ULMWP Tidak Layak Menjadi Anggota MSG
Keinginan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) yang akan dibahas di London pada tanggal 3 Mei 2016 tampaknya tidak akan diapresiasi secara positif, walaupun beberapa organisasi sipil di Papua sudah menggalang dan memobilisasi massa untuk melakukan desakan politik agar ULMWP menjadi anggota tetap MSG.
Beberapa organisasi seperti Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Wilayah Merauke mengajak seluruh pendukung dan simpatisan serta rakyat Papua untuk mendukung ULMWP menjadi anggota tetap di MSG dan menuntut diadakannya Referendum bagi West Papua yang akan dibahas pada pertemuan IPWP di London-Inggris pada 3 Mei 2016.
Sementara itu, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, desakan agar ULMWP menjadi anggota penuh MSG merupakan keinginan murni rakyat West Papua yang menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia, dan seluruh masyarakat Papua yang tergabung dalam KNPB tidak takut jika ditangkap oleh aparat.
Sedangkan, keputusan Sidang Paripurna ke-IV Parlemen Nasional West Papua (PNWP) kepada Pemerintah Indonesia, International Parliamentarians for West Papua (IPWP), International Lawyers for West Papua (ILWP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Adapun isi keputusan tersebut antara lain mengakui ULMWP sebagai badan koordinasi dan persatuan yang mewakili seluruh kepentingan bangsa Papua yang bertempat tinggal di wilayah Papua dan Papua Barat.
Di Kantor LBH Jakarta, Kelompok Masyarakat Sipil Pendukung Kebebasan Berekspresi di Papua dalam jumpa pers bertema “Hentikan Represifitas dan Pengekangan Kebebasan Berekspresi Rakyat Papua”. Aktivis LBH Jakarta, Alghifari Aqsa mengatakan, puluhan kelompok masyarakat sipil mendukung hak atas kebebasan berekspresi rakyat Papua.
“Kami mendukung penuh hak konstitusional atas kebebasan berekspresi rakyat Papua, mendesak aparat TNI/Polri untuk tidak bertindak represif kepada rakyat Papua,” tambahnya.
Sedangkan Sejarawan, Bonie Triyana mengatakan, rakyat Papua tidak mendapatkan jaminan kebebasan bersuara dan keadilan. Perbedaan politik tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan kekerasan. Rakyat Papua memiliki hak setara dan minta Pemerintah memberi kebebasan bagi rakyat Papua.
Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) menyatakan, deklarasi kemerdekaan Papua tahun 2011 itu benar dan pernyataan kemerdekaan sepihak itu menurut hukum kebiasaan internasional sudah memenuhi syarat-syarat (sudah sah). Dengan deklarasi sepihak, menurut hukum internasionel secara otomatis kita sudah mendapat predikat subyek. Pemerintah Indonesia juga pernah melalui hukum ini di tahun 1945 yang dideklarasikan oleh Bung Karno dan tahun 1946 dibawa ke Liga Arab karena ASEAN belum ada untuk mengakui dan Liga Arab mengakui. Untuk memperoleh pengakuan kami pilih jalan damai dan bukan jalan perang, dengan agenda-agenda, yaitu meminta pengakuan dari dunia internasional khususnya dari Indonesia dan penyerahan kedaulatan; negosiasi langsung dengan Pemerintah Indonesia, hal ini berdasarkan pasal 33 ayat 1 piagam PBB; dan mengajukan gugatan sengketa aneksasi ke International of Justice. Walaupun kami Negara baru belum diakui PBB dan belum menjadi anggota PBB, ini kami ajukan berdasarkan pasal 35 ayat 2 piagam PBB disebutkan bahwa Negara yang bukan anggota PBB bisa mengajukan sengketa ke Majelis Umum PBB dan ke Dewan Keamanan PBB.
Tidak Layak
Rakyat Papua dan Papua Barat bersama Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir dan risau dengan desakan ULMWP masuk menjadi anggota penuh MSG pada KTT MSG 3 Mei 2016 di Suva, Fiji, hal ini disebabkan karena tidak ada agenda politik membahas penambahan anggota MSG dalam KTT tersebut dan ULMWP tidak merepresentasikan negara melainkan komunitas politik yang tidak jelas tujuan perjuangannya.
Tidak hanya itu saja, rakyat Papua dan Papua Barat juga tidak antusias dengan manuver organisasi-organisasi sipil di Papua seperti PRD, KNPB dan ULMWP yang selama ini “mengatasnamakan” kepentingan rakyat Papua walaupun rakyat Papua kurang mengenal organisasi seperti ini. Disamping itu, MSG “merepotkan” Indonesia ketika Dirjen MSG dijabat oleh Vanuatu, dan tampaknya hanya Vanuatu yang mendukung Papua merdeka. Fiji dan negara MSG lainnya tetap menginginkan Papua tetap dibawah NKRI.
Keinginan Papua merdeka juga mendapatkan dukungan dari organisasi kecil, partisan dan oportunis seperti International Parliament for West Papua (IPWP) yang terdiri dari partai-partai kecil di Inggris, selama ini sering membantu ULMWP dalam melakukan aksi bicara atau aksi unjuk rasa dengan pengikuti yang dapat dihitung dengan jari tangan.
Di Inggris, memang tidak ada aturan yang melarang orang atau kelompok untuk melakukan aksi unjuk rasa, karena kebebasan berpendapat di Inggris sangat dihargai, kecuali jika sebuah gerakan politik telah membuat petisi dan dibahas dalam parlemen, maka Pemerintah Inggris akan menindak dan melarangnya. Sejauh ini, IPWP, ULMWP ataupun aktivis Papua merdeka di Inggris tidak berani melakukan aktivitas politik apapun, kecuali unjuk rasa kecil-kecilan.
Pernyataan Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) yang mengutip pasal 35 ayat 2 piagam PBB disebutkan bahwa Negara yang bukan anggota PBB bisa mengajukan sengketa ke Majelis Umum PBB dan ke Dewan Keamanan PBB jelas tidak benar, sebab di Papua dan Papua Barat tidak ada negara lain yang dibentuk karena Papua dan Papua Barat adalah resmi wilayah Indonesia. Keberadaan ULMWP dan MRFPB jelas bukan negara dan tidak mewakili kepentingan rakyat Papua, kecuali kepentingan elit-elit ULMWP itu sendiri.
Oleh karena itu, jelas hanya sebuah “mimpi” ULMWP akan menjadi anggota penuh MSG, karena ULMWP menjadi observer di MSG pada Juni 2015 yang lalu jelas merupakan “kesalahan kebijakan politik” MSG itu sendiri dan MSG diyakini tidak akan mengulangi blunder tersebut, sehingga keinginan ULMWP menjadi anggota penuh MSG akan terkena “tembok besar”.
*) Datuak Tjumano, pemerhati masalah politik, tinggal di Sumatera Barat