Bahaya Arus Balik WNI Simpatisan ISIS dari Suriah

Bahaya Arus Balik WNI Simpatisan ISIS dari Suriah

Teror bom di Thamrin yang diduga dilakukan oleh kelompok ISIS 14 Januari 2016 lalu menjadi suatu peringatan serius bagi Indonesia. Aksi teror yang telah mengakibatkan 4 warga sipil dan 4 dari kelompok teroris tewas ini harus diwaspadai. Aksi ini bukan menjadi sebuah akhir dari aksi teror dari kelompok radikal yang berafiliasi dengan ISIS di Suriah.

Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Tito Karnavian (18/11/2015) menyatakan bahwa ada 384 WNI yang sudah bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah. Pada saat itu Kapolda Metro Jaya juga menyatakan bahwa 46 WNI kembali ke Indonesia setelah bertempur di Suriah. Para kombatan inilah yang berpotensi menjadi pelaku aksi teror di Indonesia, dan bukan hal yang mustahil bahwa sebagian dari mereka adalah pelaku teror bom di Thamrin.

Aksi teror oleh kelompok ISIS mantan kombatan Suriah berbeda dengan aksi teror dari kelompok radikal kanan yang terjadi di Indonesia sebelumnya seperti bom Bali I dan II, JW Marriott dan Ritz-Carlton. Jika teror bom sebelumnya hanya 1 aksi berupa bom bunuh diri, maka teror bom di Thamrin selain bom bunuh diri di gerai kopi Starbukcs juga ada aksi serangan dengan tembakan ke polisi. Serangan kelompok ISIS mempunyai ciri khas serangan dengan senjata seperti bentuk peperangan di Suriah, hal ini membedakan dengan generasi kelompok Al Qaeda yang serangan terornya berbentuk bunuh diri.

Kelompok ISIS patut diwaspadai oleh Indonesia mengingat arus balik WNI simpatisan ISIS dari Suriah mulai terjadi. Selain itu masifnya serangan dari berbagai negara ke Suriah membuat pertahanan ISIS semakin terurai. Kombatan yang berasal dari simpatisan negara lain mulai mengamankan diri dan kembali ke nagara asal. Salah satu dampak dari melemahnya ISIS di Suriah adalah adanya serangan atau aksi teror yang mengatasnamakan ISIS di berbagai negara termasuk Paris dan Indonesia.

Aksi teror bom di Thamrin diduga merupakan aksi gabungan dari mantan kombatan Suriah dan kelompok radikal MIT pimpinan Santoso di Poso. Paling tidak, ada hubungan antara kelompok Santoso, Bahrun Naim di Suriah, dan para pelaku teror bom di Thamrin. Hubungan ini bisa dilacak melalui transaksi keuangan dengan metode follow the money oleh PPATK. Metode pembuktian lain adalah melacak bukti komunikasi yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Kedua hal tersebut diyakini sudah dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia sehingga berhasil melakukan penangkapan sebagian anggota kelompok simpatisan ISIS ini pada akhir Desember 2015 yang lalu. Penangkapan terduga teroris di Bekasi 23 Desember 2015 menjadi suatu prestasi yang signifikan dalam mencegah terjadinya bom malam natal dan tahun baru.

Terduga AH yang tertangkap pada 23 Desember 2015 diduga menjadi perantara atau penerima dana dari ISIS Suriah. AH diduga kuat menjadi salah satu tokoh kunci yang menyiapkan aksi teror malam natal dan tahun baru.  Jika dipelajari latar belakangnya, AH dan Bahrun Naim menempuh pendidikan dalam waktu dan kampus yang sama di Solo. Bahrun Naim ditangkap dan akhirnya dipenjara pada tahun 2010 karena kasus penguasaan amunisi.

Informasi dari sebuah sumber menyatakan bahwa AH mulai bekerja di sebuah perusahaan yang cukup terkenal di Bekasi pada tahun 2010. Latar belakang pendidikan Teknik Kimia mempermudah AH memperoleh pekerjaan dan mendapatkan jabatan hingga selama 5 tahun sempai kemudian tertangkap. Kuat dugaan bahwa AH mengamankan diri setelah Bahrun Naim tertangkap pada tahun 2010.

Secara umum sebenarnya dapat dilihat bahwa kelompok radikal  simpatisan Al Qaeda di Indonesia yang dimpimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir, yang sekarang sedang menjali hukuman di Nusakambangan,  mulai melemah. Kelompok yang eksis melakukan teror akhir-akhir ini diduga adalah kelompok pimpinan Aman Abdurahman yang berafiliasi dengan ISIS. Meskipun sebenarnya anggotanya sama saja, hanya berbeda organsisasi induk dan pemimpin di tingkat lokal.

Selama di penjara Aman Abdurahman melakukan kaderisasi, termasuk kepada Afif,  pelaku teror bom Thamrin. Afif merupakan tukang urut Aman Abdurahman di penjara Cipinang. Para narapidana kasus pelatihan bersenjata di Aceh pimpinan Aman Abdurahman inilah yang menjadi simpatisan ISIS dan diduga sebagian yang telah bebas menjalani hukuman kemudian hijrah ke Suriah untuk membangun dan menguatkan sel ISIS di Indonesia.

Melemahnya ISIS di Suriah jutsru akan menguatkan sel ISIS di Indonesia. Metamorfosa dari simpatisan Al Qaeda menjadi ISIS bukan hal yang mustahil mengingat kelompok ini mempunyai basis arah radikal yang sama. Afiliasi kepada ISIS dipilih dengan dugaan motivasi untuk memperoleh dana pendukung.

Indonesia harus lebih waspada dengan arus balik WNI simpatisan ISIS dari Suriah. Kerjasama dengan para simpatisan ISIS yang tinggal di Indonesia (kelompok Solo, dan kelompok Santoso) dengan mantan kombatan di Suriah akan menjadi suatu kekuatan yang cukup siginifikan untuk melakukan teror.

Untuk mencegah aksi dari kelompok mantan kombatan Suriah ini maka pemerintah perlu melakukan beberapa hal yang terutama adalah produk hukum yang mengatur tentang WNI yang sudah terlibat dalam organisasi terlarang di luar negeri. Hukuman pencabutan status kewarganegaraan sangat tepat dikenakan sehingga jika mereka kembali dapat mudah untuk dieksekui. Tentu saja proses eksekusi ini harus didahului dengan kerjasama yang sinergis antara Interpol, BIN, Imigrasi, BNPT dan lembaga lain yang berhubungan dengan terorisme.

Langkah kedua dari pemerintah adalah dengan menumpas kelompok radikal afiliasi ISIS di Indonesia. Kuat dugaan bahwa sel ISIS di Indonesia terjadi di beberapa kota seperti Solo, Poso, dan Bima. Luasnya Indonesia dan medah yang cukup beragam membuat kelompok radikal akan mempunyai kesempatan luas untuk bersembunyi sambil mengendap menyiapkan aksi berikutnya.

Wilayah Kalimantan perlu meningkatkan kewasapdaan, masifnya gerakan aparat keamanan di Poso akan membawa dampak pencarian daerah baru sebagai markas dan daerah pelatihan. Hutan di Kalimantan adalah wilayah yang cocok sebagai pengganti Poso.

Kelompok radikal yang sekarang dipenjara perlu dilakukan penanganan khusus. Penjara justru menjadi tempat kaderisasi yang secara intensif dapat dilakukan dengan mudah. Setalah keluar dari penjara maka sel-sel dan anggota baru akan terbentuk. Hukuman untuk pelaku teror dan program deradikalisasi perlu ditinjau agar pasca menjalani hukuman perilaku radikal sudah tidak ada dan mereka dapat hidup normal di masyarakat.

Langkah ketiga adalah melakukan program kontra radikalisasi di masyarakat.  Dengan pemahaman kontra radikal di masyarakat maka akan tercipta deteksi dini dan peringatan dini oleh masyarakat jika ada potensi gerakan dari kelompok radikal. Pemahaman kontra radikal dapat diterapkan secara dini di sekolah-sekolah melalui kurikulum bela negara, dan di masyarakat dengan pembinaan rohani dan kesadaran bela negara yang mengutamakan wawasan kebangsaan yang mendukung semangat Bhineka Tunggal Ika.

Terorisme adalah masalah bersama, bukan hanya tanggung jawab Densus-88. Gencarnya aksi perlawanan berbagai negara kepada ISIS di Suriah jutsru akan menguatkan kelompok radikal simpatisan ISIS di Indonesia. Hal ini didukung dengan tambahan kekuatan arus balik simpatisan ISIS dari Suriah. Jika tidak ada langkah strategis dari negara dan tidak ada dukungan dari masyarakat maka bukan hal yang mustahil teror terjadi lagi di Indonesia dengan korban yang lebih besar. Kunci dari menghadapi bahaya gerakan ISIS di Indonesia adalah sinerginya negara dan masyarakat dalam melawan kelompok radikal. ***

 

Stanislaus Riyanta (Mahasiswa S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia)

Catatan: Artikel ini dimuat di Kalteng Pos, 20 Januari 2016

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent