Gerakan buruh di Indonesia muncul jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1897 berdiri serikat pekerja pertama di Indonesia yang bernama NIOG (Nederland Indies Onderw Genootsch), yaitu organisasi bagi guru-guru bangsa Belanda[1]. Pertumbuhan secara politis dilakukan bersamaan dengan lahirnya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Saat ini berdiri serikat buruh di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaoen yang bernama Vereniging van Spoor, en Tramweg Personeel (Persatuan Pekerja Kereta Api dan Trem)[2].
Sejak awal didirikan gerakan buruh mempunyai tujuan untuk mempejuangkan nasib anggotanya dalam konteks perbaikan tingkat sosial ekonomi dan kesejahteraan. Namun karena situasi politik, mau tidak mau gerakan buruh tidak bisa dipisahkan dengan gerakan politik. Pengaruh gerakan buruh adalah aktivis partai politik, dan gerakan buruh adalah gerakan politik.
Setelah peristiwa Boedi Oetomo tahun 1908 mulailah bermunculan gerakan-gerakan buruh dari berbagai kalangan yang secara politis terbagi menjadi tiga kelompok aliran yaitu Nasionalis, Islam, dan Marsisme.
Tahun 1919 terbentuklah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang diketuai oleh Semaoen dan Soerjopranoto. Hal ini terjadi pada saat Kongres Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumi Putera (PPPBP) yang mencetuskan agar serikat-serikat buruh dengan berbagai macam aliran politik bergabung menjadi satu wadah.
Gerakan buruh pada saat itu terlihat ada dua arah yaitu gerakan buruh secara politis yang melawan kolonialis dan gerakan buruh yang berhadapan dengan kapitalis. Dualisme arah gerakan buruh ini terjadi juga pada tahun 1945, yaitu secara politis untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, dan satu tujuan lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Pada tanggal 7 November 1945 di Solo, Barisan Buruh Indonesia yang berdiri pada tanggal 19 September 1945, pecah menjadi dua yaitu:
- Gerakan buruh dengan arah politik, mendirikan Partai Buruh Indonesia (PBI).
- Gerakan buruh dengan arah sosial ekonomi, mengadakan kongresnya sendiri di Madiun pada tanggal 21 Mei 1946 dan mendirikan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI).
Pemilu pada tahun 1955 membuat buruh menjadi bagian untuk memperkuat partai politik. Organisasi buruh menjadi “underbow” partai politik. Perubahan besar organisasi buruh juga terjadi setelah meletusnya peristiwa G30S PKI. Organisasi buruh dengan afiliasi komunis dibubarkan. Tahun 1966 terbentuk Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), dan pada tahun 1969 Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia (MPBI), setelah itu lahir pula Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)
Langkah pemerintah pada tahun 1970 yang menyederhanakan partai politik menjadi dua partai politik (PPP dan PDI) serta Golongan Karya akhirnya berpengaruh juga kepada gerakan buruh. Secara politis organisasi buruh kehilangan induknya.
Pada tanggal 21-28 Oktober 1971 MPBI menegaskan bahwa identitas politis buruh adalah[3] :
- Lepas sama sekali dari kekuatan politik
- Kegiatan serikat buruh dititikberatkan di bidang sosial ekonomi
- Penataan kembali organsasi-organisasi serikat buruh dengan pendekatan persuasif
- Perombakan organisasi gerakan buruh
- Serikat buruh tidak boleh menggantungkan dirinya pada sumber dana dari luar.
Tahun 1973, pemerintah mengukuhkan dan mengakui Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai satu-satunya vaksentral di Indonesia. FBSI terdiri dari dua puluh satu federasi yang dideklarasikan pada tanggal 20 Februari 1973.
Kongres II FBSI 26-30 November 1985 menghasilkan perubahan mendasar dalam organisasi sebagai berikut[4] :
- Istilah buruh diganti pekerja, kata buruh dinilai memiliki citra menentang kekuasaan;
- FBSI berubah menjadi SPSI, pemerintah mengakui SPSI sebagai satu-satunya organisasi pekerja swasta di Indonesia;
- Sistem Federasi diganti menjadi Unitaris;
- Serikat Buruh lapangan pekerjaan dihapus dan diganti menjadi sistem departemen.
Seiring dengan perkembangan waktu, SPSI dianggap berpihak kepada penguasa dan pemerintah, bahkan pengurunya juga ditentukan oleh pemerintah. Bahkan dalam penyelesaian perselisihian hubungan indutsrial, pemerintah mengeluarkan Permen yang memperbolehkan militer melakukan intervensi[5].
Tahun 1992 didirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang diprakasai oleh Muctar Pakpahan, KH Abdurrachman Wahid, Sabam Sirait dan Suko Waluyo. Pemerintah menganggap bahwa SBSI ilegal walaupun SBSI justru satu-satunya serikat buruh di Indonesia yang menjadi anggota dari serikat buruh international ICFTU dan WCL. Akibat dari deklarasi SBSI ini maka pengurus dan anggotanya banyak yang dipenjarakan. Munculnya SBSI ternyata diikuti juga oleh organisasi buruh lainnya seperti FNPBI yang dipimpin oleh Dita Indah Sari.
Tonggak reformasi organisasi buruh terjadi pada 1998 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pendaftaran Serikat Buruh. Hal ini menandai berakhirnya era serikat buruh tunggal yang dikuasai oleh FSPSI.
Era serikat buruh tunggal diakhiri dengan tegas pada tahun 2000 dengan diundangkannya UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh Nomor 21 Tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000 yang mengatur tentang pembentukan keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lainnya.
Munculnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh menjadi salah satu tonggak kebebasan berserikat buruh di Indonesia. Sejak tahun 2000 munculah organisasi-organisasi buruh di tanah air. Data yang dicatat oleh Kementrian Ketenagakerjaan pada tahun 2014 tercatat ada 6 konfederasi, 100 federasi dan 6.808 serikat pekerja perusahaan dengan jumlah 1.678.364 anggota serikat pekerja[6].
Purwaningsih (2008) menyatakan bahwa dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 itu dengan sangat jelas memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi para buruh untuk menyalurkan aspirasinya dalam wadah organisasi yang benar-benar mereka percayai. Selanjutnya Purwaningsih menjelaskan bahwa sisi lain dari Undang-Undang tersebut adalah ada kerugian yang dialami gerakan buruh antara lain terpecah-pecahnya buruh dalam berbagai serikat[7].
Gerakan buruh saat ini mulai mulai masif dilakukan untuk menunjukkan kelasnya. Habibi (2013) mengatakan bahwa kenaikan upah minimum dan perubahan status kerja yang menguntungkan merupakan kompensasi yang diperoleh buruh lewat aksi jalanan mereka[8].
Hingga saat ini serikat buruh setiap tahunnya tidak pernah absen untuk melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Unjuk rasa juga dilakukan sebagai cara untuk melakukan tuntutan terhadap masalah-masalah ketenagakerjaan lainnya seperti status kekaryawanan, pembayaran tunjangan hari raya, dan hal lain yang bersifat peningkatan hak-hak buruh.
Gerakan buruh seringkali justru berujung pada sebuah konflik. Konflik tidak bisa dihindari selama ada interaksi manusia. Lumintang (2015) mengatakan bahwa apabila sistem komunikasi dan informasi tidak menemui sasarannya, timbulah salah paham atau orang tidak saling mengerti. Selanjutnya hal ini akan menjadi salah satu sebab timbulnya konflik atau pertentangan dalam organisasi[9]. Selain di organisasi atau kelompok, konflik biasanya juga timbul sebagai dampak dari adanya masalah antar pribadi dalam organisasi[10].
Konflik yang terjadi antara buruh dan pengusaha secara prinsip dipicu oleh salah satu atau beberapa sebab yaitu perbedaan pendapat, kesalahapahaman, ada pihak yang merasa dirugikan, dan perasaan yang terlalu sensitif[11]. Selain itu konflik secara umum bisa terjadi karena adanya perbedaan kultural/budaya[12]. Konflik karena faktor budaya dalam perusahaan dimungkinkan karena adanya perbedaan kelas manajemen dan kelas buruh yang budayanya berbeda.
Dalam menuju era perdagangan bebas ini, dimana kemudahan investasi diciptakan untuk kehadiran modal asing, maka upah yang murah akan menjadi salah satu alternatif dari kemudahan tersebut. Hal ini tentu akan menjadi isu pokok gerakan buruh yang bisa dilakukan dengan model unjuk rasa jalanan, atau dengan cara yang lebih demokratis seperti melakukan aksi perlawanan hukum.
Hal ini linear dengan peryataan Demartoto (2010) bahwa buruh perlu menggunakan cara yang lebih strategis dalam melakukan gerakannya. Perjuangan buruh demi peningkatan kesejahteraan sering ditanggapi oleh pengusaha sebagai suatu gerakan mengganggu pembangunan dan stabilitas dan sebab itu harus dihindari dengan cara-cara yang terkadang kurang sesuai etika, moral dan hukum yang berlaku, bahkan terkesan represif[13].
Referensi
[1] Pakpahan, Muchtar, Drs., SH., MA,. (2010) Konflik Kepentingan Outsourching dan Kontrak dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bumi Intitama Sejahtera, hal 34
[2] Djumadi, S.H., M.Hum., (2005), Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia, Raja Grafindo Persada, hal 17-18
[3] Ibid (Djumadi 2005) hal 33-34
[4] Ibid, (Djumadi 2005) hal 41
[5] Ibid (Pakpahan 2010) hal 44
[6] Data diakses pada laman http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55b8691e26785/inilah-data-serikat-pekerja-di-indonesia
[7] Purwaningsih, Rini, (2008), Konflik Antar Serikat Buruh, Jurnal Bisini dan Ekonomi (JBE) September 2008, ISSN 1412-3126, lihat halaman 143
[8] Muhtar Habibi, (2013), Gerakan Buruh Pasca Soeharto: Politik Jalanan di Tengah Himpitan Pasar Kerja Fleksibel, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 16, Nomor 3, Maret 2013, ISSN 1410-4946, lih hal 213.
[9] Lumintang, Juliana (2015), Dinamika Konflik Dalam Organisasi, e-journal “Acta Diurna” Volume IV, Nomor 2 Tahun 2015, lihat halaman 1
[10] Ibid hal 1
[11] Ibid hal 2
[12] Rejeki, MC Ninik Sri (2011) Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik Dalam Sebuah Organisasi Bisnis Multinasional, Jurnal Komunikaso, Volume 1, Nomor 2 Januari 2011, hal 137
[13] Demartoto, Argyo (2010), Strukturalisme Konflik, Pemahaman Akan Konflik Pada Masyarakat Industri Menurut Lewis Coser dab Ralf Dahrendorf, FISIP Universitas Sebelas Maret, ISSN 0215-9635 Vol 24 No 1 tahun 2010