Quid Pro Quo
Review dari Quid Pro Quo : The Challenges of International Stategic Intelligence Cooperation (Chris Clough) [1]
Artikel ini membahas mengenai pertukaran informasi antar lembaga intelijen dan kerjasama intelijen internasional. Quid pro quo merupakan ungkapan yang digunakan oleh badan-badan intelijen dalam mendeskripsikan hubungan antar badan intelijen khususnya mengenai pertukaran informasi. Kerjasama dapat dilakukan dalam bentuk bilateral atau multilateral.
Doktrin perang saat ini terutama di bidang operasi informasi, penipuan, penargetan, sangat bergantung pada intelijen. Misalnya, pada kerjasama badan intelijen Inggris dan Amerika Serikat serta kekuatan masa depan aliansi NATO dan kemampuan militer Uni Eropa (EU) dapat saling bergantung pada intelijen strategis. Kerjasama internasional intelijen tersebut merupaka isu sensitif, namun layak untuk dianalisis dari berbagai perspektif. Hal ini disebabkan karena intelijen strategis selalu memainkan peran penting dalam menyokong pengambilan keputusan dan perencanaan militer.
Kontribusi intelijen sangat penting mengingat tingkat ketidakamanan dunia semakin tinggi, sementara pemahaman bahwa tingkat berbagi informasi juga tidak kalah penting. Secara teori, intelijen strategis akan menjadi lebih efektif jika ada kerjasama dari badan-badan intelijen. Teori tersebut harus bisa diimbangi dengan prektek di lapangan yang optimal. Saling percaya merupakan faktor yang paling penting dalam kerjasama antar intelijen negara. Hal ini dilakukan agar mengoptimalkan dalam efisiensi atau efektifitas, juga bebas dari intrik serta persaingan.
Kerjasama Antar Bangsa
Intelijen strategis sebagaimana yang diungkapkan oleh Sherman Kent (1965) merupakan mekanisme untuk memprediksi ancaman terhadap stabilitas dan keamanan bangsa baik itu militer, politik, ekonomi, lingkungan, atau masyarakat. Pasca Perang Dingin, ancaman terhadap keamanan nasional semakin meningkat sehingga diperlukan perlawanan dalam skala multinasional. Seperti yang terjadi pada pengembangan senjata pemusnah masal (WMD), konflik intra negara dan genosida, ketegangan bipolar yang masing-masing memiliki efek buruk. Peristiwa tersebut akan mempengaruhi banyak negara dikarenakan kombinasi dari ketidakstabilan regional, kepentingan nasional, dan mutualitas ekonomi global. Contoh spesifik dari bentuk kerjasama badan-badan intelijen nasional adalah ketika terjadi pertempuran Atlantik, intelijen Inggris berbagi komunikasi intelijen yang disebut ULTRA kepada AS pada tahun 1941. Contoh lain mengenai model kerjasama intelijen antara koalisi multinasional dan hubungan “client-server” adalah NATO, USSR, dan satelit Pakta Warsawa.
Kerjasama intelijen internasional dapat terjadi di berbagai tingkatan yaitu instansi yang terlibat dan rincian produk intelijen bersama. Terdapat lima tingkatan dalam proses pembagian informasi intelijen yaitu visibilitas lengkap dari sumber dan produk merupakan detail terbesar tetapi juga membawa resiko yang besar, mengekspor seluruh atau sebagian produk mentah tanpa memaparkan sumber, hanya sebagai ringkasan data, hanya berbagi analisis data, berbagi kesimpulan kebijakan yang dihasilkan dari intelijen. Kemudian tingkatan selanjutnya bertanggung jawab untuk mengumpulkan, analisis, aplikasi militer, dan selanjutnya kebijakan militer tersebut dapat dipertimbangkan.
Elemen Kerjasama (Keunggulan dan Kelemahan)
Beberapa keuntungan dari diadakannya kerjasama intelijen tersebut, diantaranya pembagian beban atas dasar spesialisasi materi regional atau subjek, dan berbagi sumber daya. Contoh yang dapat ditelisik dari sini mengenai kemampuan spesialisasi antara Inggris dan AS. AS mengontrol teknologi tinggi terutama aset intelijen berbasis satelit dan Inggris lebih kuat dalam Human Intelligence (HUMINT). Manfaat lain dari kerjasama ini adalah sebagian besar bisnis intelijen khususnya di bidang analisis, didasarkan pada kepribadian individu, pengalaman, dan teori-teori. Dengan demikian, berbagi ide dan konsep dengan seseorang dari negara yang berbeda namun dengan tanggung jawab yang berbeda hampir selalu menguntungkan baik untuk memperkuat teori atau untuk menghindari pemikiran sempit.
Selain manfaat yang menguntungkan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam kerjasama antar negara juga mempunyai kelemahan. Misalnya, hubungan erat yang tercipta dapat menyebabkan penurunan kedaulatan dalam hal kepemilikan atau kontrol masalah intelijen yang berkaitan dengan kepentingan strategis suatu bangsa. Hubungan dekat yang didasarkan asumsi bahwa kepentingan strategis masing-masing negara akan tetap berkaitan dengan yang lainnya, dan bahwa ancaman akan terus memiliki prioritas yang sama bagi negara-negara tersebut. Dengan kata lain, beberapa rahasia negara akan diketahui oleh negara lain sekalipun dengan negara yang sedang melakukan kerja sama. Selain itu, peningkatan ancaman spionase dan kontraspionase merupakan domain dalam membatasi tingkat berbagi intelijen. Kelemahan selanjutnya adalah adanya lingkaran hubungan antar negara dimana terjadi suatu kerjasama multilateral intelijen secara terpisah hingga adanya penyesatan informasi dari sekutu untuk memperoleh alasan quid pro quo.
Peningkatan Kerjasama Intelijen Pasca Perang Dingin
Pasca Perang Dingin, kerjasama intelijen semakin meningkat mengingat ancaman-ancaman baru juga akan bermunculan. Faktor-faktor yang mendasari peningkatan kerjasama intelijen dintaranya pengaruh sifat ancaman multinasional untuk stabilitas internasional, peningkatan kerja pasukan koalisi militer, dan gerakan yang semakin meningkat terhadap proyek pengadaan pertahanan multinasional.
Mengingat alasan yang menyatakan bahwa intelijen NATO memiliki banyak kelemahan menyebabkan ketergantungan pada AS. Dalam konteks ini, bagaimanapun, sulit untuk membayangkan penyediaan intelijen strategis yang efektif tanpa ketergantungan pada AS
Kaitan Antara Teknologi, Budaya, serta Kolaborasi dalam Kerjasama
Tren mengenai teknologi modern yang ditujukan untuk penyatuan sumber daya antar negara-negara untuk memenuhi persyaratan pengadaan perangkat yang dilakukan sebagai upaya untuk pertahanan.
Mengenai dampak budaya yang terjadi dalam kerjasama yaitu mengenai perubahan sikap dapat diidentifikasi antar bangsa-bangsa utama lainnya, sebagai pengaruh budaya strategis yang menjadi penghalang untuk kerjasama intelijen, yang telah semakin rusak sejak akhir Perang Dingin, yang telah secara dramatis dipercepat sejak 11 September 2001.
Melihat ke masa depan, bisnis intelijen strategis akan tetap tegas menganut pengambilan keputusan nasional dan perencanaan dan operasi militer. Hubungan intelijen akan terus berkembang, baik kedalaman dan luasnya, menambah banyak manfaat potensi penghubung, tetapi juga meningkatkan kemungkinan kompromi. Tentu saja, analisis dari banyak faktor yang mempengaruhi kerjasama strategis intelijen internasional adalah hal yang penting bagi keseimbangan informasi.
Pembanding I The Architecture Of Community: Intelligence Community Management In Australia, Canada and New Zealand (Andrew D Brunatti) [2]
Artikel ini berbicara mengenai reformasi pada struktur organisasi intelijen di negara-negara ‘American-Anglo’ khususnya Kanada, Australia, dan Selandia Baru sebagai bagian dari Intelligence Community (IC). Ini mulai dilakukan Pasca Perang Dingin, dikarenakan timbulnya rencana pencegahan terorisme yang akan terjadi di masa depan. Terkait hal ini, beberapa hal fundamental yang harus dipahami adalah mengenai proses kebijakan yang ‘single handedly’ atau pengambilan keputusan secara individu di tingkatan eksekutif menyebabkan kurangnya distribusi informasi dalam tatanan administrasi pemerintahan, khususnya yang berhubungan dengan pertahanan negara.
Perubahan yang dilakukan dalam tatanan pemerintahan, administrasi, komite-komite yang berhubungan dengan kebijakan intelijen (nasional dan internasional), (RAB) Rancangan Anggaran Biaya, pola pengambilan kebijakan, sentralisasi/desentralisasi kebijakan. Australia, Canada, & New Zealand memiliki strateginya masing-masing dalam pengambilan reformasi ini, yang melibatkan peranan legislatif dan eksekutif dalam implementasinya. Yang perlu diperhatikan adalah ketidakefektifan penggunaan anggaran biaya ‘operasi-operasi intelijen’ agar lebih digunakan dengan selayaknya dan ‘peran antar aktor’ agar diidentifikasikan secara jelas. Khusus dalam penggunaan biaya, dibutuhkan aturan legal yang mengikat peran dan privasi pengambil kebijakan agar independen.
Australia mengembangkan departemen-departemen intelijennya lebih dahulu ketimbang Kanada dan Selandia Baru pasca perang dingin, yang mengambil bentuk sebagai komunitas intelijen yang sangat detail dalam pembagian divisi maupun proses administasinya. Berdasarkan rekomendeasi Justice Robert Hope, departemen-departemen sebagai pelaksana kebijakan difokuskan kepada empat hal yakni : Komite Nasional/Standing National Commitee, National and International Security Committee (NISC), Secretaries Commitee on Intelligence and Security (SCIS), dan Departement of Prime Minister and Cabinet (DPMC).
Selandia Baru menggunakan strategi efisiensi dalam birokrasi pemerintahan dan intelijen, dikarenakan budaya pemerintahannya yang kompleks. Sehingga sentralisasi pemerintahan diberlakukan untuk penghematan biaya negara, menekankan pada kolektivitas kebijakan agar terintegrasi secara menyeluruh.
Kanada menghadapi ketidakefektifan kinerja dikarenakan pengambilan keputusan dilakukan tanpa pengawasan yang baik, sehingga menyebabkan penggunaan dana untuk operasi-operasi intelijennya dapat dimonitor dengan baik. Dalam reformasinya, Kanada harus memonitor strategi kebijakan dan aplikasinya harus dikontrol agar tetap dalam koridornya.
Pembanding II
National Responses to Transnational Terrorism: Intelligence and Counterterrorism Provision[3]
Oleh: Thomas Jensen
Artikel ini berbicara mengenai ketidakpastian yang timbul dari sikap ‘counter-terrorism’, dikarenakan kebijakan berimplikasi terhadap banyak aspek maka artikel ini membahas secara sepesifik dalam ‘game-theoretic modelling’. Pada dasarnya, game-theory modelling menyatakan bahwa negara-negara yang melakukan counterterrorism cenderung berlebihan, sehingga negara-negara ini kesulitan dalam menyerang langsung kepada inti permasalahan karena adanya regulasi yang ketat terhadap terorisme.
Selain counterterrorism, ada semacam dilema yang timbul akibat dari kewaspadaan negara satu dengan negara lainnya dalam menilai ancaman potensial. Dari hal ini, timbul dua kondisi yang cukup membingungkan: Pertama, ada ketidaksamaan pengambilan sikap dari tiap negara dalam menanggapi isu terorisme transnasional berdasarkan penilaian/benchmark terhadap ancaman terrorisme. Kedua, kalaupun penilaian yang didapatkan sama maka belum tentu negara satu dengan negara lain yakin bahwa ancaman terorisme ini adalah informasi (intelligence sharing) yang valid, malahan dianggap dapat mendukung aktivitas terorisme agar lebih terencana.
Ada beberapa proposisi yang mendukung teori game-theory modelling. Pertama, dalam rangka menyamakan sikap terhadap terorisme, tiap negara akan berinvestasi pada mitigasi terorisme secara domestik saja sesuai dengan harapan teroris. Kedua, menggambarkan hasil dari perbandingan isu terorisme bersama dengan output yang dihasilkan tiap negara dalam upaya pencegahannya. Ketiga, menyatakan bahwa pencegahan terorisme secara domestik kurang efisien dibandingkan dengan benchmark umum mengenai terorisme beserta strategi menghadapinya.
REVIEW
Intelijen merupakan aspek penting dalam menanggulangi ancaman yang menjadi masalah keamanan global. Menurut Simon Chesterman, badan intelijen umumnya menganggap hubungan mereka dengan rekan-rekan di negara lain tergabung dalam lingkaran yang konsentris dengan dasar kepentingan bersama.[4] Hubungan tersebut berasal dari aliansi intelijen formal yang didirikan selama Perang Dunia II terutama hubungan antara Amerika Serikat dan Inggris, kemudian diperluas yang mencakup Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Alasan untuk berbagi dalam intelijen bervariasi tetapi biasanya melibatkan pertukaran informasi, analisis, atau sumber daya.[5]
Pasca Perang Dingin, arah ancaman internasional semakin fokus kepada ancaman-ancaman yang bersifat transnasional. Globalisasi juga turut memicu proliferasi ancaman terhadap keamanan internasional. Ketiga artikel diatas sama-sama berbicara dan fokus pada kasus terorisme yang semakin marak dan dianggap sebagai fenomena global. Untuk menanggulangi ancaman tersebut, tentu saja diperlukan langkah preventif sebagai upaya perlawanan dalam skala multinasional. Berbagi informasi dan koordinasi operasi intelijen antar negara dianggap perlu untuk mengatasi masalah bersama. Oleh karena itu, intelijen tidak bisa bekerja secara tunggal. Intelijen perlu membuat suatu sistem seperti ‘jaring laba-laba’ yang bisa memperluas jangkauan mereka serta membuat mereka bisa terkoneksi satu sama lain.[6]
Dalam artikelnya, Chris Clough mengatakan bahwa dalam kerjasama intelijen antar negara tidak semua menghasilkan keuntungan, namun tetap mempunyai kelemahan di dalamnya. Masing-masing negara tetap harus menjaga kedaulatannya dengan menjaga informasi penting negara agar tidak diketahui oleh pihak luar. Selain itu, dalam kerjasama intelijen internasional kekuatan antar negara harus seimbang dengan mengedepankan kelebihan intelijen yang dimiliki masing-masing negara. Misalnya Inggris unggul dalam HUMINTnya dan AS unggul terhadap teknologinya. Dengan memanfaatkan keunggulan tersebut bisa meminimalisir peran dominan suatu negara di dalamnya. Banyak “drivers” cenderung meningkatkan luasnya kerjasama internasional dalam intelijen strategis. Faktor mendasar adalah bahwa ancaman dapat dirasakan dan kerjasama dapat mengatasi kendala apapun.[7]
Hal senada juga diungkapkan oleh Andrew D. Brunatti mengenai keefektifan kerjasama intelijen terutama menganai penggunaan anggaran biaya. Mengingat operasi intelijen memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka berbagi informasi merupakan solusi terbaik. Masing-masing negara pun mempunyai karakteristik serta keunggulan sendiri dalam menerjemahkan langkah penanggulangan terorisme. Sehingga pengetahuan masing-masing negara tentang terorisme diwadahi dalam suatu kerjasama. Masing-masing negara mempunyai karakteristik serta cara tersendiri dalam menyikapi ancaman terorisme. Baik antara Australia, Selandia Baru, dan Kanada tetap mempunyai regulasi serta fokus tersendiri mengenai isu terorisme ini.
Mengenai intelligence sharing, Thomas Jensen mengatakan bahwa informasi antar negara mengenai terorisme relatif berbeda, sehingga ketika digabungkan dan dibagikan maka menimbulkan posibilitas yang sangat luas mengenai terorisme beserta ancaman potensialnya. Relasi antar negara mengenai sikap terhadap terorisme dan membagi informasi satu sama lain tergantung pada seberapa besar informasi itu sendiri dapat diverifikasi. Dalam memverifikasinya pun terdapat beberapa cara dalam mengumpulkan informasi dari intelijen negara sebagai masukan.
Dari ketiga artikel tersebut, sama-sama mendukung adanya suatu komunitas intelijen dalam menangani ancaman global khususnya terorisme. Semua negara yang terlibat termasuk negara Super Power tetap harus saling berkoordinasi dan bekerjasama memberikan informasi serta langkah preventif untuk menanggulangi ancaman-ancaman global yang merebak. Negara-negara yang terkait pun harus bisa menjaga masing-masing kerahasiaan negara agar tidak disalahgunakan.
KESIMPULAN
Dalam menjawab tantangan ancaman pasca Perang Dingin khususnya pasca 9/11, dunia internasional berupaya untuk mengantisipasi ancaman melalui kerjasama intelijen internasional dengan jalan pertukaran informasi. Kerjasama sendiri membuat potensi lembaga intelijen semakin kuat dalam memerangi ancaman. Kerjasama intelijen antara negara yang kuat merupakan aspek penting dalam menangkis bentuk ancaman yang berasal dari luar. Ini dilakukan sebagai langkah preventif dalam menghadapi tantangan keamanan baik dalam tingkat negara, regional, maupun dunia.
Kerjasama semacam ini akan menimbulkan manfaat serta rentan akan resiko. Hubungan kerjasama antar negara harus tetap menghormati nilai-nilai kedaulatan masing-masing negara. Kerjasama tersebut akan berakibat fatal apabila rahasia suatu negara tersebut menyebar luas.
Masing-masing kemampuan dan keunggulan yang dimiliki intelijen antar negara mempunyai keuntungan tersendiri dalam kerjasama. Ini menyangkut kemampuan masing-masing intelijen dalam menginterpretasikan mengenai ancaman global itu sendiri.
Bentuk kerjasama intelijen internasional di era modern seperti sekarang sebaiknya tidak hanya terbatas pada pembagian informasi. Namun bersedia untuk membagi pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Walaupun masing-masing negara nantinya akan membatasi hal ini yang juga berkenaan dengan eksistensi mereka di lingkungan internasional. Paling tidak hal semacam ini akan menimbulkan keseimbangan bagi lembaga intelijen masing-masing negara sehingga tidak tergantung pada satu negara saja yang cenderung mendominasi.
[1] Chris Clough, Quid Pro Quo : The Challenges of International Stategic Intelligence Cooperation,
International Journal of Intelligence and CounterIntelligence, 17: 601–613, 2004
[2] Andrew D. Brunatti, The Architecture Of Community: Intelligence Community Management In Australia, Canada and New Zealand. Public Policy and Administration 28(2) 2012, hlm 119–143
[3] Thomas Jensen , National Responses to Transnational Terrorism: Intelligence and Counterterrorism Provision, Journal of Conflict Resolution. August 14, 2014. hlm 1-25
[4] Simon Chesterman, Shared Secret Intelligence and Collective Security. (Australia: Lowy Institute for International Policy, 2006), hlm 19
[5] Ibid, hlm 20
[6] Elizabeth Sepper, Democracy, Human Rights, and Intelligence Sharing. Texas International Law Journal. VOL. 46:151, 2010. hlm 155-156
[7] Chris Clough, Op.Cit., hlm 605