Transformasi Pemberitaan Media Massa Sebagai Upaya Kontraterorisme

Transformasi Pemberitaan Media Massa Sebagai Upaya Kontraterorisme

Pendahuluan

Di era modern seperti sekarang, terorisme menginginkan suatu publikasi yang luas dalam setiap aksinya. Oleh karena itu terorisme membutuhkan sarana dalam proses publikasi tersebut. Salah satu sarana yang dibutuhkan adalah melalui media. Tampaknya antara terorisme dan media terdapat hubungan yang saling menguntungkan atau bisa dikatakan sebagai simbiosis mutualisme. Di satu sisi teroris memanfaatkan media sebagai sarana untuk menyebarkan ancaman dan ketakutan bagi masyarakat. Di sisi lain, media juga diuntungkan dalam pemberitaan mengenai terorisme dan cenderung mengejar rating.

Hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya seringkali menjadi hambatan dalam upaya pemberantasan terorisme di suatu negara terlebih di negara yang menganut kebebasan pers. Diantara teroris dan media justru terjalin suatu hubungan simbiosis mutualisme yang berbahaya. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi media yang hanya sekedar mengejar rating, berlomba dalam mencari scoop, cenderung tidak objektif, dan tidak independen dalam penyajian beritanya. Maka dalam meliput terorisme, media massa diharapkan pada pilihan apakah mempertahankan kepentingan bisnis dan ekonomi atau tanggung jawab sosial.[1] Sehingga dari pilihan serta penetapan tujuan tersebut, diharapkan media dapat melakukan suatu bentuk transformasi dalam bentuk pemberitaan mengenai terorisme. Dengan kata lain, media massa harus memperhatikan efek yang dihasilkan dari suatu pemberitaan. Mereka diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan dari setiap pemberitaan tanpa mempedulikan konten dari pemberitaannya yang justru akan makin memperparah kondisi keamanan di satu wilayah tertentu.

Pembahasan

Terorisme klasik melakukan propaganda melalui aksi (propaganda by deeds), sehingga memerlukan dukungan media massa dalam melakukan upaya penekanan kepada masyarakat.[2] Secara tidak langsung, media massa sebenarnya turut serta mendukung upaya-upaya tindakan terorisme dengan melakukan publikasi besar-besaran terhadap berita terorisme. Kekerasan merupakan suatu fenomena yang menarik dan menyita perhatian publik karena sesuatu yang jarang terjadi. Pada prinsipnya, media massa sendiri berlomba-lomba dalam mencari berita yang laku dipasaran. Kecenderungan publik terhadap berita yang menyangkut kekerasan, sesuatu yang berdarah-darah, atau pun fenomena kejahatan lainnya relatif tinggi.

Peliputan media telah menyediakan keuntungan konstan bagi teroris. Media telah memperkuat tindakan-tindakan teroris sebagai sesuatu yang penting secara politis di luar porsi yang semestinya.[3] Para teroris selalu mengerti betapa pentingnya memanipulasi media, karena keberhasilan terorisme sangat ditentukan oleh peran media massa nasional dan internasional yang berfungsi menyebarkan kejadian walau sangat mengerikan dengan bebas tanpa batas.[4]

Media di negara-negara demokratis berhak mengumumkan segala hal yang menjadi tuntutan teroris dengan dalih menerapkan prinsip kebebasan untuk menyiarkan (freedom to inform), selain prinsip bahwa rakyat berhak untuk mengetahui (public rights to know).[5] Paham kebebasan pers ini lebih menguntungkan di posisi teroris, terutama dari sisi pemberitaan media yang berlebihan.[6]

Saat ini, harus di akui bahwa media cenderung bias dalam penyajian berita karena sudah larut dalam persaingan dalam memperoleh scoop atau berita yang eksklusif. Kondisi media massa seperti sekarang justru meresahkan karena media sendiri sudah terkesan hanya mengejar profit semata. Media sudah tidak terlalu memperhatikan substansi dari berita dan informasi yang mereka sajikan. Harusnya media massa sendiri mempunyai tanggung jawab yang besar dalam menyajikan pemberitaan dan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dilema Media Massa dan Terorisme

Terorisme sendiri bukan hanya sekedar melakukan aksi pemboman, pembunuhan, maupun pembajakan, namun mengigat terorisme tersebut merupakan instrumen yang diadopsi untuk mencapai suatu tujuan mereka, oleh karena itu terorisme juga melakukan kegiatan-kegiatan dalam menebar rasa takut sebagai implikasi dari tujuan mereka. Tujuan jangka panjang dari teroris dan yang utama adalah dengan mempublikasikan segala aksi mereka, mengutarakan tuntutan mereka, mempengatuhi agenda kebijakan publik, memperkuat dan memobilisasi dukungan di antara simpatisan.[7] Mereka membutuhkan media untuk mencapai semua tujuan-tujuan mereka.

Media memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat. Media memberikan berbagai macam informasi serta pengetahuan untuk masyarakat dan bahkan media juga dapat mempengaruhi persepsi dari masyarakat itu sendiri. Saat ini, media pun tidak dapat dipisahkan oleh masyarakat karena keduanya saling bergantung. Jeffrey Ross memandang bahwa media massa merupakan lahan kampanye yang penting serta menjadi ruang terbuka bagi diskusi dan perdebatan tentang berbagai hal termasuk terorisme.[8] Sementara Sanjeev Sharma melihat bahwa titik temu dari dua tema tersebut terletak pada fungsi dasar media massa sebagai aktor penyalur informasi, mendidik khalayak dan menghibur masyarakat dengan keinginan dari kelompok teroris untuk diperhatikan publik.[9] Media massa memosisikan informasi tidak lebih dari sebuah transaksi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen di pasar informasi.[10] Oleh karena itu, berita atau pun informasi yang bersifat sensasional selalu menjadi perhatian utama bagi publik dan mendapat tempat dalam ruang berita media massa.

Terorisme dan media mempunyai kaitan yang erat. Terorisme modern memanfaatkan media sebagai sarana penyebaran ketakutan, teror, dan ancaman terhadap masyarakat akan aksi-aksi mereka. Media berfungsi sebagai kaca pembesar bagi terorisme terhadap serangan yang mereka lakukan. Tanpa media, tindakan terorisme hanya lah sekedar tindakan membunuh saja. Sehingga yang membedakan antara pembunuhan dan terorisme terletak dari sarana yang memanfaatkan media. Sehingga muncul istilah media merupakan oksigen bagi para terorisme dalam menjalankan setiap aksi terornya. Hal ini senada dengan ungkapan Mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher yang mendeklarasikan bahwa publisitas adalah oksigen bagi para teroris.[11] Namun secara keseluruhan, media membawa cukup banyak kecemasan dan ketakutan pada publik karena media tidak bisa menggambarkan situasi dari terorisme itu sendiri dengan baik.[12] Ketidakpahaman mereka mengenai teroris membuat mereka menyajikan berita tersebut dengan apa adanya tanpa memikirkan efek yang akan di timbulkan di kemudian hari.

Media massa selayaknya mendapatkan pengawasan dan perhatian khusus terutama mengenai pemberitaan yang berkaitan dengan terorisme. Jika hal ini tidak dapat disikapi secara bijak, justru akan menimbulkan masalah baru. Kita bisa mengambil contoh pemberitaan mengenai kejadian teror di Hotel Taj Mahal, Mumbai, India, pada tahun 2008.[13] Pada kejadian tersebut, ada sejumlah teroris yang tidak sempat melarikan diri dari dalam hotel setelah pengeboman terjadi. dan diwaktu yang bersamaan sejumlah televisi pun melakukan siaran langsung. mereka tetap melakukan siaran sekalipun pihak yang berwajib telah melarangnya dengan alasan siaran merupakan hak publik, dimana masyarakat harus mengetahui peristiwa tersebut.[14] Sangat disayangkan, gerakan pasukan antiteror justru dapat diketahui para teroris yang bersembunyi di dalam hotel melalui tayangan siaran langsung sejumlah media tersebut. Alhasil, belasan aparat keamanan tersebut tewas.[15]

Contoh di atas merupakan bukti bahwa media massa dalam melakukan liputan hanya sekedar meliput bahkan tidak mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Apakah dengan memberikan liputan terhadap aksi-aksi terrois tersebut akan menyelesaikan masalah kontra terorisme? Jawabannya tentu saja tidak, justru media secara tidak langsung telah mendukung serta membantu teroris dalam pencapaian tujuan mereka.       Media merupakan salah satu sarana dalam melakukan upaya kontra terorisme dalam pendekatan soft power. Amplifikasi media yang terkadang tidak proporsional bisa menimbulkan kepanikan, sehingga masyarakat kemudian akan menuntut pemerintah untuk meningkatkan keamanan negara dan melindungi masyarakatnya.[16] Sehingga ada baiknya jika media tidak hanya sekedar mengejar rating. Media juga turut berupaya mendukung pemerintah dalam melakukan pemberantasan terorisme di dunia namun dengan porsi yang tepat. Media juga tidak boleh mengecilkan berita serta ancaman dari terorisme yang sebenarnya masih berpotensi sebagai ancaman masyarakat hanya karena sebagai upaya untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk tahu mengenai perkembangan terorisme saat ini dan potensi-potensi yang masih memungkinkan terhadap aksi terorisme di masa yang akan datang.

Solusi dan Rekomendasi

Media memainkan peran sentral dalam pemberitaan serta menentukan besar atau kecilnya efek dalam suatu pemberitaan. Arda Bilgen dalam artikelnya menuliskan beberapa rekomendasi yang dapat diimplementasikan untuk meminimalkan efek negatif dari media terkait terorisme, yaitu :[17]

  • Desecuritization: Dalam rangka mengubah hubungan simbiosis antara terorisme dan media dilakukan suatu evaluasi kembali dengan mengubah retorika konten berita terkait terorisme. Misalnya berita mengenai terorisme tidak hanya dalam hal orang-orang yang terkait atau yang menjadi teroris, tetapi lebih mengedepankan konteks penderitaan dari korban teroris. Sehingga sekuritas nya dapat dikurangi dan lebih mengedepankan kepentingan kemanusiaan dan kondisi masa depan. Hal tersebut tidak hanya mencegah teroris menggunakan media sebagai publisitas mereka tetapi juga dapat mencegah munculnya suasana tidak aman di tengah masyarakat.
  • Objectivity : Ini merupakan upaya dalam melindungi masyarakat. Media harus memiliki tanggung jawab terhadap publik sehingga diperlukan objektivitas yang tinggi dalam menyajikan suatu berita. Media juga harus menyajikan kedua sisi cerita baik dari pemerintah dan teroris (tidak berpihak) tanpa adanya spekulasi dan dramatisasi sehingga para penonton dapat berpendapat dan beropini sendiri dari suatu peristiwa.
  • Clarity : Salah satu tujuan dari teroris adalah untuk memberi informasi yang salah terhadap publik dan mengeksploitasi ketidakpastian dan kecurigaan. Sehingga, media harus memberikan informasi yang jelas, yang paling faktual, dan paling seimbang untuk mencegah kesalahpahaman di tengah masyarakat.
  • Selective use of soft power : Penggunaan media sebagai alat propaganda melawan teroris umumnya sia-sia, mengingat bahwa media memiliki batas-batas tertentu dan kewajiban hukum dan moral, sementara teroris tidak seperti itu. Namun, media dapat digunakan sebagai urusan publik dan alat diplomasi publik menggantikan peran propaganda (semua hal dilunakkan).
  • Differentiation : Karena tidak ada kelompok teroris yang sama, media harus membedakan antara berbagai jenis terorisme dan kelompok teroris agar tidak memprovokasi dan memobilisasi masyarakat terhadap kelompok minoritas etnis dan atau agama tertentu. Dengan kata lain, media harus berusaha untuk tidak menjadi provokator bagi siapa pun dan tidak menggunakan kalimat-kalimat yang menjurus ke arah provokasi.
  • Counter cyber-terrorism : Hal ini sudah menjadi perhatian khusus mengingat internet telah membawa era terorisme secara online dan para teroris dengan leluasa dapat mengakses web untuk merekrut, mengumpulkan uang, dan menyebarkan pesan mereka. Oleh karena itu dilakukan langkah-langkah untuk melawan kegiatan cyber Langkah-langkah ini dapat mencakup pelacakan aktivitas mereka di forum online, berikut kegiatan mereka di media sosial, dan mencegah penyebaran radikalisasi dari situs web tertentu. Selain itu, memberlakukan hukum di tingkat nasional untuk menghukum orang-orang yang menggunakan Internet untuk memprovokasi masyarakat, merekrut dan melatih, sebagai upaya pencegahan serangan.
  • Government assistance : Hal ini berkaitan dengan perolehan dukungan publik terhadap pemerintah dalam menangani terorisme ini. Sehingga media sendiri harus bisa menginformasikan dengan baik pada penonton. Oleh karena itu media dihimbau untuk mengerti konteks dari suatu berita agar berita tersebut bisa melunak.

Selain hal-hal di atas, media juga perlu pengawasan oleh lembaga terkait agar berita-berita yang disajikan dapat tersaring dengan baik sebagai upaya peningkatan kualitas konten berita. Mengenai pengawasan terhadap media massa, tulisan ini mengambil contoh upaya-upaya pengawasan terhadap media massa di Indonesia. Indonesia sendiri sudah melakukan upaya-upaya dalam upaya penanggulangan terorisme melalui media. Baru-baru ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai salah satu regulator penyiaran yang bertugas untuk mengawasi konten isi siaran lembaga penyiaran, termasuk televisi dan radio melakukan kerja sama. Kerja sama antara BNPT dan KPI diharapkan dapat memberikan masukan dan arahan untuk lembaga penyiaran, rumah produksi (production house) dan stakeholder penyiaran lainnya untuk berpartisipasi dalam pencegahan radikalisme dan terorisme melalui media penyiaran.[18]

Penutup

Media dan teroris mempunyai hubungan simbiosis mutualisme yakni keduanya saling membutuhkan dalam setiap pencapaian tujuan mereka. Namun hubungan saling menguntungkan seperti ini justru merugikan masyarakat luas dan bahkan menimbulkan potensi kekacauan yang harus segera ditindaklanjuti.

Media harus berupaya netral terhadap semua pihak dengan menampilkan berita-berita yang sebenarnya tanpa ada kepentingan. Dengan kata lain, media diharapkan lebih memahami mengenai terorisme itu sendiri terutama mengenai latar belakang mereka. Dengan pengetahuan yang baik, maka media sendiri dapat berdiri secara independen dan dapat menyajikan berita mengenai potensi serta ancaman terorisme dengan baik pula. Sehingga hal tersebut akan menciptakan suatu pengetahuan baru bagi masyarakat untuk selalu waspada terhadap tindakan terorisme. Misalnya media diharapkan lebih menekankan pada dampak dari terorisme, kondisi korban, yang justru menjadikan hal ini menarik bagi publik. Dengan mempopritaskan tayangan seperti itu publik menapatkan pengetahuan baru yang bukan hanya mengenai proses dan jenis tindakan terorisme semata namun juga mengetahui dampak serta kerugian yang terjadi akibat dari aksi terorisme.

Seharusnya, setiap tayangan yang mereka sajikan kepada masyarakat mengandung unsur informasi yang tidak meresahkan namun lebih terkesan memberikan kewaspadaan terhadap terorisme bagi segenap masyarakat. Pemilik media pun juga harus lebih objektif dan lebih bijak dalam menyajikan berita-beritanya. Jangan hanya berfokus pada isu-isu terhangat saja dan mengejar rating dari perusahaan media yang mereka punya. Yang terakhir adalah diharapkan adanya suatu kerjasama baik dari pemerintah, media, dan masyarakat dalam menanggulangi masalah terorisme ini.

[1] Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis. Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm 130

[2] David J. Whittaker, Terrorist and Terrorism in the Contemporary World, (New York dan London : Routledge, 2004), hlm 91

[3] A.M Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta : Kompas, 2009), hlm 218

[4] Ibid, hlm 218

[5] Sukawarsini Djelantik, Op.Cit., hlm 130

[6] Ibid, hlm 130-131

[7] Pippa Norris, Monague Kern, dkk (ed.), Framing Terrorism The News Media, The Government, and the Public, (New York dan London : Routledge, 2003), hlm 8

[8] Jeffrey Ian Ross, Deconstructing the Terrorism News Media Relationship.’ Journal Crime, Media, Culture, Vol. 3 No. 2. 2007

[9] Sanjeev Kumar Sharma, Linkages of Democracy, Terorism and Media,’ Journal of Politic Science, Vol II No. 1, hal. 15, 2006

[10] Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar,’ Jurnal Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Vol. 4 No. 2, 2000

[11] Margareth Thatcher, Speech to American Bar Association, Diakses di http://www.margaretthatcher.org/document/106096, Pada 7 Oktober 2015 Pukul 11.33 WIB

[12] David J. Whittaker, Op.Cit., hlm 93

[13] Agus SB, Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi, (Jakarta : Daulat Press, 2014), hlm 105

[14] Ibid, hlm 105

[15] Ibid, hlm 105

[16] Hesti Wulandari, Terorisme dan Kekerasan di Indonesia, Sebuah Antologi Kritis, (USA : Lulu.com, 2014), hlm 13

[17] Arda Bilgen, Terrorism and The Media: A Dangerous Symbiosis, Diakses di http://www.e-ir.info/2012/07/22/terrorism-and-the-media-a-dangerous-symbiosis/, Pada 7 Oktober 2015 Pukul 09.26 WIB

[18] ISL, Mempersempit Paham Radikalisme di Layar Kaca, Diakses di http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32985-mempersempit-paham-radikalisme-di-layar-kaca, Pada 7 Oktober 2015 Pukul 11.26 WIB

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent