Simbiosis Berbahaya antara Terorisme dan Media
Dewasa ini dunia semakin memasuki era dunia tanpa batas wilayah, manusia dan barang, bahkan informasi mampu bergerak dengan begitu mudah dari negara yang satu ke negara lainnya. Informasi maupun keadaan yang tengah terjadi di suatu negara dengan begitu mudah bisa diakses atau dilihat oleh masyarakat di belahan dunia lainnya. Media massa makin tumbuh begitu pesat, banyak yang berpikir bahwa dengan semakin majunya globalisasi maka media massa seperti koran, majalah, radio, dan televisi akan tertinggal jauh dengan media massa berbasis online. Namun semakin majunya media massa berbasis online, malah semakin memajukan semua lini media massa, karena dapat lebih dulu menyediakan informasi bagi media massa konvensional untuk menyalurkan informasi bagi masyarakat.
Kemajuan tekonologi informasi juga dirasakan oleh kelompok teroris global. Semenjak peristiwa 9/11 media massa semakin lebih cepat dan tanggap dalam menyediakan informasi berkaitan dengan terorisme. Bahkan terdapat keadaan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualistis) antara para teroris dan media.
Terorisme adalah penggunaan kekuatan dan kekerasan yang melanggar hukum terhadap seseorang atau properti untuk mengintimidasi atau memaksa, dan untuk menanamkan rasa takut bagi pemerintah, penduduk sipil, atau segmen apapun di dalamnya, sebagai kelanjutan dari tujuan politik atau sosial.
Sedangkan media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (menerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi.[1] Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.[2]
Media massa memiliki kekuatan yang sangat signifikan dalam komunikasi politik untuk mempengaruhi khalayak. Terlebih lagi media massa presitisius yang biasanya menjadi rujukan publik dalam berperilaku politik karena isi media prestisius dipercaya oleh khalayak. Bahwa media apapun kategorinya berfungsi sebagai alat pelipatganda pesan yang berkaitan dengan saluran lainnya.[3]
Dampak negatif dari jurnalistik adalah pemanfaatan media massa oleh kelompok teroris untuk menyampaikan pesan atau tujuan dari aksi yang mereka lakukan. Media massa memiliki peranan yang sangat vital di dalam dunia terorisme. Media massa bekerja pada tataran psikologi untuk menghasilkan pengaruh yang bersifat negatif terhadap pihak lawan dalam skala strategis.[4]
A.J. Behm (1991) menyatakan bahwa media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama, teroris menyusun dan memanfaatkan strategi media mereka, sementara di lain pihak, media menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris.[5]
Menurut Nacos (2007), kelompok teroris, dalam setiap aksi yang dilakukannya selalu bergantung kepada pemberitaan media massa yang menyebarkan informasi dengan maksud untuk pertama, mencari perhatian internasional dan membangkitkan kesadaran lingkungan / masyarakat yang menjadi target maupun yang bukan target mereka, serta mengintimidasi komunitas yang menjadi target; kedua, memperkenalkan tujuan dan motif yang mereka lakukan; ketiga, menarik simpati dan respek dari simpatisan dan masyarakat yang mendukung aksi yang mereka lakukan; dan keempat, serta untuk memperoleh pengakuan / legitimasi bagi para anggotanya yang memposisikan diri sebagai perwakilan kelompoknya.[6]
Kecurigaan terhadap adanya interdependensi teroris dan media ditegaskan oleh Giessmann, yang menyatakan bahwa, kelompok teroris mencari perhatian media untuk sebisa mungkin mendapatkan penerimaan publik dengan mengusung sensasi sebagai “nilai berita” yang mereka manipulasi untuk tujuan propaganda. Sementara pada lain sisi, media massa secara lebih lanjut menerima bentuk simbiosis tersebut demi untuk mendapatkan gambar-gambar yang menarik dan berita-berita yang mengejutkan serta menjadi leading newspaper terhadap kompetitomya, dimana sebenarnya media massa memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk membatasi penyebaran terorisme dengan menyampaikan pemberitaan yang lebih berlandaskan pada kesadaran moral dan reportase yang telah disortir.[7]
Jakob Oetama (2001) menyatakan bahwa terorisme klasik melakukan propaganda melalui aksi (propaganda by deeds), sehingga memerlukan dukungan media massa.[8] Secara jelas bahwa terorisme sebagai propaganda melalui aksi saat ini telah diartikan sebagai terorisme lewat gambar foto dan rekaman suara. Foto-foto tersebut akan memiliki makna yang signifikan dan gambaran kekuatan baik bagi teroris maupun para penonton yang menjadi target. Secara konvensional para teroris ingin ribuan orang hanya sebagai penonton, tidak perlu sampai mati.[9]
Hendropriyono (2009) menyebutkan bahwa peliputan media telah menyediakan keuntungan konstan bagi para teroris; media telah memperkuat tindakan-tindakan teroris sebagai sesuatu yang penting secara politis di luar porsi yang semestinya. Para teroris mengerti betapa pentingnya memanipulasi media, karena keberhasilan terorisme sangat ditentukan oleh peran media massa nasional dan internasional, yang berfungsi menyebarkan kejadian walau sangat mengerikan dengan bebas tanpa batas.[10]
Media massa disebut terlibat dalam simbiosis mutualistis ini karena dengan memberitakan berita tentang aksi terorisme, terutama dengan begitu cepat dan menjadi tajuk utama pemberitaan, tentunya akan mendapat keuntungan besar, karena berita yang mereka beritakan akan mendapat banyak perhatian dari masyarakat dan mereka juga mendapatkan income yang besar dari hasil berita yang mereka jual. Semakin mengerikan berita tersebut akan semakin banyak menyita perhatian dan menjual produk mereka.
Media massa yang digunakan kelompok teroris saat ini pun telah mengalami banyak peningkatan. Dengan kemajuan tekonologi informasi yang berbasis internet, mereka semakin gencar menggunakan media sosial, seperti misalnya facebook, twitter, youtube, dan berbagai website dan blog sebagai media untuk merekrut rekrutan baru, menyebarkan ideologi, dan menyebarkan video-video baik pembunuhan maupun ajakan untuk bergabung bagi para rekrutan. Soal video, Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang menjadi sasaran perekrutan yang dilakukan oleh kelompok ISIS lewat video Joint Ranks yang diunggah oleh kelompok tersebut, yang menampilkan WNI yang telah bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah, yang mengajak para kaum muslimin untuk turut hijrah dan mengakui pemimpin ISIS al-Baghdadi sebagai pemimpin kekhalifahan yang dibentuk ISIS.
Melalui publisitas yang tercipta dari pemberitaan mengenai aksi terorisme yang mereka lakukan, kelompok teroris melakukan komunikasi dengan pemerintah di negara tempat mereka melakukan aksi terorisme dan bahkan pemerintah luar negeri. Sehingga secara tidak langsung, sebenarnya kelompok teroris berusaha menciptakan agenda media dengan harapan ada perhatian dari publik terhadap aksi mereka.[11]
Ali Alkarni dalam Sulistyo (2014) memberikan ilustrasi hubungan media dan terorisme dalam sebuah model diagram, yakni sebagai berikut:
Gambar 1.
Model Hubungan Terorisme. Sumber: Sulistyo (2014:4)
Sulistyo (2014) menjabarkan penjelasan diagram ini sebagai berikut:
- Creating Events (Teroris)
Kelompok teroris merencanakan dan berupaya melaksanakan beberapa peristiwa seperti ide politik, sosial atau agama yang dapat menarik media untuk melakukan reportase. sehingga, apa yang biasa kita lihat sebagai peristiwa terorisme, adalah hasil ekspresi kekerasan dari ide-ide kelompok teroris yang ditujukan kepada masyarakat umum melalui media massa.
Faktor–faktor yang menjadi pertimbangan kelompok teroris agar dapat menarik perhatian media massa, antara lain:
- Waktu yang tepat bersamaan secara signifikan dengan perkembangan politik, baik lokal maupun global;
- Memilih target fisik yang dapat di jangkau oleh media massa;
- Berdampak secara luas, dengan jumlah kerugian yang besar; dan
- Target dari aksi yang dilakukan adalah kepada pemerintah.
- Reporting Events (Media Massa)
Salah satu fungsi dasar media massa adalah pemantauan, dimana media mencoba untuk memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang apa yang terjadi di dunia, dimana peristiwa terorisme masuk ke dalam kriteria tersebut. Media mencari cerita yang dramatis untuk meningkatkan rating pembaca atau peringkat.
- Influencing Events (Pemerintah)
Pemerintah, dalam upaya untuk mempertahankan stabilitas nasional terhadap ancaman terorisme, mencoba untuk memobilisasi dan mempengaruhi seluruh sumber daya (termasuk media massa) yang memungkinkan untuk mendukung tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah mendorong media untuk menyebut teroris sebagai kriminal, serta tindakan yang mereka lakukan sebagai kejahatan, dalam rangka untuk mempengaruhi persepsi masyarakat/publik terhadap terorisme.
- Understanding Events (Masyarakat)
Masyarakat adalah tujuan akhir dari komunikasi massa. Peran media massa dalam memberikan informasi kepada publik mengenai peristiwa yang terjadi bertujuan agar masyarakat memahami dan membentuk opini terhadap peristiwa tersebut. Persepsi publik terhadap terorisme dapat dipengaruhi oleh isi media dan konteks dimana aksi terorisme disiarkan.
Pemanfaatan media massa secara aktif menunjukkan bagaimana upaya para teroris memanfaatkan media untuk mendapatkan efek nyata dari tindakan mereka. Semakin media menginginkan keuntungan yang lebih dari berbagai pemberitaan terorisme demi mencapai rating yang tinggi dan income yang banyak, maka semakin rentan media massa tersebut menjadi sarana bagi kelompok teroris demi melancarkan tujuan-tujuan kelompok mereka.
Seperti apa yang disebutkan oleh Agus SB bahwa teroris akan selalu melakukan apa yang disebut sebagai terrorizing effect, yakni dengan sasaran semi random target dengan tujuan menciptakan teror atau keresahan di kalangan masyarakat. Dalam menjalankan setiap aksinya, bagi mereka korban sebenarnya bukanlah tujuan utama, tetapi yang paling penting adalah dapat menjadikan perang urat syaraf yang dapat menggugah rasa takut jutaan manusia.[12] Jalan yang paling cepat dan mudah untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menggunakan media sebagai alat penyebaran informasi. Yang diperlukan hanya dana yang tidak terlalu banyak, tapi serangan di tempat yang tepat, dan paling mudah mendapat perhatian dari media setempat.
[1] Hafied Cangara, 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
[2] Nurudin. 2007, Pengantar Komunikasi Massa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[3] Ibnu Hamad, 2004, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-Berita Politik, Jakarta: Granit, hlm. 30
[4] Adi Sulistyo, 2014, Peran Media Massa dalam Upaya Kontra-Terorisme (Analisis terhadap Peran dan Posisi Media Massa), Jakarta: Unhan, hlm. 2
[5] Ibid.
[6] Adi Sulistyo, 2014, Op.cit., hlm. 3
[7] Ibid.
[8] A.M. Hendropriyono, 2009, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 217
[9] David J. Whittaker, 2004, Terrorists and Terrorism in the Contemporary World, London & New York: Routledge, hlm. 91
[10] Hendropriyono, 2009, Op.cit., hlm. 218
[11] Sulistyo, 2014, Op.cit., hlm. 4
[12] Agus, SB, 2014, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, hlm. 23