Kontra Narasi Terhadap Penyebaran Ideologi ISIS Di Indonesia
Pendahuluan
Dewasa ini, terorisme merupakan ancaman nyata bagi dunia. Tentu saja keberadaannya harus segera ditangani dan ditanggulangi secara efektif. Penanggulangannya pun dapat ditempuh dengan pendekatan keras maupun lunak. Hanya saja terkadang jika dilakukan dengan pendekatan keras, penanggulangan terorisme belum dikatakan efektif sehingga perlu adanya penggabungan baik dengan pendekatan keras maupun lunak.
Tulisan ini akan membahas mengenai kebijakan konta terorisme ditinjau dari perspektif kontra narasinya dan merespon beberapa tulisan yang terkait. Pertama, tulisan dari M.Adlin Sila berjudul Akar Ideologi dan Teologi dari Fundamentalisme, Radikalisme, dan Terorisme mengenai gerakan serta eksistensi salafi di Indonesia. Selanjutnya, tulisan dari Dr. Saifur Rohman, MHum yang berjudul Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme di Indonesia: Analisis Psikologi, Filsafat, dan Kultural mengenai perbedaan penafsiran terutama mengenai perintah agama yang dipahami oleh kelompok-kelompok teroris.
Dalam tulisan ini juga akan membahas mengenai upaya-upaya penanggulangan terorisme dan penyebaran paham dan pengaruh ISIS di Indonesia melalui pendekatan lunak (soft approach). Hal ini dilakukan karena pendekatan keras (hard approach) belum mampu menyentuh akar permasalahan. Sehingga diperlukan keseimbangan dan pendekatan yang lebih efektif dan halus dalam mengoptimalkan pencegahan tindakan terorisme. Pendekatan seperti ini menyangkut empat aspek yaitu ekonomi, hubungan diplomasi, politik, dan pendekatan yang terkait keagamaan. Tulisan ini akan membahas dari sisi pendekatan yang terkait keagamaan dengan melakukan kontra narasi. Hal ini dianggap penting karena narasi merupakan ujung pangkal dari seseorang berubah menjadi radikal.
Gerakan Salafi di Indonesia
Dalam tulisan M.Adlin Sila yang berjudul Akar Ideologi dan Teologi dari Fundamentalisme, Radikalisme, dan Terorisme ini bercerita mengenai fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme merupakan tiga faham yang saling bertolak belakang satu sama lain baik dari segi istilah maupun terminologi. Salah satu gerakan fundamentalis yang sedang mewabah adalah gerakan salafi. Gerakan salafi adalah sebuah gerakan yang tidak monolitik, tapi beragam terutama dari segi metode mengamalkan ideologi salafi sebagai manhaj (jalan hidup).[1] Ideologi gerakan salafi didasarkan kepada Al-Quran dan Sunnah. Gerakan ini mengajak kaum muslimin untuk mengamalkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan mereka.
Kelompok Salafi ini relatif kecil, dari total populasi Muslim di Indonesia. Juga, kebanyakan dari tokohnya adalah orang yang alim dan tidak pernah bermimpi untuk menggunakan kekerasan. Pada kenyataannya, mayoritas ummat Islam adalah moderat dan mengharapkan adanya kerjasama dibandingkan konfrontasi, dan keinginan untuk mencari sintesa antara Islamisme dan Sekularisme (demokrasi). Tapi walaupun kelompok ini kecil ia dapat menimbulkan riak-riak ketidakharmonisan baik di kalangan ummat Islam maupun dengan non Muslim.[2] Tantangan bagi pemerintah Indonesia dan kelompok muslim moderat, adalah mewaspadai orang-orang yang dapat menimbulkan kejahatan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan, tanpa mengambil langkah-langkah yang akan merusak tatanan-tatanan demokratis yang masih labil di Indonesia.[3]
Teror Sebagai Pesan
Dalam menafsirkan pesan-pesan yang disampaikan oleh kelompok-kelompok radikal dalam melakukan propaganda, tulisan dari Dr. Saifur Rohman, MHum yang berjudul Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme di Indonesia: Analisis Psikologi, Filsafat, dan Kultural membahas mengenai terorisme sebagai media komunikasi. Tindakan itu boleh dikatakan sebagai sebuah mediasi antara subyek dengan alam dan subyek dengan subyek lain. Komunikasi merupakan benih-benih awal untuk melakukan kesepakatan atau konflik yang baru. Begitu pula dengan pemahaman bahasa. Pemahaman bahasa tanpa mengikutsertakan esensi yang terkandung hanya akan sampai pada politik teror. Yang terjadi bukan lah permainan bahasa, tetapi perbedaan tafsir tentang simbol-simbol seperti yang terjadi pada kutipan berikut ini :
Pemahaman dan keyakinan berperang dalam Islam yang disalahartikan menjadi bentuk penyerangan terhadap orang-orang yang bukan musuh Islam. Aksi pemboman yang terjadi pada malam Natal tahun 2000, pemboman Bali, pemboman Hotel JW Marriot, dan pemboman di depan Kedubes Australia adalah akibat dari orang-orang yang mempunyai kepahaman yang sama dengan Imam Samudera, yaitu memerangi orang-orang non-muslim tanpa batas. Pemahaman menghalalkan darah dan harta non-muslim tanpa alasan yang hak telah menyebabkan umat Islam keliru dan sesat.[4]
Nasir Abas menafsirkan ayat-ayat dengan cara yang bertentangan dengan Samudera. Jika Samudera mengartikan kata ‘perang’ adalah melakukan tindak kekerasan terhadap semua kaum non-muslim, maka bagi Abas kekerasan itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan tertentu. Selama ini, kondisi Indonesia yang mencakup berbagai latar belakang keyakinan dan suku bukan lah dalam kondisi perang. Jadi, apa yang dilakukan oleh Samudera bukan lah Jihad, tetapi kekerasan.
Kutipan dari Samudera dan Abas di satu sisi dan pemahaman mereka di sisi lain adalah sebuah fakta tentang hadirnya perbedaan penafsiran masing-masing penganut. Perbedaan itu telah membawa implikasi yang berbeda di dalam tatanan sosial.
Kebijakan Kontra Narasi Terhadap Penyebaran Propaganda ISIS Kepada Anak Muda Dari Perspektif Media Internet
Narasi adalah diksi yang sebenarnya suatu hal yang normatif serta dianggap sesuatu yang baik dan benar. Narasi bermain dalam cara pandang seseorang yang ekstrim. Salah satu metode penyebaran ideologi yang radikal adalah melalui narasi yang disampaikan lewat media sebagai perantaranya baik berupa teks, visual, audio, maupun aksi.
Saat ini terjadi perubahan karakteristik 9P aktivitas terorisme diantaranya pendanaan, propaganda, perekrutan, penyediaan logistik, pelatihan, pembentukan satuan tempur, perencanaan, pelaksanaan serangan teroris, dan persembunyian.[5] Keseluruhan perubahan tersebut rata-rata dalam konteks medianya memanfaatkan teknologi dan salah satunya adalah internet. Sehingga dapat dikatakan bahwa mudahnya paham radikalisme menyebar rupanya bukan hanya karena ada faktor lingkungan yang mempengaruhi namun juga karena faktor perkembangan internet yang semakin memudahkan paham radikal tersebut tersebar ke seluruh di dunia.
Terorisme saat ini sudah bukan lagi berkaitan dengan aksi-aksi pembunuhan serta perebutan kekuasaan. Namun, kini terorisme sudah merambah pada internet dan media sosial. Internet dan media sosial merupakan suatu revolusi baru dalam dunia informasi yang dimana setiap orang dapat dengan mudah mengakses situs-situs yang ada di dalamnya. Internet dan media sosial juga digunakan oleh para kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi mereka kepada masyarakat. Tujuannya, selain sebagai ajang propaganda ideologi, juga menjadi alat yang ampuh untuk rekrutmen dan kampanye perjuangan.[6] Misalnya, kelompok teror seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) sangat piawai dalam penggunaan media sosial seperti YouTube, Twitter, Instagram, Tumblr, dan aplikasi lainnya dan mengunggah aktivitas mereka selama melakukan serangan ofensif.[7] Dengan gencarnya mereka menyebaran segala aktivitas dan ideologi mereka ke dalam media sosial, maka penyebaran ajaran-ajaran ideologi radikal pun semakin tidak terbendung.
Keuntungan lain yang mengarah pada peningkatan manfaat internet bagi tujuan propaganda adalah :[8]
- Jumlah penonton yang sangat besar, jauh lebih besar daripada sebagian besar audiens media lain, seperti radio atau televisi
- Sangat muda untuk mengakses data
- Cepat dan murah
- Menawarkan lingkungan multimedia yang berarti teks, grafik, video, lagu, buku, dan lainnya dapat dikombinasikan dengan mudah
- Media massa lain seperti koran dan radio sering melaporkan dan menyalin konten internet. Hal ini membuktikan bahwa internet dapat mempengaruhi keberadaan media massa lainnya.
Memerangi terorisme berarti memerangi ideologinya. Para terorisme percaya bahwa ideologi yang selama ini mereka anut adalah yang paling benar dan ideologi di luar itu dianggap salah bahkan tidak ada. Dari ideologi yang seperti ini timbul lah kebencian akan hal-hal yang bertentangan dengan mereka. Akibatnya, sentimentil meningkat yang kemudian mengubahnya menjadi radikal dan membuat mereka bersedia melakukan apa pun dalam rangka mensyiarkan kebenaran termasuk misalnya melakukan bom bunuh diri.
Membuat seseorang rela melakukan tindakan bunuh diri dengan meledakkan dirinya tentu merupakan hal yang luar biasa. Betapa kekuatan narasi yang berperan dalam hal tersebut sangat lah kuat. Narasi sendiri bermain dalam cara pandang seseorang yang ekstrim. Narasi dapat mempengaruhi seseorang dengan latar belakang apa pun. Narasi pun menyasar para komunikannya atau dapat dikatakan bahwa mereka-mereka yang mudah terpengaruh oleh narasi seperti anak muda, mantan narapidana terorisme, dan kaum returnees (mereka yang kembali ke ajaran atau ideologi radikalnya). Namun yang justru harus dicegah penyebaran ideologi radikal melalui narasi adalah anak muda.
Saat ini banyak fenomena-fenomena anak muda bergabung ke dalam kelompok radikal misalnya ISIS karena pengaruh internet dan media sosial. Anak muda rentan terpengaruh karena kondisi emosi yang belum stabil, kondisi mereka yang sedang gelisah, pikirannya penuh dengan kebuntuan dan melihat kondisi saat ini dirasa tidak ideal bagi dia, maka hal tersebut mudah melihat suatu tawaran yang lebih baik seperti bergabung dengan ISIS.[9] Selain itu, penafsiran yang salah akan ajaran agama juga menjadi faktor pendukung proses narasi tersebut berjalan sehingga orang yang semula tidak radikal berubah menjadi radikal. Hal ini justru harus diantispasi agar pengaruh-pengaruh ISIS yang menyasar anak muda tidak tersebar luas.
Terorisme ternyata terus membayangi kedamaian hidup masyarakat Indonesia terutama dengan gencarnya penyebaran pengaruh ISIS di tanah air. Perkembangan serta pengaruh pergerakan kelompok-kelompok terorisme tersebut di Indonesia masih menjadi ancaman serius bagi stabilitas keamanan Indonesia. Dalam menangani masalah terorisme terutama di Indonesia, diupayakan dengan melakukan pendekatan jalur keras (hard approach). Menangkap dan membunuh semua teroris disadari bukanlah strategi yang realistis dan justru menghabiskan waktu hanya untuk memahami bagaimana dan mengapa individu menjadi teroris. Kemudian, upaya lain yang ditempuh adalah dengan pendekatan lunak (soft approach). Pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan yang berkaitan dengan keagamaan. Lambat laun, muncul kesepakatan yang menyatakan bahwa melawan ideologi yang mendorong nilai-nilai ekstremisme menjadi penting dalam upaya untuk mencegah dan mengalahkan kekerasan yang muncul. Oleh karena itu lahir countering violent extremist (CVE).[10] CVE kemudian dipecah ke dalam dua kategori yaitu deradikalisasi dan kontra narasi.
Kontra narasi digunakan untuk mencari tahu posisi terbaik untuk menyampaikan pesan yang baik dari sudut kunci yang baik pula terhadap efektivitas strategi kontra narasi. Menurut Richardson, sebuah tujuan strategi kontra terorisme yang efektif tidak hanya terbatas pada pemberantasan teroris, namun juga pencegahan tindak terorisme.[11] Sehingga untuk efektivitas penerapan kontra narasi tersebut, perlu untuk mengatasi tidak hanya mereka yang rentan terhadap pesan ekstremis, tetapi juga orang-orang di jalan menuju radikalisasi dan mereka yang sudah radikal.[12]
Kontra narasi dilakukan dengan mengacu pada teori dasar komunikasi yaitu dengan melihat pada komunikator (merupakan si pengirim atau pemberi narasi), channel (saluran atau caranya), dan komunikannya (penerima atau yang memahami narasi). Kontra narasi tersebut melahirkan peaceful naratives dan moderated naratives. Peaceful naratives merupakan suatu cara yang ditempuh dengan suasana yang damai. Namun jika tidak dapat dilakukan dengan damai maka akan ditempuh dengan moderated naratives atau mampu memberikan situasi yang seimbang. Menciptakan moderated naratives dapat dilakukan dengan :[13]
- Menyerang komunikator dan komunikan para kelompok radikal tersebut. Misalnya merangkul para mantan narapidana terorisme untuk diajak dalam menyebarkan berita, syiar baru, membuat buku, serta video yang bertujuan untuk memberikan pengertian dan meluruskan kebenaran.
- Mengenai channelnya, situs-situs yang memuat konten radikal di internet segera di block dan membuat situs tandingan yang berisi tentang kebenaran dan ajakan untuk menciptakan kedamaian di dunia.
- Mengenai komunikannya (mereka-mereka yang rentan terpengaruh oleh narasi), salah satunya adalah anak muda. Perlu adanya pengawasan mengenai penyebaran narasi di media sosial terutama bagi anak-anak muda yang dengan mudahnya mengakses media-media tersebut dan mencegah narasi radikal di ikuti oleh mereka serta penyuluhan akan bahayanya radikalisme. Sehingga mereka bisa menyaring segala informasi yang mereka dapat dengan bijak.
Upaya untuk meredam paham radikal serta aksi terorisme di Indonesia terus dilakukan terutama bagi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Dalam rangka menangkal paham radikal, BNPT saat ini tengah menggalangkan empat kontra yaitu kontra radikalisasi, kontra ideologi, kontra propaganda, dan kontra narasi.[14] Secara kelembagaan, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang sejak tahun 2010 melakukan kegiatan menanggulangi terorisme, menganalisis kebijakan, menyiapkan program, dan menyusun strategi dengan mengedepankan upaya pencegahan.
BNPT telah mencanangkan 2015 sebagai “Tahun Damai di Dunia Maya” yang dimotori oleh Deputi 1 bidang pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi melalui pusat media damai (PMD) dengan menggiatkan sosialisasi pencegahan paham ISIS di seluruh Indonesia.[15] Kini digalakkan tahun damai di dunia maya oleh pusat media damai pada BNPT yang bisa diakses di website damailahindonesiaku.com dan jalandamai.org.[16] Website tersebut merupakan pusat media pencerahan terkait isu-isu tentang terorisme dalam rangka menuju kehidupan yang damai tanpa kekerasan sekaligus sebagai website tandingan sebagai upaya untuk meluruskan dan menjelaskan mengenai apa dan bagaimana ISIS yang sebenarnya melalui media maya.
Upaya lainnya yang dapat dilakukan dalam rangka kontra narasi adalah dengan penguatan pemahaman tentang Islam moderat. Hal ini dilakukan karena ISIS menggunakan Islam untuk menjalankan propagandanya.[17] Sehingga, salah satu upaya dalam menangkal paham-paham tersebut adalah dengan melakukan sosialisasi dan penguatan pemahaman Islam moderat ini terutama di kalangan anak muda dan di lingkungan kampus-kampus, pasalnya mahasiswa adalah ‘pasar’ potensial yang dibidik ISIS untuk mencari anggota baru.[18]
Penutup
Di era globalisasi seperti sekarang, terorisme muncul dengan dimensi baru bahwa penyebaran teror dilakukan pada media internet. Hal ini dilakukan karena internet merupakan media yang paling mudah untuk diakses dan cakupannya pun luas. ISIS merupakan kelompok terorisme yang memanfaatkan internet sebagai media propagandanya. Dengan maraknya narasi-narasi yang berbau radikal seperti itu, pemerintah melalui BNPT membuat suatu kebijakan kontra narasi sebagai salah satu upaya penanggulangan terorisme di Indonesia.
Mengenai upaya kontra narasi, BNPT membuat website-website tandingan yang bertujuan untuk meluruskan hal-hal yang terkait terorisme. Selain itu, BNPT juga melakukan sosialisasi lebih gencar terhadap kaum muda baik yang masih duduk di bangku sekolah ataupun di kalangan mahasiswa. Hal ini dilakukan agar kaum muda di Indonesia tidak terpengaruh oleh paham radikal yang bisa saja mereka temui dengan mudahnya di internet dan media sosial.
[1] M Adlin Sila, Akar Ideologi dan Teologi dari Fundamentalisme, Radikalisme, dan Terorisme, hlm 1
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Nasir Abbas, Membongkar Jamaah Islamiyyah, (Jakarta : Grafindo, 2005), hlm 312
[5] Sastropoetro, Kategorisasi Propaganda, 1983, hlm 61-63
[6] Nn, Menyebar Teror Melalui Media Sosial, Diakses di http://nasional.sindonews.com/read/928277/149/menyebar-teror-melalui-media-sosial-1416809949, Pada 5 Desember 2015 Pukul 09.38 WIB
[7] Ibid
[8] Transnational Terrorism, Security & The Rule of Law, “Terrorism and the Media”, 2008, Diakses di http://www.transnationalterrorism.eu/, Pada 5 Desember 2015 Pukul 09.47 WIB
[9] Medsos dan Internet Penyebab Banyak Anak Muda Bergabung ke ISIS, Diakses di http://www.tribunnews.com/nasional/2015/09/15/medsos-dan-internet-penyebab-banyak-anak-muda-gabung-ke-isis, Pada 5 Desember 2015 Pukul 10.53 WIB
[10] Michael Jacobson, Countering Violent Extremist Narratives, National Coordinator for Counterterrorism (NCTb) Januari, 2010
[11] Louise Richardson, What Terrorists Wants: Understanding the Terrorist Threat, (London : John Murray, 2006), hlm 6
[12] Jacobson, Op.Cit.,
[13] Prof. Adrianus Meliala, Ph.D,Memerangi Narasi dalam Kontra Narasi. Kuliah Terorisme dan Kontraterorisme, Program Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia. Jakarta, Pada 30 November 2015
[14] Mohammad Saifulloh, Terorisme Harus Dikeroyok Bersama-sama, Diakses di http://news.okezone.com/read/2015/09/29/337/1223182/terorisme-harus-dikeroyok-bersama-sama, Pada 3 Desember 2015 Pukul 18.57 WIB
[15] Masyarakat Diminta Waspada Serangan Propaganda ISIS di Dunia Maya, Diakses di http://www.bnpt.go.id/berita.php?id=260&token=ab9d10d271546cd9ab2d0d4320ac2ef4, Pada 5 Desember 2015 Pukul 10.04 WIB
[16] Irfan Indris, Kontra Narasi Bahaya Radikalisme Bagi Masyarakat Bukan Pengguna Media Online, Diakses di http://jalandamai.org/kontra-narasi-bahaya-radikalisme-bagi-masyarakat-bukan-pengguna-media-online.html, Pada 5 Desember 2015 Pukul 13.11 WIB
[17] Medsos dan Internet Penyebab Banyak Anak Muda Bergabung ke ISIS, Op.Cit.,
[18] Ibid