Teror Sebagai Aktivitas Politik dan Kaitannya Dengan Kejahatan
Pendahuluan
Di era globalisasi seperti sekarang, ancaman terhadap kehidupan manusia semakin beragam, sehingga ancaman tersebut sudah tidak lagi sebatas perang-perang besar seperti pada peristiwa Perang dunia I dan II. Namun, ancaman tersebut sudah lebih berkembang dan meluas terutama mengenai aktornya. Ancaman tersebut berasal dari kelompok-kelompok radikan yang ada di tengah-tengah masyarakat yang tidak dibayangkan sebelumnya.
Dalam Terrorism and Global Security, Ann E. Robertson mengemukakan bahwa terorisme yang terjadi sekarang ini bisa terjadi kapan saja dan dimana saja serta menjadi ancaman serius bagi keamanan global saat ini.[1] Teror sendiri mengandung arti penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas, daripada hanya pada jatuhnya korban kekerasan. Sedangkan terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan politik tertentu.[2]
Istilah terorisme itu pun berasal dari kata terrere atau menakut-nakuti yang menjadi pangkal permasalahan dalam mengartikan terorisme. Terorisme merupakan fenomena yang kompleks serta memiliki definisi yang sangat luas. Meskipun demikian, semuanya hampir berangkat dari titik mula yang sama.[3] Dengan definisi yang sangat luas serta kompleks, terorisme sendiri mempunyai karakteristik yang sama dan sangat utama, yaitu menggunakan kekerasan, penekanan, pemaksaan kehendak terlepas motif-motifnya atau penggunaan kekuatan atau kekuasaan, serta otoritas untuk melakukan atau menebar ancaman kepada pihak lain baik negara atau kelompok tertentu. Dengan kekerasan, teroris dapat menyebarkan rasa takut serta mengancam bagi setiap masyarakat, pemerintah, maupun negara. Selain itu, tindakan terorisme juga dilakukan oleh suatu kelompok yang terorganisir serta dilakukan oleh kelompok subnasional atau non state actor.
Terorisme VS Tindakan Kriminal
Terlepas dari banyaknya definisi mengenai terorisme, di sisi lain perlu untuk diperhatikan mengenai pola, motivasi, tujuan, karakteristik, serta bentuk-bentuk kegiatan terorisme tersebut. Dalam tulisannya, Whittaker menggunakan peristiwa 9/11 sebagai objek penelitian. Dari objek penelitian tersebut terdapat perbedaan antara tindakan terorisme dan kriminal. Hal ini dikarenakan aksi terorisme dan kriminal sangat erat kaitannya. Sehingga terkadang masih rancu untuk membedakan antara tindakan kriminal dan terorisme. Namun keduanya mempunyai perbedaan yang signifikan. Whittaker menyebutkan beberapa perbedaan tersebut, diantaranya :[4]
Teroris | Kriminal |
– Berjuang untuk tujuan politik | – Bersifat kebetulan/bergantung pada kesempatan |
– Latar belakang ideologi atau agama | – Netral |
– Berkelompok – terfokus | – Egosentris |
– Mempunyai satu tujuan | – Tidak mempunyai tujuan |
– Terlatih untuk suatu misi | – Tidak terlatih |
– Bersifat menyerang | – Berorientasi melarikan diri |
Terorisme Bermotivasi Politik
Begitu banyak definisi serta perdebatan mengenai terorisme. Namun, terorisme sendiri dapat di definisikan berdasarkan aktivitas, bentuknya, hingga evolusi dari kelompok-kelompok terorisme tersebut. Berdasarkan bentuk, terorisme biasanya dibedakan secara tradisional dengan bentuk-bentuk kriminal lainnya terutama atas dasar bentuk politik.
Saat ini, banyak bermunculan kelompok-kelompok terorisme di berbagai belahan dunia dengan menggunakan aksi teror guna mencapai tujuan politiknya. Sehingga timbul pertanyaan mengapa pilihannya terorisme?. Jawabannya mungkin sederhana, yaitu biayanya murah, metodenya tidak rumit, pengorganisasiannya sederhana, tetapi efektif digunakan untuk perimbangan kekuatan di lapangan.[5]
Viotti dan Kauppi mengemukakan bahwa terorisme merupakan suatu tindakan kekerasan yang bermotivasi politik dengan tujuan untuk memberikan efek kekacauan pada masyarakat dan Pemerintah.[6] Bruce Hoffman mengemukakan bahwa tindakan teroris biasanya dirancang untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Biasanya, hal ini dipahami dan dilakukan dalam cara yang secara simultan merefleksikan tujuan-tujuan khusus dan motivasi kelompok, yang disesuaikan dengan sumber-sumber dan kapabilitas, serta mengambil sejumlah target dimana tindakan tersebut ditujukan.[7] Terorisme merupakan aktor rasional yang berusaha memperoleh kekuasaan politik melalui ancaman atau menggunakan kekerasan.[8] Kemudian hal ini seringkali dilakukan oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan dari segi politik. Pada dasarnya, terorisme diciptakan dengan sengaja untuk menyebarkan rasa takut melalui kekerasan atau ancaman kekerasan demi mengejar suatu perubahan politik.
Namun, selain motif politik, motif balas dendam juga menjadi landasan bagi kelompok terorisme dalam menjalankan aksinya terutama pada aparat keamanan. Polisi merupakan salah satu target sasaran para kelompok teroris. Misalnya beberapa kejadian penembakan anggota Polisi di Poso oleh kelompok teroris MIT menjadikan suatu teror dan peningkatan kewaspadaan sendiri bagi aparat keamanan. Nyatanya, kelompok-kelompok teroris tersebut sudah tidak pandang bulu dalam menargetkan sasaran mereka. Jadi, siapa pun yang menghalangi aksi teror mereka, akan menjadi target sasaran mereka selanjutnya.
Berlatar Belakang Ideologi atau Agama
Peristiwa 9/11 secara drastis telah mengubah wajah terorisme masa kini. Sejak saat itu, motif dibalik peristiwa terorisme diidentikkan dan lebih mengarah pada ideologi atau agama. Kecenderungan kemudian mengarah pada Islam yang selalu diidentikkan dengan terorisme. Islam bukan lah agama teroris, hanya saja pelaku teroris tersebut kebetulan beragama Islam. Sehingga perlu dibedakan dengan jelas mengenai Islamic religious behaviour dan religious extremist ideology serta terorisme agama dan terorisme yang berbasis keagamaan.
Terorisme berbasis keagamaan lebih memakai agama sebagai topeng dan kuda tunggang untuk mencapai tujuannya. Tujuannya memang politis, tapi memakai alat agama, ini menjadi berbeda dengan agama itu sendiri.[9] Sehingga harus dibedakan khususnya dalam terorisme di dunia kontemporer saat ini yang seringkal djadikan sebagai pengalihan isu.
Adanya Islam sebagai simbol dari terorisme, sering ditumpangi untuk motif kepentingan pribadi yang pada akhirnya menyebabkan dampak luas pada seluruh komunitas dengan cepat. Bukan saja berdampak pada kaum muslimin, namun juga berdampak pada komunitas lain yang pada akhirnya melahirkan sikap curiga serta ketegangan sosial. Misalnya, pasca terjadinya peristiwa 9/11, banyak warga muslim disalahkan di Amerika Serikat dan munculnya Islamophobic.
Terorisme Suatu Tindakan Yang Terorganisir
Suatu tindakan terorisme merupakan tindakan kekerasan yang terancang dan terencana dengan rapih. Ini yang menyebabkan perbedaan antara tindakan terorisme dan tindakan kriminal. Seperti yang sudah di bahas sebelumnya, tindakan terorisme berbeda dengan tindakan kriminal yang berlatar belakang politik dengan tujuan untuk menjungkirbalikkan sistem politik dan sistem pemerintahan yang ada. Namun dalam pelaksanaaanya sering menggunakan tindakan-tindakan kriminal dalam mencapai tujuan mereka. Sehingga kondisi yang seperti sekarang membuat terorisme telah menjadi suatu bentuk hibrida antara kelompok terorisme dengan kelompok kriminal seperti kasus penembakan terhadap polisi, perampokan bank, dan sebagainya.[10]
Berdasarkan karakteristiknya, terorisme dapat dikelompokkan ke dalam empat macam, yaitu :[11]
- Karakteristik Organisasi : Meliputi organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan hubungan internasional
- Karakteristik Operasi : Meliputi perencanaan, waktu, taktik, dan solusi
- Karakteristik Perilaku : Meliputi motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh, dan keinginan menyerang hidup-hidup
- Karakteristik Sumber Daya : Meliputi latihan atau kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan, dan transportasi.
Target Dari Serangan Terorisme
Terorisme secara khusus dirancang untuk menciptakan efek psikologis terhadap korbannya secara langsung. Berbicara mengenai target atau sasaran, terorisme lebih sering menyasar masyarakat sipil sebagai target mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut yang dalam serta mengintimidasi seluruh masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah nasional, partai politik, atau opini publik secara umum.[12] Aktor dari terorisme itu sendiri merupakan kelompok-kelompok yang merasa tidak puas akan kebijakan yang di buat oleh pemerintah pada suatu negara.
Terdapat pergeseran tujuan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok terorisme khususnya di Indonesia di era reformasi. Terorisme semula menargetkan kawasan-kawasan vital seperti rumah ibadah, Kedutaan Besar, dan pusat keramaian di Indonesia. Belakangan ini, serangan kelompok teroris malah lebih ditujukan kepada aparat keamanan dan kantor-kantor pemerintahan, terutama polisi. Tampaknya, hal itu disebabkan karena kemarahan kelompok teroris terhadap polisi yang berhasil menangkap sejumlah besar pelaku teror di Indonesia.[13]
Kesimpulan
Terorisme merupakan ancaman yang nyata bagi dunia. Hal ini terjadi mengingat terorisme sebagai gerakan radikal yang berarti gerakan yang “mengakar” karena suatu ideologi yang ditanamkan, cara-cara ekstrem yang digunakan, dan tujuan yang ingin dicapai khususnya tujuan politik. Organisasi dan jaringan teroris merupakan jaringan yang teroganisir dengan baik dan terlatih. Hal ini bertujuan untuk melakukan aksi-aksi teror mereka terhadap publik.
Perbedaan antara tindakan terorisme dan kriminal terletak pada motivasi dan tujuannya. Misalnya digambarkan dalam suatu peristiwa pembunuhan. Jika terjadi aksi pembunuhan dengan motivasi politik dan bertujuan untuk menebar ketakutan di lingkungan masyarakat bisa dikatakan sebagai tindakan terorisme. Begitu pula sebaliknya, apabila pembunuhan dilakukan diluar motif-motif yang sudah dibahas sebelumnya maka itu digolongkan sebagai tindakan kriminal. Namun keduanya saling berkaitan dalam menjalankan aksi teror demi mencapai suatu tujuan.
Perkembangan terorisme nyatanya mengikuti perkembangan globalisasi sehingga diperlukan peningkatan kewaspadaan bagi setiap masyarakat, aparat keamanan, serta pemerintah untuk menjaga kestabilan keamanan negara dari ancaman terorisme. Hal ini merujuk pada prinsip efek psikologis dalam perang yang apabila semakin sulit sebuah aksi diramalkan oleh musuh maka semakin besar aksi tersebut memberikan kemenangan.
[1] Ann E. Robertson, Terrorism and Global Security, (New York : Fact on File, INC, 2007), hlm 5
[2] A.M Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta : Kompas, 2009), hlm 25
[3] James D. Kiras, Terrorism and Globalization. Dalam John Baylis dan Steve Smith (eds.) The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Third Edition, (New York : Oxford University Press, 2005), hlm 480
[4] David J. Whittaker, Terrorist & Terrorism in the Contemporary World, (London : Routledge, 2004), hlm 46
[5] Agus SB, Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi, (Jakarta : Daulat Press, 2014), hlm 9
[6] Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity. Third Edition, Upper Saddle River, (New Jersey : Pearson Education Inc, 2007), hlm 276
[7] Robertson, Op.Cit., hlm 11
[8] Bruce Hoffman, Defining Terrorism dalam Terrorism and Counterterrorism, Understanding The New Security Environment, Third Edition. (New York : The McGraw-Hill Companies, Inc, 2009), hlm
[9] Agus SB, Op.Cit., hlm 35
[10] Ibid, hlm 7
[11] DR. A.C. Manullang, Terorisme dan Perang Intelijen, Behauptung Ohne Beweis (Dugaan Tanpa Bukti), (Jakarta : Manna Zaitun, 2006), hlm 100
[12] Ibid, hlm 33
[13] Agus SB, Op.Cit., hlm 16