan bagaimana Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu dari beberapa kepala negara di dunia yang berhasil disadap komunikasinya ponselnya.

Untuk itu, peran dari Kementerian Pertahanan harus dioptimalkan pada level strategis, bukan pada level operasional melalui pembentukan Badan Intelijen Pertahanan yang cenderung mengarah pada pembentukan agen-agen dinas rahasia seperti yang diungkapkan Menteri Pertahanan melalui CNN Indonesia. Seharusnya, optimalisasi tersebut dapat berlangsung jika fungsi Bainstranas berjalan dan menjadi yang terdepan sehingga seluruh data dan informasi terkait intelijen bersumber dari instansi tersebut. Dasar berpijaknya adalah kuasa penggunaan anggaran yang dimiliki oleh Kementerian Pertahanan jauh lebih besar dibanding lembaga penyelenggara intelijen lainnya dan memiliki legitimasi untuk melakukan proses pembangunan kegiatan intelijen modern secara struktural. Optimasi ada pada sektor kegiatan intelijen, bukan hanya pada pengadaan personel intelijen, karena UU Nomor 17 Tahun 2011 pada Pasal 1 Ayat 1 mengatakan, “Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional”. Pembangunan intelijen pertahanan sebaiknya berorientasi pada pembangunan sistem yang mampu memberdayakan seluruh masyarakat Indonesia sebagai agen intelijen semesta melalui proses-proses input data yang mereka lakukan (misal petugas imigrasi, petugas money changer, dsb) atau peralatan-peralatan CCTV yang ada untuk kegiatan pengumpulan data dan informasi berbasis teknologi komunikasi dan informasi terintegrasi.

Optimalisasi Intelijen

Perang modern cenderung mengarah pada penggunaan pengaruh atau politik luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya negara lain guna menunjang kepentingan nasionalnya. Perang konvesional melalui penguasaan secara fisik melalui operasi militer cenderung ditinggalkan karena cenderung berdampak pada pengucilan dari dunia internasional dan intervensi Pasukan Perdamaian PBB. Namun perang modern ini tidak dapat dihindari karena cenderung terbungkus lebih rapi melalui kegiatan ekonomi dan politik internasional dalam perangkat-perangkat globalisasi. Globalisasi yang bersendi pada kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi dalam asas efesiensi, seolah-olah menjadi kesempatan terbuka bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan efektifitas pencapaian kepentingan nasionalnya, namun jika tidak dikelola secara baik, globalisasi tersebut menjadi jalan bagi negara-negara lain dalam melancarkan perang modernnya, mulai dari peperangan ideologi, ekonomi, budaya dan lain sebagainya yang ujungnya adalah penguasaan sumber daya, sebagai tujuan untuk mempertahankan kondisi tenang, tenteram dan damai atas konflik kepentingan yang dipaparkan Morgenthau sebagai latar belakang terjadinya politik antar bangsa.

Optimalisasi peran dan fungsi intelijen pertahanan negara saat ini harus mampu menyentuh sektor-sektor lainnya dalam relasi antar bangsa, bukan hanya pada sektor militer saja, tetapi mencakup perdagangan internasional, perbankan dan investasi, media, energi, bio teknologi, transportasi dan industri-industri dalam kerangka multi national company (MNC). Tentu hal tersebut memerlukan agen-agen atau personel intelijen yang profesional dan menguasai bidangnya dan didukung dengan data dan informasi secara terintegrasi. Kementerian Pertahanan dapat menjadi booster lembaga-lembaga kajian dan pendidikan untuk membangun sistem tersebut sehingga kultur riset yang sudah terbangun dapat dioptimasi secara lebih cepat guna mendapatkan hasil yang lebih baik dibanding melakukan proses pengadaan agen-agen rahasia yang memerlukan effort lebih besar dan waktu lebih lama.

Dunia teknologi saat ini sedang berkompetisi dalam pengolahan isue big data pada dimensi 3V (volume, variety, velocity). Pengelolaan data dalam skala raksasa sebagai hasil dari integrasi berbagai sektor data dengan tipe dan struktur yang berbeda, tetapi harus dapat dikomputasi secara cepat sehingga dapat menarik suatu informasi sebagai dasar pengambilan keputusan. Sebagai contoh, bentuk integrasi data dalam skala besar tersebut dapat berupa penggabungan seluruh data penduduk Indonesia, data pembayaran pajak oleh seluruh wajib pajak di Indonesia, data transaksi perbankan, data transaksi pembayaran tiket bus way dan data rekaman video di loket-loket bus way untuk mengetahui informasi apakah Mr. X pernah naik bus way dan taat membayar pajak dimana data dan informasi yang bersumber dari lintas sektor tersebut harus dapat disajikan dalam hitungan di bawah 45 detik. Semisal data dukung yang bisa disajikan adalah rekaman video Menteri Jonan sedang antri dan melakukan pembelian tiket pada loket Bus Way, catatan naik dari shelter Harmoni pada jam 07.05 WIB dengan Nomor Seri Bus 1305 dan pembayaran sistem auto debet atas kartu Flash Nomor Seri 880012JKT melalui pengisian saldo dari Rekening BCA Nomor 2200157 sebesar Rp 100.000,- pada tanggal 5 Mei 2016 dan memiliki Nomor KTP 13233434333434 dan Nomor NPWP 1212222222222, telah melaporkan SPT Tahunan pada tanggal 20 Februari 2016 sebesar Rp 3.5000.000,- sebagai bentuk kurang bayar.

Kemampuan kegiatan intelijen seperti itu yang akan mendominasi perang modern saat ini, sehingga para diplomat, personel intelijen, pimpinan militer dan pengambil keputusan pada lembaga negara lainnya yang terkait dalam pengelolaan kepentingan nasional dapat didukung oleh data dan informasi yang akurat dan cepat. Proses pelaksanaan tugas dan fungsi mereka cenderung menjadi lebih baik karena didukung oleh data dan informasi. Pembangunan proses tersebut memang tidak mudah karena harus menembus sekat-sekat ego sektoral dan kontinuitas penyelenggaraan proses tersebut sampai menjadi kultur pada tiap-tiap elemen penyelenggara data dan pengambil keputusan. Tentu proses pengolahan data tersebut harus memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam tata kelola data yang baik untuk menghasilkan data dan informasi intelijen pertahanan yang akurat dan aman. Pihak agen intelijen yang digunakan bersifat semesta karena para petugas penjual tiket pesawat, petugas imigrasi dan lain sebagainya yang melakukan proses input data berfungsi ganda sebagai personel intelijen secara tidak langsung. Dengan kata lain, siapapun agen intelijennya, data dan informasinya harus bersumber dari Bainstranas karena esensi utama dari intelijen adalah data dan informasi yang valid dan cepat sehingga dapat digunakan oleh pengambil keputusan pada waktu yang tepat pula.

*) Edison Guntur Aritonang, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Strategi Ketahanan Nasional UI – Reguler 35

 

Referensi :

  1. BIN. 2014. Menyongsong 2014 – 2019, Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang berubah. Jakarta: Badan Intelijen Negara.
  2. Bremmer, Ian. 2006. The J Curve: A New Way to Understand Why Nations Rise and Fall. New York: Simon & Schuster.
  3. Budiantoro, Setyo dan Bahagijo, Sugeng. 2012. Pembangunan Inklusif : prospek dan tantangan. Jakarta: LP3ES.
  4. Clauser, Jerome. 2008. An Introduction to Intellignece Research And Analysis. United Kingdom: Scarecrow Press, Inc.
  5. Dowel, Don Mc. 2009. Strategic Intelligence, A Handbook for Practitioners, Managers and Users (Revised Edition). United Kingdom: Scarecrow Press, Inc.
  6. Gill, Peter & Marrin, Stephen & Phythian, Mark. 2009. Intelligence Theory: Key Questions and Debates. London and New York: Routledge.
  7. Hendropriyono, A.M. 2013. Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
  8. Lucas, Edward. 2014. Snowden Operation: Rahasia Dibalik Bocornya Data-data Intelijen Amerika Serikat. Jakarta: PT. Zaytuna Ufuk Abadi.
  9. Morgenthau, Hans J. 1982. Politics Among Nations (The Struggle for Power and Peace). Seventh Edition. New York: Mc Graw Hill.
  10. Morgenthau, Hans J. 1982. In Defense of the National Interest: A Critical Examination of American Foreign Policy. New York: Upa.
  11. Marcu, Hari Bucur. 2009. Essentials of Defence Institution Building. Geneva: DCAF.
  12. Marcu, Hari Bucur & Fluri, Philipp & Tagarev, Todor. 2009. Defence Management: An Introduction. Geneva: DCAF.
  13. Nasution, Abdul Haris. 2012. Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu Serta yang akan Datang. Jakarta: Penerbit NARASI.
  14. Neuman, W. Lawrence. 2013. Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Edisi Ketujuh. Jakarta: PT. Indeks.
  15. Prunckun, Hank. 2015. Scientific Methods of Inquiry for Intelligence Analysis. Second Edition. United Kingdom: Rowman & Littlefield.
  16. Puspitasari. 2016. Komunikasi Krisis: Strategi Mengelola dan Memenangkan Citra di Mata Publik. Jakarta: Penerbit Libri.
  17. Sugirman, Supono. 2012. Intelijen, Profesi Unik Orang-Orang Aneh. Jakarta: Media Bangsa.
  18.                          , UU Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.
  19.                          , Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2012 Tentang Badan Intelijen Negara.
  20.                          , Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 Susunan Organisasi Tentara Nasional      Indonesia.
  21.                          , Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pertahanan.
  22.                          , Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi Kementerian Negara.
  23.                          , UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
  24.                          , UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
  25. CNN Indonesia. Menhan: Cuma Indonesia yang Tak Punya Intelijen Pertahanan. www.cnnindonesia.com/nasional/20160608203301-20-136792/menhan-cuma-indonesia-yang-tak-punya-intelijen-pertahanan, diakses pada 8 Juni 2016 pukul 21.00.
  26. CNN Indonesia. Apa perlunya pembentukan Badan Intelijen Pertahanan? www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160609_indonesia_polemik_intel_kemenhan, diakses pada 11 Juni 2016 pukul 22.05

[1] Usman, Wan. (2015). Dari Pengkajian Ketahanan Nasional Menuju ke Ilmu Ketahanan Stratejik Transdisiplin. Disampaikan pada acara seminar Aktualisasi Kajian Multidisiplin Dalam Pengembangan Program Studi Ketahanan Nasional, Balai Sidang – UI Depok, 30 September 2015, hal 6.

[2] CNN Indonesia. Bainstranas, Benih Badan Intelijen Pertahanan. www.cnnindonesia.com/nasional/20160610141154-20-137205/bainstranas-benih-badan-intelijen-pertahanan/, diakses pada 14 Juni 2016 pukul 10:00.

[3] Lucas, Edward. 2014. Snowden Operation: Rahasia Dibalik Bocornya Data-data Intelijen Amerika Serikat. Jakarta: PT. Zaytuna Ufuk Abadi.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent