Terorisme Negara: Posisi Negara dalam Kegiatan Teror
Terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan dikalangan masyarakat umum. Terorisme merupakan penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan, yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik (Hendropriyono, 2009: 26). Terorisme adalah kekerasan, pembunuhan dan ancaman yang disengaja serta sistematis terhadap mereka yang tidak bersalah demi keuntungan politik atau taktis, biasanya untuk mempengaruhi publik yang menyaksikannya (Adian, 2003:80). Rumusan ini membuat fokus terorisme hanya tertuju pada pelaku sipil (non-state terrorism), seolah-olah negara tidak termasuk sebagai pelaku teror, karena negara memerangi terorisme.
Akan tetapi aksi teror tidak hanya menjadi monopoli para pelaku sipil saja, Wilkinson membedakan terorisme ke dalam tiga tipe, yakni terorisme revolusioner, terorisme sub-revolusioner, dan terorisme represif. Terorisme revolusioner dan terorisme sub-revolusioner adalah yang dilakukan oleh para pelaku sipil. Terorisme revolusioner bertujuan untuk memutarbalikkan tatanan secara total, sedangkan terorisme sub-revolusioner sekedar mengubah kebijakan, balas dendam, atau menghukum pejabat publik yang tidak sejalan. Terorisme represif diartikan sebagai penggunaan kekerasan secara sistematis demi menekan, melenyapkan atau membatasi ruang gerak kelompok tertentu yang tidak sejalan dengan kelompok yang berkuasa. Tipe terorisme inilah yang merupakan aksi teror yang biasa dilakukan oleh negara (Adian, 2003:82).
Sejak negara berdiri ada tiga sifat yang melekat sebagai landasan kedaulatan sebuah negara, yakni sifat monopoli/mencakup semua, sifat memaksa dan sifat tak terbagi. Tiga hal fundamental inilah sebuah organisasi politik tertingi yang dinamakan negara layak disebut berdaulat. Sifat monopoli berarti negara memiliki monopoli dalam menentukan tujuan bersama dari masyarakat, sifat mencakup semua berarti bahwa negara (all-encompassing, all embracing), semua peraturan perundang-undangan berlaku untuk semua tanpa kecuali, dan sifat memaksa berarti bahwa negara memiliki kekuasaan untuk memakai kekerasan secara fisik dalam menjalankan kekuasaan (Budiarjo, 2004:40-41). Negara menjadi superior atas warga negara, karena merupakan organisasi politik tertinggi yang dibentuk berdasarkan perjanjian bersama. Dengan unsur kelengkapan yang melekat pada negara seperti birokrasi, regulasi dan budget menjadikan negara memiliki kedaulatan penuh terhadap warga negara.
Oleh karena itu kekerasan yang dilakukan oleh negara biasanya dilakukan tanpa sepengetahuan publik, karena jika dilakukan secara terang-terangan maka akan menyusutkan legitimasi publik atas kekuasaan negara, dan apabila dilakukan secara terang-terangan negara mesti merancang dasar legal bagi kebijakan-kebijakannya itu (Adian, 2003:82). Namun negara, karenanya, bisa saja bersembunyi dibalik legalitas saat menindas hak-hak dasar warganya. Dengan kata lain negara bisa melakukan teror terhadap warganya, yang semuanya itu dilakukan secara konstitusional karena negara mampu membuat undang-undang yang bisa melegitimasi segala tindak-tanduknya tersebut.
Terorisme negara selalu menggunakan piranti yuridis untuk melegalkan aksi represifnya, bahkan bila perlu menerjang proses yuridis dan mendistorsi tatanan yuridis yang absah dengan legislasi yang sewenang-wenang (Adian, 2003). Sejarah Indonesia modern sarat dengan terorisme negara, yang paling nyata adalah pembantaian para kader dan simpatisan PKI pada periode 1965-1968, yang disebut skala pembantaian terbesar dalam sejarah kekerasan negara di Indonesia karena berhasil menewaskan ratusan ribu kader PKI, yang dilegitimasi secara yuridis oleh Surat Perintah Sebelas Maret dan TAP XXV/MPRS/1966 (Adian, 2003:80).
Adian (2003:80-81) menyatakan bahwa salah satu pertimbangan TAP XXV/MPRS/1966 menyebutkan bahwa PKI terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan cara kekerasan. Menurut Adian (2003) pernyataan tersebut sebagai stigmatisasi “teroris” terhadap PKI. Stigmatisasi tersebut melekat pada tubuh PKI karena mereka menggunakan kekerasan ilegal, akan tetapi, stigma yang sama tidak bisa dikenakan kepada negara yang membantai para kader PKI, karena kekerasan oleh negara adalah kekerasan yang sahih secara hukum. Adian (2003) mengutip Ahmed et. al (2001:21) menyebutkan bahwa salah satu karakter pokok terorisme negara adalah pelanggaran atau pengurangan hak-hak dasar manusia. Terorisme negara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak hanya pada kasus pembantaian PKI, namun menurut Adian (2003) UU No.23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya menjadi dasar legal yang kuat untuk melakukan pelanggaran atau pengurangan hak-hak dasar manusia. UU No.23 Tahun 1959 menafsirkan penanggulangan keadaan bahaya sebagai upaya mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keselamantan dan keamanan negara; keamanan dan keselamatan yang menurut undang-undang sama sama dengan keamanan dan keselamatan rakyat. Hal ini membuat adanya penafsiran yang menyandingkan keamanan negara (state security) dengan keamanan rakyat (human security), yang mana kedua hal ini dapat bertolak belakang. Sehingga peristiwa Tanjung Priok, pemberlakuan daerah operasi militer di Aceh, dan pembunuhan tokoh-tokoh masyarakat di Papua menjadi contoh bagaimana human security dikorbankan demi state security.
Persoalan diatas menjadi contoh bagaimana negara sebagai pelaku teror atau yang dikenal sebagai terorisme negara. Namun menurut Nitibaskara (2002:15), terdapat pemikiran lain, bahwa yang dimaksud dengan state terrorism bukan berarti negara terlibat dalam terorisme secara langsung, melainkan hanya menjadi sponsor organisasi-organisasi tertentu pelaku terorisme. Sebagai contoh yang sudah sangat sering diberitakan, tentang bagaimana para pasukan Israel yang menginvasi Gaza, Palestina, yang didukung oleh Amerika Serikat (AS), bahkan dengan dukungan berbagai senjata dan perlengkapan militer. Bukan hanya pada Israel saja, Grabosky dan Stohl (2010) menjelaskan bahwa kegiatan teror yang difasilitasi oleh sebuah negara terhadap kegiatan teror negara lain juga telah terjadi jauh sebelumnya. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah AS yang memberikan bantuan penegak hukum untuk rezim Amerika Latin yang represif selama tahun 1970-an dan 1980-an. Grabosky dan Stohl (2010) juga menjelaskan bahwa negara dapat memberikan tempat yang aman untuk aktor non negara yang terlibat dalam terorisme. Rezim Taliban di Afghanistan yang menaungi al-Qaeda sebelum melakukan serangan 11 September 2001. Negara juga dapat membantu kelompok teroris lain yang aktif disuatu negara, seperti yang dilakukan oleh Iran yang membantu Hizbullah di Lebanon, dan AS yang mendukung pemberontak anti Castro selama bertahun-tahun dan kelompok perlawanan di Nicaragua selama tahun 1980-an (Grabosky dan Stohl, 2010:53).
Pada dasarnya terorisme bukan hanya dilakukan oleh para pelaku individu, atau pun organisasi non negara atau privat. Bahkan sebelum terorisme berlangsung seperti yang terjadi saat ini, negara juga telah menjadi aktor terorisme seperti yang terjadi di Perancis, dengan régime de la terreur.
Menurut Bruce Hoffman (2006) régime de la terreur pada 1793-1794 diadopsi sebagai sarana untuk membangun ketertiban selama periode anarkis sementara dari kekacauan dan pergolakan yang mengikuti pemberontakan pada tahun 1789. Bahkan dalam Law (2009) terorisme sudah jauh dari tahun 1790an, bahkan Law (2009) mengatakan bahwa terorisme sama tuanya dengan peradaban manusia. Law menyebutkan bahwa terorisme sudah ada sejak tahun 647 SM saat Assurnasirpal II, Kaisar Asyur/Asiria. Terorisme negara, yang menyerang warga sendiri telah dilakukan oleh Asyur terjadi dimana Raja Asyur mempekerjakan pengawal pribadinya untuk mengawasi birokrasi; agen pemerintah yang tidak loyal ditarik kembali dan dieksekusi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa negara, disatu sisi dapat menjadi pelaku teror, disisi yang lain juga bisa menjadi pelaku yang melawan teror. Namun ketika negara melakukan kegiatan teror negara bisa menjalankannya dengan adanya legitimasi hukum, karena negara dapat membuat hukum yang mengatur langkah-langkahnya itu agar bisa ditempuh dengan sah. Bukan hanya itu, tapi negara juga bisa menjadi aktor yang memfasilitasi kegiatan teror, baik yang dilakukan oleh negara lain, maupun yang dilakukan oleh kelompok privat atau organisasi teror yang aktif dinegara lain. Satu yang pasti, kepentingan politik dan kepentingan ekonomi masih menjadi alasan utama dibalik semua itu, ideologi dan ajaran agama hanyalah pendukung untuk melancarkannya, bukan yang terutama.
Referensi:
Adian, Donny Gahral, 2003, Mencegah Lahirnya Terorisme Negara: Indonesia Pasca Bom Bali, dalam “Pembangunan Keamanan Asia Tenggara”, Analisis CSIS Tahun XXXII/2003, No.1: 78-88
Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Grabosky, Peter & Stohl, Michael, 2010, Crime and terrorism, Compact criminology, London: SAGE Publications Ltd
Hendropriyono, A.M., 2009, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Hoffman, Bruce, 2006, Inside Terrorism Revised and Expanded Edition, New York: Columbia University Press
Law, Randall D., 2009, Terrorism A History, Cambridge & Malden: Polity Press
Nitibaskara, Tb. Ronny R., 2002, “Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah: Suatu Tinjauan Kriminologis dan Hukum Pidana”, dalam Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember 2002: 14-21