Potensi Konflik Pilkada DKI Jakarta 2017

Potensi Konflik Pilkada DKI Jakarta 2017

Pilkada, atau pemilihan kepala daerah, adalah hajat atau pesta demokrasi. Merujuk pada kata pesta maka seharusnya suasana yang tercipta adalah kebahagiaan, kegembiraan, saling sapa, saling bekerjasama. Namun sebuah acara demokrasi, apalagi yang merupakan proses berbiaya mahal dan menghasilkan pihak yang menang dan pihak yang kalah, akan jauh dari istilah kebahagiaan dan kegembiraan.

Hampir rutin ditemui adanya suatu protes atau luapan kekecewaan dari pihak tertentu yang merasa dirugikan. Jika pihak yang dirugikan tersebut menggunakan cara-cara konstitusi untuk menggugat kemenangan lawan tentu ini yang diharapkan, tapi jika cara-cara yang digunakan adalah kekerasan maka ini adalah hal yang dikhawatirkan dan ditakutkan oleh banyak orang sebagai dampak buruk demokrasi yang belum matang.

Bagaimana dengan potensi konflik pada Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti? Bagaimana skenario pihak yang kalah menanggapi kemenangan pihak lawan? Tentu saja hal ini menarik untuk dianalisis sebagai bahan untuk pembuatan skenario tanggap strategi menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk Pilkada DKI Jakarta 2017.

Peta Kekuatan

Saat ini bakal calon yang sudah mendeklarasikan diri untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah Basuki Tjahaja Purnama – Heru Budi Hartono, atau yang dikenal dengan Ahok-Heru, yang maju menggunakan jalur independen. Jika mengacu pada catatan perolehan KTP oleh Teman Ahok, maka jika tidak ada skenario administratif lain Ahok-Heru kemungkinan besar lolos verifikasi sebagai calon daru jalur independen. Tokoh dan Partai Politik tentu saja resah dengan fenomena calon independen ini.

Elektabilitas Ahok yang cukup tinggi belum bisa ditandingi oleh calon-calon dari Partai Politik, termasuk calon dari Partai Politik yang saat ini sukses sebagai kepala daerah di luar DKI Jakarta. Tokoh-tokoh politik yang mencari-cari panggung untuk menaikkan elektabilitas dan mencari perhatian dari parpol seperti Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno , Djarot, dan yang terbaru Syafrie Syamsuddin yang digadang-gadang oleh Gerindra sebagai penantang Ahok, belum cukup kuat untuk menjadi penantang Ahok. Koalisi partai politik juga belum jelas untuk menentukan bentuk dan siapa lawan siapa kawan. Hanya Nasdem dan Hanura yang justru akan mendukung Ahok meskipun Ahok maju melalui jalur independen.

Diperkirakan dalam pilkada nanti akan ada 3 atau paling banyak 4 pasangan Cagub-Cawagub yang terdiri dari 1 calon dari jalur independen Basuki Tjahaja Purnama – Heru Budi Hartono, dan 2 atau 3  pasang Cagub-Cawagub yang diusung oleh koalisis dari partai politik. Dilihat dari dinamika ini kemungkinan majunga Syafrie Syamsudin, Yusril Ihza Mahendra dan jagoan dari PDI Perjuangan. Jumlah pasangan akan mengecil jika PDI Perjuangan berkoalisi dengan Gerindra sehingga kemungkinan akan bertanding 3 pasang.

Tiga atau empat pasang peserta Pilkada DKI Jakarta 2017 ini menarik karena akan menggambarkan kelompok-kelompok ideologi dan kepentingan di Jakarta. Ahok dan Heru akan menggambarkan perubahan khas anak muda dengan semangat independen yang perlawanan sosial terhadap keberadaan partai politik yang dianggap belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Yusril Ihza Mahendra, jika ada yang mencalonkan, akan mewakili kelompok yang tersusun dari pihak-pihak yang cenderung dari arah kanan dan kelompok masyarakat yang berhasil digalang karena menjadi korban kebijakan pemerintah terutama terkait masalah penggusuran / lahan.  Gerindra jika tidak berkoalisi dengan PDIP kemungkinan akan mengusung calon dari unsur latar belakang militer dan tokoh betawi/tokoh agama (Islam). PDIP jika tidak berkoalisi dengan Gerindra kemungkinan akan mencalonkan Djarot (Wagub saat ini) atau Kepala Daerah lain yang dianggap berpotensi mampu menandingi Ahok. Pertarungan ini tentu akan cukup menarik sebagai pembuktian kekuatan masing-masing kelompok pengusung, namun dominasi kekuatan akan terlihat hanya dua kubu yaitu Ahok dan lawan Ahok.

Potensi Konflik

Potensi konflik pada Pilkada DKI Jakarta 2017 cukup tinggi. Konflik sebagai salah satu ancaman terhadap DKI Jakarta diperkirakan bisa terjadi jika ada peserta pilkada atau pihak lain yang membawa isu SARA dan berhasil diumpankan kepada masyarakat akar rumput. Ahok yang merupakan keturunan Cina dan beragama Kristen akan menjadi sasaran empuk bagi lawan Ahok untuk memanfaatkan kekuatan dari orang-orang yang cenderung fanatik. Pihak-pihak yang selama ini kurang leluasa bergerak mengusung kepentingannya karena kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta tentu juga akan ‘balas dendam” mengalahkan Ahok dengan segala cara.

Jika terjadi konflik pada Pilkada DKI Jakarta 2017 maka konflik diperkirakan hanya akan terjadi pada kelas bawah dengan aparat keamanan. Konflik horisontal antar pendukung diperkirakan kecil kemungkinan terjadi. Pendukung Ahok yang didominasi kelas menengah ke atas dan anak-anak muda yang “melek” teknologi akan berpikir lebih realistis menentukan kemenangan dengan cara pada saat hari-H memilih Ahok, bukan dengan cara-cara jalanan dan kampanye sebelum hari-H. Namun pancingan-pancingan untuk terjadi konflik horisontal diperkirakan tetap ada mengingat ada pihak-pihak yang merasa akan diuntungkan dan dipuaskan jika konflik ini terjadi.

Antisipasi Konflik

Untuk mengantisipasi konflik maka pemerintah melalui KPU dan aparat keamanan (Polri dibantu oleh TNI) perlu melakukan langkah-langkah tegas sejak dini. Isu-isu SARA harus diredam meskipun isu SARA hanya akan bisa diumpankan kepada kalangan tertentu, namun perlu disadari bahwa kalangan yang mudah terhasut oleh isu SARA ini biasanya frontal dan temperamental.

Meskipun isu SARA sudah kurang laku pada masyarakat, namun sebaiknya isu ini tidak dibawa sebagai dagangan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Partai politik sebaiknya juga berpikir jauh ke dapan. Pilkada DKI Jakarta akan berpengaruh besar terhadap daya tarik masyarakat 2019. Partai yang menggunakan isu-isu SARA dan menggunakan cara-cara tidak sehat akan terkena sangsi sosial dari masyarakat sebagai pemilih. Partai politik sebaiknya menggunakan cara-cara yang santun pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti, jika calon dari Partai Politik tersebut kalah maka tidak perlu melakukan aksi-aksi yang menjurus kepada konflik tetapi melakukan langkah konstitusi sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemerintah perlu bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang berpotensi menggunakan langkah-langkah yang menjurus kepada konflik.

Sebagai langkah deteksi dini maka pemerintah melalui jejaringnya yang tersebar di seluruh lapisan masyarakat perlu menguatkan mata dan telinganya untuk mendeteksi potensi konflik. Langkah-langkah yang cepat dan tegas dengan kajian risiko yang matang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dan meluasnya konflik. Dalam hal ini peran intelijen tidak bisa dikesampingkan.

Kesimpulan

Potensi konflik pada Pilakda DKI Jakarta 2017 perlu diperhitungkan dengan baik. Konflik jika terjadi kemungkinan besar bersumber dari isu SARA. Mengingat konflik SARA biasanya memerlukan penanganan dan pemulihan yang lama maka kalkulasi risiko konflik harus dianalisis dengan tepat. Pemerintah selaku penyelenggara negara menyiapkan langkah-langkah pencegahan, persiapan, tanggap darurat, dan pemulihan, jika konflik tersebut terjadi dan tidak bisa dicegah (bdk: Prunckun 2010,2015).

Tentu sebagai warga negara dan sebagai masyarakat DKI Jakarta secara umum menginginkan Pilkada DKI Jakarta 2017 dapat berlangsung dengan damai dan terpilih Gubernur-Wakil Gubernur sesuai dengan harapan masyarakat. Demokrasi tentu saja tidak bisa memuaskan semua pihak, hal inilah yang harus disadari sebagai risiko politik. ***

*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa S2 Kajian Stratejik Intelijen – Universitas Indonesia, tinggal di Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent