Teori dan Model Penjelasan Terkait Terorisme Ditinjau Dari Pendekatan Teori Sosio-Psikologis Narcistik
Pendahuluan
Sering kali muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai tujuan terorisme dalam menjalankan aksi terornya, baik mengenai motivasi yang mendasari mereka, dan mengapa mereka begitu berani untuk menjalankan aksi teror sekalipun aksi tersebut menjadi aksi bunuh diri bagi mereka. Hal ini menjadi dasar perlunya untuk dilakukan analisis mengenai kondisi psikologis dari teroris tersebut. Bukan kah kondisi psikologis seseorang sangat mempengaruhi cara mereka bertindak bahkan tak jarang dengan menempuh jalur ekstrim sekalipun. Aspek psikologis ini sangat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap keagamaan, ideologi politik, cara hidup, perilaku dan karakter, motivasi dalam melakukan kekerasan, serta dari perilaku sosial mereka. Hal ini lah yang menjadi dasar untuk pentingnya menitikberatkan pada faktor psikologis dari para teroris tersebut. Dalam memahami kondisi psikologis mereka, kemudian dapat diharapkan serta dimanfaatkan untuk melakukan suatu analisis dan ramalan guna mencegah aksi-aksi terorisme yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Teori Sosio-Psikologis Narcisistik
Isu-isu terorisme yang merebak dapat di bahas mulai dari penyebab aksi, cara berpikir, dan bertindak. Melalui analisis aspek-aspek sosio-psikologis, peneliti memperoleh cara pandang psikologis dan sosiologis kelompok-kelompok teroris internasional dan individu.[1] Dewasa ini, ada banyak teori dan model penjelasan terkait terorisme. Dari berbagai macam teori mengenai terorisme, teori yang sangat sesuai untuk menggambarkan mengenai tindakan terorisme adalah teori sosio-psikologis narcisistik. Mengapa dikatakan demikian?. Hal ini berkaitan dengan pola serta karakteristik dari pelaku teror itu sendiri dalam menjalani aksinya. Selain itu, berkaitan pula terhadap kepribadian, perilaku, serta cara berpikir para teroris terhadap lingkungan sosial. Narcisistik merupakan perasaan yang timbul dari diri seseorang yang mengganggap dirinya yang paling benar diantara orang lain, selalu memelihara ego mereka, tidak senang berkompetisi, cenderung menyalahkan orang lain, segala sesuatu yang dikerjakannya bersifat praktis dan cepat dalam mencapai suatu tujuan.[2] Sehingga dengan dasar seperti itu, seseorang narcisistik boleh melakukan hal apa saja sesuai dengan apa yang dia anggap benar sekalipun itu merugikan bahkan melanggar hak-hak serta perasaan orang lain.
Orang-orang dengan gangguan kepribadian narcisistik memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan serta kemampuan mereka yang terfokus dengan berbagai fantasi keberhasilan besar untuk dijadikan pola yang membesar-besarkan sesuatu (baik dalam fantasi atau perilaku), kebutuhan untuk dikagumi, lemah dalam empati yang dimulai dari dewasa awal dan hadir dari berbagai konteks.[3] Narcisistik sendiri merupakan suatu gejala dari tiap-tiap individu itu sendiri dalam menilai kebenaran dan hal ini akan berdampak pada pola pikir serta rencana-rencana dari tindakan mereka sendiri. Para teroris cenderung memiliki kepribadian yang merasa bahwa dirinya dan apa yg dikerjakannya benar dan apa yang dikerjakan orang lain adalah salah. Narcisistik berbeda dengan gangguan kejiwaan. Narcisistik lebih berfokus kepada pandangan pribadi terhadap dirinya yang hebat, senang di puji, kurangnya empati, dan lain-lain. Jika gangguan jiwa biasanya selalu mendorong orang untuk melakukan tindakan kekerasan yang ekstrim serta dapat diasosiasikan dengan karakter yang buas dan sadistik. Namun dalam analisis ini, antara narcisistik dan gangguan kejiwaan terkadang hampir sama. Logikanya adalah, jika seseorang merasa dirinya benar dan seseorang itu memaksakan segala apa yang dia rasa terhadap orang lain tapi orang lain tersebut malah bertentangan dengannya maka jalan satu-satunya yang dilakukannya adalah jalan ekstrim.
Untuk membantu penjelasan serta pemahaman mengenai kondisi psikologis para teroris, dalam analisis ini digunakan satu contoh. Contoh yang diambil adalah mengenai kondisi psikologis Amrozi, salah satu pelaku teror Bom Bali yang menunjukkan tanda-tanda bahwa ia merupakan seorang yang narcisistik. Menurut Sarlito Sarwono dalam bukunya yang berjudul Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologis, Amrozi merupakan seorang anak yang tumbuh dengan sifat pemberontak dan sering melakukan tindakan aneh yang merupakan ekspresi dari mencari perhatian. Ia memiliki satu hal dalam pikirannya, yaitu apa yang diajarkan ayahnya kepadanya bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan ia harus menerapkan Islam ini dengan benar sehingga ia harus membenci yang selain Islam.[4] Ketika mendengar tentang pemboman, Amrozi merasa senang dan ia puas dengan operasi tersebut dan tidak memiliki penyesalan apapun karena mereka telah menghancurkan musuh-musuh Islam, ia pun bangga ketika dirinya masuk TV dan ia memiliki keyakinan bahwa ayahnya juga akan sangat bangga padanya.[5]
Karakteristik Kelompok Teroris
Ahli Psikologi Jerrold M. Post, John W. Crayton, dan Richard M. Pearlstein menganggap bahwa teroris mengalami kerusakan mental, terkait dengan perkembangan pada usia dini.[6] Dasarnya adalah, jika narsisme primer tidak dinetralisir melalui pengujian realitas, maka individu-individu bersifat anti-sosial, sombong, tidak menghargai orang lain, terpeliharanya rasa kalah dan tidak berdaya yang mengarah pada reaksi untuk menghancurkan sumber luka diri yang berujung pada manifestasi khusus dari kemarahan terhadap diri sendiri yang menyebabkan terjadinya terorisme dalam konteks luka diri.[7] Menurut Crayton, terorisme adalah upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan atau menguasai melalui cara intimidasi. Crayton mengatakan bahwa “ide-ide besar” dari kelompok-kelompok teroris “melindungi anggota kelompok dari rasa malu”.[8]
Para teroris politik menolak menerima keberadaan dirinya sebagai teroris dengan identitas negatif dengan mengemukakan berbagai yang dipaksakan oleh cara berpikir kelompok.[9] Misalnya dalam melaksankan aksi teror, para teroris menggunakan aksi kriminal. Aksi kriminal yang dilakukan oleh kelompok teroris tersebut diyakini sebagai upaya jihad “di jalan Allah,” meski aksi-aksi tersebut bertentangan dengan norma kehidupan manusia.[10]
Para teroris selalu membenarkan setiap tindakan mereka dengan dalih jihad. Basis fundamental epistemologis yang digunakan kalangan teroris adalah melalui kebenaran epistemologis jihad qital, yang merupakan perjuangan habis-habisan dengan cara pembunuhan demi tercapainya tujuan.[11] Di ajaran agama sudah jelas tertulis jika melakukan perbuatan yang merugikan orang lain merupakan perbuatan dosa. Sehingga dari sini muncul pertanyaan, jika para teroris mengacu pada agama khususnya agama Islam, lantas Islam yang seperti apa yang sebenarnya mereka pahami?.
Pelaku tindak kekerasan dengan mengatasnamakan agama agaknya perlu diperiksa secara detail latar belakang kondisipsikologis pelak, apakah murni sebagai tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama ataukah agama hanya dijadikan tempat menyembunyikan maksud kejahatan pribadinya karena tidak sehat secara psikologis.[12] Terorisme tidak lagi mampu membedakan obyek, antara yang berbuat dan mereka yang tidak tahu apa-apa. Terorisme tidak dapat membedakan nilai antara jiwa manusia dengan batu, karena para teroris mengalami ketidakteraturan di dalam tata pikir.[13]
Bisa terlihat bahwa mereka selalu melakukan upaya pembenaran sendiri, merasa setiap perbuatan yang mereka lakukan adalah benar dari segala sudut pandang. Mereka membenarkan segala tindakan mereka sebagai bentuk dari amarah serta emosi mereka misalnya terhadap situasi negara pada saat itu. Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa mereka yang paling benar, suara mereka yang harus di dengar oleh pemerintah dan mereka menganggap Islam menghalalkan setiap tindakan terorisme tersebut.
Mereka mempunyai konsep politik, hukum, ekonomi, kenegaraan, dan lain-lain yang lebih baik daripada konsep-konsep yang sudah ada. Knutson melakukan penelitian intensif berskala internasional mengenai psikologi teroris dan menghasilkan premis dasar teroris yang dievaluasi secara mendalam adalah “aksi kekerasan berasal dari rasa marah dan tidak berdaya serta diperkuat oleh kepercayaan bahwa masyarakat tidak mengizinkan akses dan penyebaran informasi dan keterlibatan dalam proses pembuatan kebijakan”.[14]
Oleh karena itu mereka melakukan aksi pemberontakan yang terkesan ‘memaksakan’ kehendak mereka agar apa yang mereka inginkan bisa tercapai. Hal ini tidak terlepas dari definisi terorisme itu sendiri yang mengatakan bahwa terorisme sebagai aksi kekerasan untuk tujuan-tujuan pemaksaan kehendak, koersi, dan publikasi politik yang memakan korban masyarakat sipil yang tidak berdosa.[15]
Penutup
Aksi-aksi terorisme termotivasi oleh sifat narcisistik yang menganggap bahwa mereka yang paling benar dan segala sesuatu yang dilakukan serta dipikirkan oleh orang lain adalah salah. Tentu sifat narcisistik seperti ini merupakan suatu gangguan kepribadian yang tidak bisa menerima suatu kesalahan dan selalu menginginkan pembenaran. Dengan sifat yang merasa selalu benar, maka itu pula yang membuat karakteristik, perilaku, serta pola pikir teroris berkembang untuk mencari dalih bahkan dengan menggunakan cara-cara yang anarkis dalam mempertahankan pembenaran tersebut.
Pada akhirnya dari pembenaran tersebut mereka mencari suatu dasar yaitu agama. Namun lagi-lagi dalam hal agama mereka juga merasa paling benar. Tidak ada agama mana pun yang mengajarkan untuk berbuat teror dan menjadikan umatnya menjadi teroris. Agama hanya ditunggangi oleh mereka sebagai kambing hitam yang dapat menutupi motivasi utama mereka dalam menyebarkan teror.
Dari pemahaman mengenai kondisi tersebut, diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan terhadap aksi-aksi teror yang akan terjadi di kemudian hari terutama dari aspek psikologis. Doktin-doktrin mengenai kebenaran menurut mereka yang sebenarnya tidak benar dapat diminimalisir melalui pendekatan psikologis.
[1] Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis. Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm 18-19
[2] Marcus West, Feeling, Being, and The Sense of Self A New Perspective on identity, Affect and Narcissistic Disorder, (London : Karnac, 2007) hlm 205-206
[3] W. Keith Campbell dan Joshua D. Miller, ed. Narcissistic Personality Disorder, (New Jersey : John Wiley & Sons, Inc, 2011), hlm 14
[4] Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologis, (Tangerang : PT Pustaka Alvabet, 2012), hlm 29
[5] Ibid, hlm 30
[6] Jeanne N.Knutson, ed. Handbook of Political Psychology, (San Francisco : Jossey-Bass, 1973), hlm 46
[7] Sukawarsini Djelantik, Op.Cit., hlm 31
[8] Rex A. Hudson dan Marilyn Majeska (ed), 1999, The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes a Terrorist and Why? Divisi Penelitian The Library of Congress, Washington D.C, hlm 20. Diakses di http://www.loc.gov//rr/frd/pdf-files/Soc_Psych_of_Terrorism.pdf, Pada 16 September 2015 Pukul 11.20 WIB
[9] Richard M. Pearlstein, The Mind of the Political Terrorism, (Wilmington, Delaware : Scholarly Resources, 1991), hlm 169
[10] Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, (Jakarta : AS Production Indonesia, 2014), hlm 21
[11] A.M Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta : Kompas, 2009), hlm 283
[12] Agus SB, Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi, (Jakarta : Daulat Press, 2014), hlm 35
[13] A.M Hendropriyono, Op.Cit., hlm 296
[14] Jeanne N. Knutson, Toward a United States Policy on Terrorism, Political Psychology, 5, No. 2, Juni 1984, hlm 287
[15] Sukawarsini Djelantik, Op.Cit., hlm 3