Penegakan Hukum dan HAM dalam Menanggulangi Terorisme di Indonesia

Penegakan Hukum dan HAM dalam Menanggulangi Terorisme di Indonesia

Pendahuluan

Rangkaian peristiwa ledakan bom yang terjadi di Indonesia telah memberikan efek ketakutan yang luar biasa di tengah masyarakat. Pasca peristiwa tersebut, pemerintah Indonesia langsung mengeluarkan peraturan hukum dan perundang-undangan mengenai terorisme. Hal ini dilakukan sebagai upaya penanggulangan masalah terorisme di Indonesia.

Tulisan ini akan membahas dan merespon mengenai kebijakan konta terorisme ditinjau dari perspektif penegakan hukumnya dan merespon beberapa tulisan yang terkait. Pertama, tulisan Dr. Petrus Reinhard Golose yang berjudul strategi penguatan hukum dan deradikalisasi dalam mengeliminasi tindakan pidana terorisme secara garis besar membahas mengenai kebijakan serta wewenang aparat dalam upaya penanggulangan terorisme. Kedua, tulisan Usman Hamid mengenai pengembangan pemikiran dan solusi strategis penanggulangan aksi terorisme dalam perspektif hukum dan HAM secara garis besar membahas mengenai penegahak HAM dalam upaya pemberantasan terorisme. Dan ketiga, tulisan T. Nasrullah mengenai tinjauan yuridis aspek hukum materil maupun formil terhadap UU No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang secara garis besar membahas mengenai kritis atas UU terorisme yang berlaku di Indonesia.

Kewenangan Terhadap Penanggulangan Terorisme dan Penegakan Hukum di Indonesia

             Dalam upaya penanggulangan terorisme, terdapat perbedaan mengenai tugas dan wewenang dalam melakukan upaya penanggulangan terorisme. Dalam tulisan Dr. Petrus Reinhard Golose mengenai strategi penguatan hukum dan deradikalisasi dalam mengeliminasi tindakan pidana terorisme, menyebutkan mengenai permasalahan terorisme di Indonesia pada saat ini masih merupakan tindak pidana yang mengancam keamanan, belum mengancam pertahanan dan eksistensi negara. Oleh karena itu, institusi yang memiliki wewenang dalam penegakan hukum bagi tindak pidana terorisme adalah kepolisian bersama instansi penegakan hukum lainnya.[1] Militer tidak dapat terlibat dalam penegakan hukum. Keterlibatan militer hanya dapat dilakukan apabila terjadi keadaan darurat seperti adanya serangan nuklir dan senjata kimia. Apabila militer diminta membantu proses penegakan hukum, terbatas hanya pada membagi informasi, penyediaan perlengkapan, peralatan, jasa, dan keahlian.[2]

Di Indonesia, dalam hal ini TNI dan Polri mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang dan peratuan mengenai keduanya, yaitu dalam TAP MPR-RI No.VII/MPR-RI/2000, UUD 1945 BAB XII Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30, UU No. 34 Tahun 2004 dan UU No. 2 Tahun 2002, dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Teroris sendiri merupakan ancaman keamanan nasional sehingga jelas bahwa terorisme di Indonesia merupakan tindak pidana yang mengancam keamanana nasional, maka kewenangan penegakan hukum tindak pidana terorisme berada di tangan Polri.[3]

 Penanggulangan Terorisme dalam Perspektif HAM

Dalam tulisannya, Usman Hamid membahas mengenai konsep keamanan nasional dengan melindungi kedaulatan negara. Selain itu, konsep keamanan nasional juga tidak lepas dari keamanan insani serta melindungi hak-hak setiap warga negaranya. Begitu pula dalam menangani masalah terorisme, sebagai negara demokrasi tentunya mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Mengapa hak asasi manusia amat penting?. Hal ini dikarenakan bahwa hak asasi manusia adalah suatu hal yang mengikat secara universal, bersifat absolut, pada diri manusia, melekat dalam diri masing-masing individu sebagai suatu nilai yang tidak bisa dikurangi, menjadi jaminan legal untuk melindungi individu dan kelompok dari tindakan-tindakan yang bisa mengancam hak dasar tersebut.[4]

Terkait penanganan terorisme di dunia, setiap negara yang di bawah PBB mempunyai kewajiban untuk turut andil dalam memerangi terorisme yang sekaligus sebagai upaya untuk menjaga perdamaian dunia. Dalam upaya-upaya memerangi terorisme tersebut perlu diperhatikan prinsip-prinsip HAM dan tidak melakukan tindakan yang pragmatis.

MK memberi istilah terhadap aksi terorisme sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam. Terorisme tidak sama dengan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. MK sendiri mengakui bahwa putusan itu diambil karena belum ada landasan yuridis bahwa kejahatan terorisme juga tersangkut paut dengan kejahatan luar biasa.[5]

Dalam upaya menanggulangi aksi-aksi terorisme diperlukan suatu penguatan terhadap peran penegak hukum khususnya di Indonesia dengan menitikberatkan pada institusi keamanan, dalam hal ini kepolisian sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menghadapi aksi serangan maupun ancaman terorisme. Pemerintah Indonesia disponsori oleh Australia oleh beberapa pemerintah asing khususnya pemerintah Australia dan Amerika Serikat membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri sebagai lini terdepan dalam pemberantasan terroisme. Tugas pokoknya lebih banyak menitikberatkan untuk segera membongkar kasus pemboman, menangkap pelaku, dan membongkar jaringan teroris yang berada di belakang aksi teror.

Polisi memiliki kewenangan dalam penanggulangan terorisme, namun juga ada batasan-batasan nyata yang mengatur aspek dari kepolisian itu sendiri. Kekuatan diskresi yang melekat dalam mandat tugas mereka juga harus diikuti dengan proses pemahaman untuk menghormati berbagai ketetapan yang telah disepakati dalam standar HAM yang telah diakui dunia internasional. Sudah seharusnya tantangan-tantangan yang akan dan telah dihadapi oleh polisi dijalankan dalam koridor hukum dan standar HAM internasional.

Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

             Dalam tulisannya, T. Nasrulla membahas mengenai Peraturan Pemerintah Penggani Undang-Undang (Perppu) No.1 dan 2 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang No.15 tahun 2003. UU itu menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.[6] Pendapat tersebut berbeda dengan tulisan sebelumnya yang menyebutkan bahwa aksi terorisme merupakan aksi terorisme sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam. Namun terlepas dari perbedaan mengenai kategori dari terorisme, perlu adanya suatu kebijakan yang tepat dalam penanganannya.

UU terorisme memberikan justifikasi terhadap sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Hak tersebut adalah hak-hak non derogable rights atau yang tidak boleh dikesampingkan. seperti hak hidup, hak bebas atas penyiksaan dan hak persamaan di dalam hukum. Sikap yang tegas dalam menghadapi terorisme sangat di perlukan, namun perlu diperhatikan bahwa dalam menangani sebuah aksi terorisme yang dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat, sikap yang over responsif dapat mempengaruhi negatif terhadap perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia.[7]

Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Terorisme Melalui Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia

Tindakan pencegahan terorisme dapat diartikan sebagai tindakan yang efektif melalui kebijakan dan berbagai program strategi untuk mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Menghadapi ancaman terroisme yang akhirnya menimbulkan ketakutan serta penderitaan terhadap manusia, pemerintah demokratis harus dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam menentukan kebijakan dan keputusan akan hal ini. Di satu sisi, mereka harus menjunjung tinggi nilai-nilai dasar demokratis yaitu berdasarkan proses hukum dan hak asasi manusia. Di sisi lain, mereka harus memfokuskan pada dampak serta kerusakan yang disebabkan oleh terorisme itu sendiri.

Dalam rangka menanggulangi terorisme, negara dituntut untuk tegas dalam penanganannya karena ini menyangkut mengenai prinsip keamanan negara. Dalam rangka penegakan hukum, terdapat dua pendekatan yang digunakan yaitu soft approach dan hard approach, namun selama ini negara dominan menggunakan hard approach. Hard approach sendiri terdiri dari hukum, militer, dan intelijen.

Jika cara-cara militer diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi terorisme, ini merupakan keamanan militer (meskipun ini terkait juga dengan keamanan politik). Sesuai pengertian politik menurut Barry Buzan adalah pembentukan tingkah laku manusia dengan tujuan untuk mengatur sekelompok orang dalam jumlah yang besar.[8] Jadi ancaman politik merupakan sub-bagian dari ancaman nasional yang tidak memakai cara-cara militer dalam skala besar.[9] Keterlibatan militer tidak cocok dalam penanganan terorisme karena terorisme merupakan kejahatan melanggar hukum sehingga jika militer terlibat berarti militer termasuk pada penegakan hukum. Militer dalam konteks ini hanya membantu polisi apabila polisi tidak mampu mengatasi gangguan yang terjadi dan membutuhkan tambahan kekuatan.

Selain upaya dalam menjelaskan wewenang dan tugas dalam penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi, terdapat upaya kerjasama antara polisi dan lembaga intelijen. Semangat dan kinerja berlimpah yang dilakukan oleh aparat keamanan untuk melakukan penumpasan terorisme diharapkan dapat dibarengi dengan kegiatan menyimpulkan dan mengolah data yang diberikan oleh intelijen yang memadai. Intelijen harus difungsikan secara profesional dan efektif menjadi mata, telinga, rasa, dan pikiran untuk memberikan pencegahan sehingga mampu mengidentifikasi jaringan, kelompok, serta dapat mengantisipasi segala bentuk penyebaran bahaya terorisme

Dari hard approach, kemudian muncul pemikiran anti mainstream yang mengatakan bahwa dalam penanganan terorisme harus melibatkan serta memperhatikan tiga hal, yaitu (a) rule of law, (b) hak asasi manusia, dan (c) partisipasi pemerintah. Penegakan hukum sendiri merupakan hal yang esensial dalam strategi pemberantasan terorisme karena terorisme sendiri harus ditindak oleh hukum yang tegas dan negara harus turun tangan pada penegakan hukum tersebut.

(a) Rule of Law

Pada dasarnya Indonesia telah memiliki aturan hukum sebagai langkah berpartisipasi dalam rangka pemberantasan terorisme. Namun dalam aturan hukum tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai terorisme saat ini dirasa masih belum cukup untuk memberantas tindak terorisme.

Dalam rangka melakukan proses hukum terhadap terorisme tersebut, terdapat empat poin penting, diantaranya :[10]

  • Inkapasitatif (dihilangkan kapasitasnya),
  • Retributif (membalas sesuai atau setimpal dengan perbuatan),
  • Rehabilitatif (menyembuhkan teroris yang salah jalan dalam proses pidana),
  • Restoratif (hubungan pelaku dan korban dibuat damai kembali ketika pelaku sudah selesai menjalankan masa hukumannya).

Dalam proses ini hanya inkapasitatif dan retributif yang tidak memiliki nuansa hak asasi manusianya hanya semata-mata pembalasan. Sehingga hal yang harus dikedepankan dalam upaya penanggulangan terorisme adalah mengendepankan hak asasi manusia dan bukan semata-mata tindakan pembalasan

Masih terdapat beberapa kelemahan substantif dalam Undang-Undang dan peraturan hukum mengenai terorisme. Kelemahan tersebut justru akan memunculkan polemik baru khususnya mengenai klasifikasi teror atau dalam konteks teror mengenai motif politik yang tidak dapat dicari dan yang tidak dibahas dalam KUHP, serta peluang pelanggaran hak asasi manusia dalam proses hukumnya. Sehingga hal tersebut dapat segera diubah dan dilengkapi mengenai kekurangan-kekurangannya.

Pendekatan kontraterorisme yang banyak dilakukan oleh negara di dunia adalah pendekatah hukum. Sehingga diperlukan peraturan hukum yang jelas dan tepat, selain itu jangan sampai ada kekosongan hukum untuk antisipasi terhadap hukum terorisme. Upaya penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (selalu berada dalam koridor hukum).

(b) Hak Asasi Manusia

Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan hak asasi manusia dan pada dasarnya penting karena merupakan masalah prinsip. Ada dimensi praktis yang harus menjadi pertimbangan dengan baik. Misalnya tindakan penembakan yang disengaja terhadap orang yang tidak bersalah dalam operasi terorisme, biaya yang mahal dan cenderung tidak efisien yang memberikan kesan bahwa biaya jangka panjang mungkin lebih besar daripada manfaat jangka pendek.[11]

Indonesia merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, selama ini Indonesia masih menggunakan pendekatan kekerasan dalam menangani terorisme misalnya dengan penyergapan, pengejaran, pembunuhan, penangkapan oleh aparat keamanan. Keinginan yang besar dalam gerakan kontra terorisme seringkali mengabaikan nilai-nilai HAM di dalamnya. Terdapat beberapa dugaan pelanggaran hukum dan ham yang kerap dilakukan oleh polisi dan Densus 88, dimana bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa penggunaan kekuatan berlebihan (excessive Use of Force) yang mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, penembakan salah sasaran (shooting innocent civilians), penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap.[12]Aksi terorisme memang merupakan suatu aksi yang melanggar HAM namun cara-cara untuk memperlakukan para pelaku terorisme perlu untuk mengedepankan aspek HAM karena isu HAM berpengaruh terhadap upaya penanggulangan terorisme

Hak asasi manusia memiliki peran sentral dalam pemenuhan semua aspek dari strategi kontra terorisme. Beberapa negara telah terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam melawan terorisme, sedangkan perlindungan hukum untuk mencegah penyiksaan sering diabaikan.[13] Sekjen PBB Kofi Anan menekankan bahwa tindakan kontra terorisme yang efektif tetap memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia yang tidak bertentangan dengan tujuan, namun saling melengkapi dan saling memperkuat.[14]

(c) Partisipasi Pemerintah

Partisipasi pemerintah berbicara mengenai tata kelola dalam menangani masalah terorisme. Dalam prosesnya, pemerintah melalui aparat keamanan menangkap pelaku teror tidak kemudian mengabaikan aspek-aspek pelanggaran lain yang menyertainya. Pemerintah harus melakukan proses perencanaan, harus ada efisiensi, anti kekerasan, anti korupsi, dan hal-hal tersebut tidak boleh diabaikan dalam proses penangkapan pelaku teroris. Hal ini dilakukan mengingat alasan efisiensi dan tidak memunculkan kesan berlebihan dalam penanganan terorisme. Selain itu, pemerintah sendiri juga diharapkan tidak melakukan pelanggaran hukum dalam proses pemberantasan terorisme karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak kalah buruknya dengan pelanggara yang dilakukan oleh kelompok terorisme.

Penutup

Dalam menanggulangi tindakan terorisme di Indonesia, wewenang dan tugas berada pada polisi karena hal ini menyangkut mengenai kemananan negara. Keterlibatan militer hanya akan dilakukan ketika situasi mulai darurat dan ancaman itu sendiri sudah mengancam pertahanan negara. Kemudian dilakukan pemanfaatan laporan intelijen sebagai langkah efektif dan tindak lanjut dalam proses penyidikan terhadap pelaku terorisme.

Mengenai kontaterorisme di Indonesia memang masih perlu banyak perubahan terutama dari aspek hukum dan HAM dalam penanganan terorisme itu sendiri. Terdapat kaitan yang erat mengenai penanganan terorisme terhadap hukum dan HAM. Sehingga dalam proses penanganannya, polisi selaku pihak yang berwenang harus menjunjung tinggi HAM dan tidak keluar dari koridor hukum sekalipun terhadap pelaku terorisme, karena justru hal tersebut akan menimbulkan polemik baru dan bukan menjadi solusi dari permasalahan.

[1] Dr. Petrus Reinhard Golose, Strategi Penguatan Hukum dan Deradikalisasi dalam Mengeliminasi

Tindakan Pidana Terorisme, hlm 7

[2] Ibid, hlm 6

[3] Ibid, hlm 10-12

[4] Usman Hamid, Pengembangan Pemikiran dan Solusi Strategis Penanggulangan Aksi Terorisme dalam Perspektif Hukum dan HAM, hlm 1

[5] Ibid, hlm 7

[6] T. Nasrullah, Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap UU No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.4 No.I September 2005: 65-76, hlm 67

[7] Ibid, hlm 75

[8] Barry Buzan, Ole Waever, Jaap de Wilde, Security, A New Framework for Analysis, (London : Lynne Reinner Publishers, 1998), hlm 42

[9] Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis. Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010),hlm 276

[10] Prof. Adrianus Meliala, Ph.D, Rule of Law dalam Kontra Terorisme. Kuliah Terorisme dan Kontraterorisme, Program Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia. Jakarta, Pada 2 November 2015

[11] Steve Tsang (.ed), Intelligence and Human Rights In The Era Of Global Terrorism, (London : Praeger Security International, 2007), hlm 2

[12] KontraS, Potret Buram Densus 88 Anti Teror Dalam Bingkai Hak Asasi Manusia, Diakses di http://www.kontras.org/buletin/indo/DENSUS.pdf, Pada 7 November 2015 Pukul 12.30 WIB

[13] Alex Conte, Human Rights in the Prevention and Punishment of Terrorism, Commonwealth Approaches: The United Kingdom, Canada, Australia, and New Zealand, (London : Springer, 2010), hlm 390

[14] Ibid, hlm 391

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent