Keterlibatan Militer Dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Pendahuluan
Selama ini, penanganan mengenai terorisme terutama di Indonesia menjadi tugas serta wewenang polisi karena isu terorisme itu sendiri merupakan isu yang menyangkut tentang keamanan negara. Namun, pertanyaan selanjutnya muncul mengenai kapabilitas polisi sendiri dalam menangani masalah terorisme. Di satu sisi, polisi sendiri sudah membenahi dan memperkuat kemampuan serta kapabilitas mereka dalam menangani isu terorisme. Lantas dengan kemampuan serta kapabilitas yang memadai tersebut secara tidak langsung sudah menghilangkan porsi militer dalam membantu pemberantasan terorisme di Indonesia. Dengan kata lain, militer tidak mempunyai andil apa-apa dan hanya dilibatkan jika polisi memerlukan bantuan (status militer sebagai perbantuan saja).
Tulisan ini akan membahas dan merespon mengenai kebijakan konta terorisme yang melibatkan militer di dalamnya serta merespon beberapa tulisan yang terkait. Pertama, tulisan ini akan membahas mengenai ketiga tulisan dari Profesor Adrianus Meliala, Ph.D yang berjudul sinergi antara pasukan khusus, mungkinkah? yang membahas mengenai pasukan-pasukan khusus anti teror yang dimiliki oleh Indonesia yang lebih mengedepankan kekuatan Polri sebagai ujung tombaknya. Selanjutnya tulisannya yang berjudul Rapuh, platform Kontra-Teror di Indonesia yang membahas mengenai pelibatan TNI dalam rangka kontra terorisme masih hanya sebatas penantian karena sampai saat ini Polri lah yang selalu mendapatkan panggilan tugas untuk menghadapi teroris. Tulisan terakhir dari Profesor Adrianus Meliala, Ph.D dalam paper ini mengenai ajakan bagi TNI memerangi teror : ditampik atau diterima? membahas tentang kendala TNI dalam memerangi terorisme di Indonesia terletak pada legalitas dan akumulasi pengetahuan mengenai hal tersebut. Selanjutnya, tulisan ini akan membahas mengenai tulisan dari Letkol Inf joko Putranto mengenai hard-line approaches dalam upaya penanggulangan terorisme membahas mengenai perlunya keterlibatan militer dalam penanggulangan terorisme dikarenakan isu terorisme ini merupakan isu yang krusial dan mengancam stabilitas keamanan negara selain itu militer mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh polisi sehingga masalah terorisme bisa teratasi secara efektif dengan keterlibatan militer.
Resimen Gegana Polri Sebagai Ujung Tombak Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara sasaran para teroris dan sudah mempunyai pengalaman pahit mengenai serangan teroris tersebut, tentu saja berbenah diri dan melakukan segenap persiapan guna menjaga stabilitas dan keamanan negara dari ancaman teror. Dalam tulisan Profesor Adrianus Meliala, Ph.D mengenai sinergi antara pasukan khusus menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat pasukan-pasukan khusus yang dimiliki oleh TNI dan Polri dalam upaya penanggulangan ancaman terorisme. Misalnya, angkatan darat mempunyai Detasemen 81 Penanggulangan Teror (Gultor) yang merupakan bagian dari Koppasus. Untuk angkatan laut, terdapat detasemen Jala Mangkara yang merupakan bagian dari korps marinir. Serta untuk angkatan udara memiliki Detasemen Bravo yang merupakan bagian dari Pasukan Khas (Paskhas). Selain detasemen-detasemen yang dimiliki oleh TNI tersebut, Polri juga memiliki pasukan khusus serupa yaitu Resimen Gegana yang lahir dalam tubuh Brigade Mobil.[1]
Pasukan-pasukan tersebut sudah terlatih dan memiliki kemampuan yang luar biasa namun cenderung memiliki kemiripan satu sama lainnya. Mengenai kewenangan dalam penanganan terorisme di Indonesia, kecenderungan saat ini lebih berpihak pada Gegana dari Brimob Polri yang terus menerus memperoleh penugasan. Hal ini justru menjadikan Gegana Brimob semakin terlatih dan memiliki peningkatan secara fasilitas serta dukungan operasionalnya. Di pihak lain, pasukan-pasukan khusus yang lain hanya sibuk berlatih tanpa tahu kapan penugasan yang sebenarnya akan datang.[2] Hal ini pada akhirnya membawa polemik baru mengingat penugasan untuk Gegana Brimob terus datang silih berganti dibandingkan dengan pasukan khusus lainnya.
Dewasa ini, konon pasukan-pasukan itu jalan sendiri-sendiri, memiliki tuan sendiri-sendiri dan tidak merasa perlu untuk saling berkoordinasi satu sama lain. Alhasil, dalam beberapa kasus, ada kejadian dimana anggota-anggota antar pasukan khusus saling bentrok di lapangan.[3] Dalam konteks itulah, presiden selaku pimpinan tertinggi Polri dan panglima tertinggi TNI perlu memperjelas jalur komando dalam rangka sinergi penugasan terhadap berbagai pasukan khusus tersebut
Keseimbangan yang Kokoh dari Aparat Keamanan dalam Menangani Pelaku Teror di Indonesia
Dalam tulisan Profesor Adrianus Meliala, Ph.D yang berjudul Rapuh, Platform Konra-Teror di Indonesia membahas mengenai terorisme di Indonesia dalam perspektif aparat keamanan sebagai indikator keberhasilan atau kegagalan dalam aktivitas pelaku teror yang bergantung pada kinerja aparat keamanan.[4] Namun, dalam menghadapi bahaya teror yang serius justru platform dalam menghadapinya tidak ideal.
Pasca reformasi, kekuatan polisi dikuatkan dalam rangka penanggulangan teror di Indonesia yang sebelumnya adalah TNI sebagai pemegang kendalinya. Hal ini dilakukan sebagai upaya dalam memperkuat demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Polri sendiri memiliki Satgas ATB (satuan tugas anti teror dan bom), dan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) dalam menangani kasus teror. Keduanya mengalami tumpang tindih terkait pemberantasan teror.
Di luar Polri, situasi yang tidak kalah peliknya dilanda oleh TNI. Berbicara TNI yang juga memiliki satuan khusus anti teror, selama ini hanya menghabiskan waktu untuk latihan semata sembari menunggu waktu diperbolehkannya mereka untuk beraksi. Namun, disadari bahwa pengerahan TNI hanya boleh dilakukan dalam situasi khusus dimana kepolisian tidak mampu lagi menangani dan terdapat perintah dari pimpinan tertinggi TNI yakni Presiden. Masalahnya, Polri kini terus memperkuat diri. Terdapat pula situasi dimana konteks peralihan wewenang dari kepolisian kepada militer sesungguhnya belum jelas benar. Oleh karena itu, bisa jadi operasi sesungguhnya bagi TNI tidak akan pernah terjadi.
Tidak adanya organisasi yang menjadi pusat pengendali terkait kegiatan konta terorisme menjadi penyebab dari ketidakjelasan dalam perintah mengenai siapa saja yang diperintahkan oleh Presiden ketika hendak melakukan suatu operasi kontra teroris. Sehingga perlu adanya keseimbangan dalam perang melawan teror.
Kemampuan TNI dalam Memerangi Teror
Tulisan dari Profesor Adrianus Meliala, Ph.D yang berjudul Ajakan Bagi TNI Memerangi Teror : Ditampik atau Diterima? berbicara mengenai sudut pandang TNI sebagai pamungkas masalah terori di Indonesia. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan teror di Indonesia terbentur kendala legalitas dan akumulasi pengetahuan. Mengenai legalitas, bahwa masalah teror adalah masalah kejahatan yang perlu di respon melalui penegakan hukum. Oleh karena itu, segala dinamika terkait penanganan teror mesti dalam koridor tersebut yang antara lain berupa penindakan oleh aparat hukum yang berwenang, amandemen dasar hukum atau revitalisasi proses hukum. Sehingga pengaktifan militer tanpa mengintegrasikannya dengan konteks hukum itu tentulah akan menimbulkan situasi yang tidak pas.[5] Sejauh ini, niat mengaktifkan militer tidak disertai dengan pembahasan tentang harmonisasi hukumnya sehingga apa-apa yang dilakukan pihak militer menjadi dapat diterima secara hukum (admissible to the law).[6] Kemudian skema yang muncul terhadap militer adalah bekerja membantu kepolisian namun posisi ‘membantu’ itu justru tidak nyaman dirasakan oleh pihak militer.[7]
Mengenai pengetahuan, sayangnya militer tidak mempunyai akumulasi pengetahuan serta data apapun tentang kalangan yang selama ini aktif meneror Indonesia dikarenakan semua itu sudah dimiliki oleh polisi yang sudah mengejar teroris sejak sepuluh tahun lalu. Mereka pun tidak serta merta memberikan pengetahuan dan data tersebut begitu saja kepada TNI.
Sehingga bisa dikatakan bahwa secara stratejik, memerangi teroris bukan lagi ranah TNI karena kemampuan Polri mengenai teroris sudah lebih maju dan sulit dikejar oleh TNI. Namun demikian TNI masih bisa ikut serta dalam penanggulangan terorisme di Indonesia dengan dukungan kelembagaan, legalitas, dan anggaran yang memadai. Serta dibentuknya Badan Anti Teror Nasional, dimana TNI bisa berperan secara kelembagaan.[8]
Perlunya Kekuatan dan Keterlibatan Militer dalam Upaya Penaggulangan Teror
Menanggulangi tindakan terorisme di suatu negara perlu adanya pendekatan hukum dan perundang-undangan dan diharapkan permasalahan mengenai terorisme ini dapat cepat ditangani dengan menggunakan Undang-Undang kriminal. Dalam tulisan Letkol Inf Joko Putranto mengenai Hard-Line Approaches dalam Upaya Penanggulangan Terorisme (Penggunaan Militer dalam Upaya Penanggulangan Terorisme) mengatakan bahwa perlunya keterlibatan militer dalam upaya penanggulangan teror dan tentu saja hal ini tidak terlepas dari keputusan politik dan kepantasan dalam konteks nasional dan internasional. Selain itu, peran militer dipandang penting mengingat terorisme tidak saja menimbulkan dampak korban sipil yang tidak berdosa saja, tetapi juga keamanan nasional juga menjadi taruhannya. Hal ini di rasa perlu kendati Indonesia memperlakukan terorisme sebagai tindakan kriminal seperti yang tertuang dalam UU no 15/2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme yang menjadikan kewenangan pemberantasannya ada di pundak kepolisian.[9]
Penggunaan militer, dalam kondisi tertentu memang dapat dibenarkan dibawah Piagam PBB Pasal 51 (Article 51 o the UN Charter). Pasal ini memungkinan negara-negara mempunyai hak untuk mempertahankan diri dalam menghadapi serangan bersenjata. Oleh karenanya, apabila teroris menggunakan seragam bersenjata, maka tiap pemerintah dapat menggunakn kekuatan militer sebagai upaya untuk mempertahankan diri dari serangan.[10] Namun demikian, penggunaan militer tidak bisa sendirian, harus juga dibarengi dengan intelijen yang akurat, kerja sama dengan polisi dan aparat peradilan, tindakan konkrit untuk mencegah teroris untuk memperoleh akses pada senjata konvensional dan senjata pemusnah massal, sanksi yang tegas terhadap pelaku terorisme, membongkar jaringan pendanaan teroris, dan lain sebagainya.
Dikarenakan bentuk teror saat ini merupakan manifestasi dari konflik bersenjata seperti : tidak jelasnya garis depan (front line), serangan terhadap penduduk sipil menjadi norma, pembantaian, penyanderaan, pemboman, dan aneka perusakan yang menjadi polanya. Oleh sebab itu, akan menjadi kesalahan besar manakala “police primacy” atau ujung tombak pemberantasan terorisme ada di pundak kepolisian tetapi dengan cara memarjinalkan militer. Dalam konteks untuk merespon serangan terorisme, Indonesia dapat menggunakan pembenaran penggunaan kekuatan militer atas dasar “self-defense” atau hak untuk membela diri dan hal tersebut diharapkan tidak menjadi suatu keraguan bagi politisi dalam mengambil keputusan atas pemberian peran kepada militer untuk menggunakan kekuatannya dalam penanggulangan teror domestik.
Kebijakan Sinergitas Antara TNI dan Polri Mengenai Tugas Serta Wewenang Keduanya dalam rangka Penanggulangan Masalah Terorisme di Indonesia
Selama ini, penanggulangan terorisme di Indonesia merupakan tugas dan wewenang dari polisi sebagai penegak hukum. Dengan keterlibatan polisi tersebut menyebabkan mereka yang selalu menjadi garis utama dalam setiap operasi. Selain itu, mereka juga yang selalu mendapat dukungan baik secara fasilitas maupun pendanaan. Dengan selalu terlibatnya polisi, membuat mereka sangat menguasai ranah lingkup teroris itu sendiri dan membuat mereka mengembangkan kemampuan mereka. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa harus selalu polisi?. Apakah karena tindakan terorisme menurut Undang-Undang merupakan tindakan kriminal oleh karena itu wewenang semuanya dilimpahkan kepada polisi?, lantas militer tidak dapat celah sedikitpun dalam masalah ini. Hal ini berdampak pada pasukan khusus yang dimiliki oleh militer seolah tidak ada gunanya, Mereka hanya bisa berlatih tanpa diberi kesempatan langsung dalam operasi penyerangan teroris.
Keterlibatan militer dalam penanggulangan teroris di Indonesia merupakan hal yang perlu dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini dikarenakan terdapat hal-hal yang menjadi tugas serta wewenang militer di dalam operasi penanggulangan terorisme. Militer akan turun tangan jika itu menyangkut mengenai terorisme yang juga berdampak pada stabilitas nasional, penggunaan senjata biologi dan kimia, penyanderaan, pembajakan, dan lain-lain. Selain itu, dalam kacamata intelijen juga menyetujui pelibatan militer ketika menghadapi musuh yang berada pada level top of enemy dalam suatu rantai terorisme, yang berarti bahwa untuk menghadapi musuh dengan level yang kuat diperlukan kekuatan yang kuat pula sehingga terjadi keseimbangan kekuatan. Selain itu, alasan lainnya bahwa ketika melibatkan militer situasinya sudah berada dalam situasi yang matang karena militer selalu bernuansa eliminasi terhadap musuh yang secara hukum sudah tidak diharapkan lagi untuk hidup.
Pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme juga tidak lepas dari prinsip serta aturan yang berlaku terutama prinsip-prinsip demokrasi yang tetap di junjung tinggi. Hal ini dilakukan agar tidak terdapat aspek pelanggaran HAM atau pelanggaran niali-nilai demokrasi lainnya dalam upaya penanggulangan terorisme tersebut. Sehingga diperlukan situasi yang sudah pasti terutama ditinjau atau dilihat dari aspek HAM nya. Dapat ditegaskan bahwa jangan terlalu dini untuk mengerahkan militer. Penggunaan militer hanya dapat dilakukan jika situasi dan keputusan yang diambil sudah bulat.
Sehingga dari penjabaran di atas, untuk melibatkan militer dalam operasi terorisme harus memperhatikan hal-hal berikut :[11]
- Harus menjadi keputusan atau hal terakhir (jika menempuh jalur hukum sudah tidak mampu lagi),
- Durasi yang terbatas (karena jika durasinya panjang dan jika terjadi sesuatu di luar skenario maka yang akan menanggung akibatnya adalah pimpinan politik sebagai pengambil kebijakan),
- Legal framework atau harus bekerja dalam kerangka hukum karena hukum adalah solusi terbaik dalam sistem demokrasi,
- Destruksi yang rendah.
Penggunaan kekuatan militer dalam kondisi tertentu juga dapat diartikan bahwa perlunya dilibatkan unit-unit yang terlatih dengan baik dan polisi sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi para teroris yang berani mati serta terorganisir dengan baik. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, militer sangat ingin sekali terlibat dan mengambil alih karena faktor dari kinerja polisi yang pandang militer kurang memiliki keahlian yang baik dibandingkan mereka. Namun hal ini lagi-lagi terbentur dengan kebijakan dan aturan terhadap pelibatan militer. Oleh karena itu harus dibuat dan diperjelas mengenai Undang-Undang perbantuan militer. Selain itu, militer juga harus tunduk akan hukum sipil yang berlaku sehingga dalam operasinya tidak menimbulkan polemik baru.
Karena terorisme adalah kekerasan yang dilakukan oleh satu kelompok, maka harus dihadapi oleh pengerahan militer dan sumber-sumber daya lainnya.[12] Akan tetapi perlawanan militer bukan satu-satunya cara berlawan. Usaha-usaha non militer lain juga diperlukan misalnya dengan memperkuat penegakan hukum, mengedepankan peran intelijen lewat kemampuan deteksi dan forecasting nya, mengoptimalkan peran-peran institusi-institusi demokratis, menegakkan hak asasi manusia, menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kinerja pemerintah lokal.[13] Sehingga dari penjabaran sebelumnya, pelibatan militer dalam rangka penaggulangan terorisme perlu dilakukan hanya saja mengenai batas dan ruang geraknya perlu untuk diatur dan diperjelas di dalam Undang-Undang. Walau bagaimana pun, militer tetap punya andil besar dalam mewujudkan stabilitas keamanan nasional dan melindungi negara dari serangan teror dan bukan hanya sekedar latihan dan terus diliputi rasa ketidakpastian kapan akan disertakan dalam kegiatan operasi.
Penutup
Mengenai penanganan terorisme di Indonesia, diharapkan ada satu titik terang mengenai keterlibatan antara militer dan polisi. Jangan sampai tarik menarik mengenai kewenangan tersebut justru akan menurunkan kinerja aparat dalam menghadapi ancaman terorisme yang kian hari kian masif. Keterlibatan militer sendiri perlu dilakukan asal tetap dalam koridor yang sudah ditentukan. Dalam menghadapi ancaman terorisme seperti sekarang diperlukan kerjasama antar instansi terkait dan tidak mengedepankan egosektoral masing-masing demi mewujudkan keamanan dan stabilitas negara dari ancaman teror.
Pemerintah juga seyogyanya memberikan aturan yang jelas mengenai wewenang antara militer dan polisi terkait penanganan teror tersebut. Peratuan tersebut dibuat agar kapabilitas dari polisi tidak terus menerus melebar hingga mengambil apa yang seharusnya menjadi wewenang dari militer, dan militer sendiri pun tidak kehilangan kapabilitas dan wewenang mereka dalam membebaskan negara dari ancaman teror.
[1] Profesor Adrianus Meliala, Ph.D, Sinergi Antara Pasukan Khusus, Mungkinkah?, Jagratara Edisi XXXII, November 2007, hlm 6
[2] Ibid, hlm 7
[3] Ibid, hlm 7
[4] Profesor Adrianus Meliala, Ph.D, Rapuh, Platform Kontra_teror di Indonesia, hlm 1
[5] Profesor Adrianus Meliala, Ph.D, Ajakan Bagi TNI Memerangi Teror : Ditampik atau Diterima?, hlm 2
[6] Ibid, hlm 2
[7] Ibid, hlm 2
[8] Ibid, hlm 3
[9] Letkol Inf Joko Putranto, Hard-Line Approaches dalam Upaya Penanggulangan Terorisme (Penggunaan Militer dalam Upaya Penanggulangan Terorisme), Juli, 2011, hlm 1
[10] Ibid, hlm 4
[11] Prof. Adrianus Meliala, Ph.D, Use of Force Pelibatan Militer dalam Kontra Terorisme. Kuliah Terorisme dan Kontraterorisme, Program Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia. Jakarta, Pada 23 November 2015
[12] Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis. Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm 282
[13] A.A Banyu Perwita, Global Terrorist Threats and Regional Responses : The Case of ASEAN, dalam Anindyo Manjundar, Shibashis Chatterjee (eds) Understanding Global Politics, Issues and Trends, (New Delhi : Lancer Book, 2004), hlm 278