Tantangan Terorisme dalam Tradisi Liberal

Tantangan Terorisme dalam Tradisi Liberal

Secara konseptual liberalisme adalah sebuah paham yang mempertahankan kebebasan perseorangan terhadap kekuasaan yang hendak bertaku secara mutlak. Kebebasan ini mencakup bidang agama, ekonomi dan politik. Di bidang politik liberalisme memperjuangkan berbagai kebebasan yang hendaknya dijamin oleh undang-undang dasar. Teori ini ditandai pula oleh usaha untuk meningkatkan atau mempertuas tersebarnya kesejahteraan tanpa mengadakan perubahan yang drastis dalam struktur masyarakat. Prinsip-prinsip dasar dalam liberalisme yaitu adanya kebebasan individu, adanya kontrak sosial, masyarakat pasar bebas, dan pengakuan eksistensi pluralisme sosial-kultural dan politik masyarakat.

Mochtar Mas’oed (1997:5) mengutip pendapat Adam Smith dalam An Inquiry into The Nature and Cause of The Wealth of Nations (1776) yang menyatakan bahwa:

“setiap individu selalu berusaha mencari peluang untuk memanfaatkan setiap kapital yang dikendalikannya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tentu saja yang dipikirkannya adalah keuntungan bagi dirinya sendiri bukan keuntungan bagi masyarakat. Tetapi ketika mengejar keuntungan pribadi itu, dengan sendirinya, atau lebih tepat, mau tidak mau, ia akan memilih bidang-bidang kegiatan yang paling menguntungkan bagi masyarakatnya.”

Pejabat pemerintah yang berusaha mengatur cara warga masyarakat menanamkan modal mereka agar sesuai dengan kehendak pemerintah, bukan hanya akan membebani diri sendiri dengan perhatian yang tidak perlu, tetapi juga akan mengambil alih wewenang yang seharusnya (dimiliki oleh rakyat)…, dan tidak yang lebih berbahaya daripada menaruh wewenang itu di tangan seseorang yang begitu tolol sehingga bermimpi bahwa ia adalah orang yang cocok untuk menjalankan kekuasaan itu (Mochtar Mas’oed, 1997:5).

Ada tiga landasan utama dari negara liberal, yaitu yang pertama adalah kewajiban politik dan dukungan dikehendaki oleh warganya, dan landasan utama yang kedua ialah supremasi kekuasaan hukum, sedangkan yang ketiga ialah penggunaan yang tepat terhadap monopoli kekuatan negara yang sah dalam rangka melestarikan perdamaian dan ketertiban internal, untuk menegakkan hukum, dan untuk membela masyarakat melawan musuh eksternal (Wilkinson, 1977).

Dalam persoalan konflik kaum liberalis sangat mengutamakan penyelesaian konflik dengan menggunakan diplomasi dan negosiasi atau dengan menggunakan pendekatan-pendekatan lunak (soft approach) yang menghindari penggunaan kekerasan demi menciptakan positive peace, atau perpetual peace oleh Kant. Situasi ini akan dapat tercapai atau perdamaian internasional akan terlaksana jika setiap negara mampu menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam perpolitikan, adanya pasar bebas dalam ekonomi, dan adanya hukum internasional yang bersifat mengikat dan mewajibkan setiap negara tunduk atas hukum tersebut.

Oleh karena itu di era modern seperti saat ini, setiap negara diharuskan untuk mengikuti paham demokrasi liberal seperti yang selama ini dianut oleh AS dan negara-negara barat lainnya. Bahkan dengan adanya globalisasi, yang kadang diartikan sebagai westernisasi, AS dan barat juga ikut melakukan kampanye atau bisa disebut sebagai export demokrasi. Pada dasarnya globalisasi seperti yang diutarakan oleh Joseph Stiglitz (2002) bahwa globalisasi mempunyai kuasa untuk dapat mengurangi atau meningkatkan taraf hidup suatu bangsa. Negara-negara yang berkembang dan miskin dapat mengambil keuntungan dari globalisasi dengan syarat globalisasi ditangani dengan baik oleh negara tersebut.

Namun globalisasi yang diharapkan dapat menjadi dasar kerjasama internasional guna mencapai kesejahteraan bersama, dapat menimbulkan kelompok pesaing-pesaing baru. Globalisasi didorong oleh dinamika pasar dan teknologi, sedangkan budaya dan politik tidak cukup menjaga dinamika tersebut. Akibatnya, globalisasi dapat memicu konflik internasional baru, terutama terorisme (Hendropriyono, 2009:154).

Terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan dikalangan masyarakat umum. Terorisme merupakan penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan, yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik (Hendropriyono, 2009: 26).

Saat ini terorisme telah menjadi ancaman global dan terorisme telah menjadi musuh bersama dari semua negara dan menjadi tantangan besar bagi negara-negara liberal. Masalah yang dihadapi oleh negara yang menerapkan tradisi liberal atau negara demokrasi liberal dalam menanggapi terorisme adalah bagaimana mencegah dan memberantas terorisme secara efektif tanpa merusak demokrasi, aturan hukum dan perlindungan kebebasan yang ada atau dapat dikatakan menciptakan keseimbangan antara demokrasi dan keamanan (Anriani, 2015).

Anriani (2015) mengutip Wilkinson (1977) menguraikan pendekatan hard-line approach dari negara liberal untuk menghadapi ancaman terorisme, yakni antara lain:

  • Reaksi berlebihan dan represi umum, yang dapat menghancurkan demokrasi jauh lebih cepat dan efektif dibandingkan kampanye apapun oleh kelompok teroris, harus dihindari.
  • Dalam reaksi kegagalan untuk menegakkan otoritas konstitusional pemerintah dan hukum – akan membawa ancaman pergeseran ke anarki atau munculnya tak ada jalan keluar yang didominasi oleh teroris, geng Mafia dan obat-obat terlarang, dan hal ini harus dihindari.
  • Pemerintah dan aparat keamanan harus bertindak sesuai dengan hukum. Jika mereka gagal melakukan hal ini, mereka akan melemahkan legitimasi demokrasi mereka dan kepercayaan masyarakat, serta menghormati polisi dan sistem peradilan pidana.
  • Rahasia memenangkan perang melawan terorisme dalam sebuah masyarakat demokratis yang terbuka adalah dengan memenangkan perang intelijen: ini akan memungkinkan pasukan keamanan, menggunakan intelijen berkualitas tinggi, harus proaktif menggagalkan konspirasi teroris sebelum terjadi.
  • Badan-badan intelijen rahasia dan semua lembaga lain yang terlibat dalam memerangi terorisme harus tegas di bawah kendali pemerintah terpilih dan bertanggung jawab dengan penuh.
  • Jika undang-undang darurat yang ditemukan diperlukan secara khusus dalam konflik serius, hukum harus bersifat sementara, sering ditinjau oleh parlemen dan tunduk pada persetujuan parlemen sebelum ada pembaharuan apapun.

Akan tetapi dalam menghadapi terorisme kontemporer terutama dalam negara demokrasi penanganan terorisme memerlukan konsep dan strategi yang terkoordinasi antar instansi dengan pendekatan soft power, smart power, maunpun hard power yang perlu direncanakan dan dipersiapkan sesuai koridor hukum yang berlaku. Juga sangat diperlukan peran serta seluruh komponen bangsa dalam memerangi terorisme dalam bentuk apapun.

Intelijen harus bisa menjadi kekuatan utama dalam penanggulangan terorisme, mulai sebagai sistem peringatan dini, dan pembuatan produk intelijen yang mampu memberikan solusi bagi pengambil kebijakan dalam rangka memerangi terorisme. Setiap negara demokrasi wajib menyiapkan strategi diberbagai bidang, misalnya seperti strategi di bidang kesiapsiagaan, strategi di bidang pengawasan, strategi di bidang perlindungan, strategi di bidang kontra propaganda, strategi di bidang deradikalisasi, strategi di bidang kerjasama luar negeri.

 

Daftar Pustaka:

Anriani, Stepi, 2015, Terorisme dalam Tradisi Liberal, diakses di http://dipcentre.org/?p=1515 pada 8 September 2015

Stiglitz, Joseph, 2002, Globalization and Its Discontents, New York: W. W. Norton & Company

Hendropriyono, A.M., 2009, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Mas’oed, Mochtar, 1997, Ekonomi Politik Internasional, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM.

Wilkinson, Paul, 1977, Terrorism and the Liberal State, London: Macmillan

Wilkinson, Paul, 2006, Terrorism Versus Democracy: The Liberal State Response 2nd Edition, London: Routledge

 

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent