Radikalisasi Terorisme di Indonesia
Anatomi Jaringan Terorisme di Indonesia: NII dan JI
Sejarah mencatat bahwa sejak awal kemerdekaan Indonesia, gelombang perlawanan terhadap pemerintah maupun hukum formal pada awalnya muncul karena adanya rasa tidak puas terhadap pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Misalnya seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kelompok ini dibentuk oleh para tokoh-tokoh yang dulunya turut serta bertempur melawan Belanda di era sebelum kemerdekaan Indonesia, namun setelah kemerdekaan Indonesia malah melakukan perlawanan militer kepada pemerintah Indonesia. Pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan Kartosuwiryo terhadap pemerintah Indonesia yang menurutnya dikuasai oleh orang-orang Komunis, dan tidak menerapkan syariah Islam. DI/TII yang muncul lima tahun setelah kemerdekaan Indonesia dibentuk oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo untuk mewujudkan idenya dalam rangka menegakkan syariah Islam secara formal dan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) (Golose, 2010, hal. 34).
Kebencian Kartosuwiryo memuncak pada saat pemerintah Indonesia menyetujui Perjanjian Renville, yang mana menurut pandangan Kartosuwiryo perjanjian tersebut adalah strategi licik Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Sebagai konsekuensi dari perjanjian tersebut maka Pemerintah RI dan pasukan Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat. Namun Kartosuwiryo dan kelompok anak organisasi Masyumi yakni Hizbullah dan Sabilillah tetap bertahan di Jawa Barat, dan terus berupaya melawan Belanda, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya TII (Golose, 2010, hal. 35-36). Setelah berakhirnya Perjanjian Renville pada Januari 1948, pasukan Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat dan mendapat kecaman dari Kartosuwiryo dan TII, karena menurut mereka Jawa Barat telah menjadi daerah kekuasaan mereka yang kemudian memicu konfik antara kedua kubu (Golose, 2010, hal. 36).
Meskipun DI/TII berhasil ditumpas pada tahun 1960-an, beberapa dari anggotanya lolos dan masih aktif hingga saat ini. Pasca tewasnya Kartosuwiryo kelompok DI sempat vacuum dan tidak menunjukan keberadaannya karena kehilangan pemimpin mereka. Namun misi untuk mendirikan Negara Islam tidak hilang. Memasuki tahun 1970an, kelompok ini mulai mereorganisasi dirinya dan melakukan rekrutmen anggota. Sekitar tahun 1980an, kelompok ini memasuki masa perpecahan (ikhtilaf), yaitu periode di mana DI pecah menjadi beberapa faksi.
Faksi pecahan DI terdiri dari:
- Faksi Atjeng Kurnia, yang mencakup wilayah Bogor, Serang, Purwakarta, dan Subang;
- Faksi Ajengan Masduki, yang mencakup Cianjur, Purwokerto, Subang, Jakarta, dan Lampung;
- Faksi Abdul Fatah Wiranagapati, yang mencakup Garut, Bandung, Surabaya, dan Kalimantan;
- Faksi Gaos Taufik, yang mencakup Sumatera;
- Faksi Abdullah Sungkar, yang mencakup Jawa Tengah dan Yogyakarta;
- Faksi Ali Hate, mencakup Sulawesi Selatan; dan
- Faksi Komandemen Wilayah IX yang dipimpin oleh Abu Toto Syekh Panji Gumilang.
Selain itu, pasca tewasnya Kartosuwiryo, gerakan NII terbagi atas gerakan NII teritorial dan gerakan NII struktural. Aksi teror yang dilakukan oleh NII pasca Kartosuwiryo lebih banyak digerakkan oleh NII teritorial. Seiring waktu, pergerakan NII beranjak lebih jauh, tidak hanya sebatas radikal separatis, tetapi telah menjadi radikal teroris dan banyak terlibat dalam serangkaian aksi teror yang terjadi di wilayah NKRI.
Jamaah Islamiyah (JI)
Embrio JI bisa dilacak dari DI/TII KW 5 Faksi Yogyakarta, Jawa tengah yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baashir yang melarikan diri ke Malaysia karena menghindari kejaran Orde Baru pada bulan Januari 1993. Organisasi teroris ini mempunyai tujuan untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam dan kemudian menciptakan Pan-Islamis di kawasan Asia Tenggara yang wilayahnya mencakup Malaysia, Thailand selatan, Brunei Darussalam, dan Filipina selatan.
Pada tahun 1997, Abdullah Sungkar berusaha mewujudkan Daulah Islamiyah (negara Islam) yang ditopang oleh tiga kekuatan: (1) Quwwatul Aqidah (kekuatan akidah); (2) Quwwatul Ukhuwwah (kekuatan persaudaraan); dan (3) Quwwatul Asykariyah (kekuatan militer). Tujuan ini tercantum dalam sebuah pedoman rahasia yang bernama Pedoman Umum Perjuangan Jama’ah Islamiyah (PUPJI) dan diterbitkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Jama’ah Islamiyah pada Mei 1996.
Secara operasional, JI dibagi menjadi empat mantiqi (komando wilayah). Mantiqi 1 mencakup wilayah Malaysia dan Singapura yang bertugas menyediakan sumber pendanaan dan merupakan tempat para anggota senior. Mantiqi 2 mencakup wilayah pulau Jawa dan Sumatera dan bertugas menyediakan sumber daya manusia baru untuk organisasi, Mantiqi 3 mencakup Sulawesi dan Filipina yang merupakan sumber dari pengadaan senjata dan bahan peledak, Mantiqi 4 mencakup Australia. Wilayah Mantiqi menurut JI bukanlah pembatasan wilayah kenegaraan, melainkan wilayah gerakan dakwah Islam dan pembinaan teritorial.
Di bawah Mantiqi ada beberapa sub divisi regional yang disebut Wakalah.Wakalah berarti perwakilan, yaitu perwakilan wilayah Mantiqi dalam gerakan dakwah.Jumlah wakalah di bawah Mantiqi tidak terbatas tetapi di setiap pembentukan wakalah baru pada sebuah mantiqi haruslah mendapatkan persetujuan dari Markaziyah, yaitu pengurus pusat JI yang menjadi staf dan pembantu Amir (pemimpin tertinggi) dalam menjalankan kegiatan-kegiatan tertentu. Di bawah wakalah terdapat Sariyah yang merupakan kesatuan seperti Batalion dan terdiri atas tiga Katibah. Katibah adalah kesatuan seperti Kompi yang terdiri atas tiga Kirdas.Kirdas merupakan kesatuan seperti Pleton yang terdiri atas tiga Fiah. Fiah adalah kesatuan seperti Regu yang terdiri atas enam hingga sepuluh orang.
JI menjalin hubungan dengan al-Qaeda, dan memberikan pelatihan kepada sejumlah warga negara Indonesia di berbagai tempat-tempat pelatihan di Afghanistan pada tahun 1980-an dan 1990-an. Pada tahun 1990-an aktivitas yang dilakukan JI bahkan lebih difokuskan dalam membantu al-Qaeda dalam melakukan teror melawan Amerika Serikat, termasuk pengeboman USS Cole dan Tragedi 9/11. Pada tahun 2000, JI mulai melancarkan aksi terornya sendiri, termasuk pengeboman gereja di Medan, pengeboman rumah duta besar Filipina untuk Indonesia, dan pengeboman malam Natal.
Pedoman Radikalisasi Pelaku Terorisme
Terorisme agama biasanya muncul akibat adanya pemahaman keagamaan yang bercorak spiritual, yakni berdasarkan teks semata tanpa mengaitkannya dengan konteks yang mengitarinya. Pemahaman seperti ini melahirkan sikap fanatik dan militan yang berujung pada pandangan yang menganggap bahwa hanya dirinya sajalah yang benar (Surya Bakti, 2014, hal. 38). Bila melihat teks kitab suci, pemahaman-pemahaman teroris bsia mendapatkan pembenaran dengan mencopot satu ayat kemudian disambungkan ke ayat lain, dikaitkan terhadap suatu peristiwa, hingga seolah-olah Islam membenarkan terorisme (Golose, 2010, hal. 47).
Nasir Abbas (2015) menyebutkan bahwa para teroris menggunakan ayat-ayat kitab suci Quran yang diambil sepotong-sepotong dan kemudian dijadikan pedoman para kelompok teror dalam melakukan setiap aksi terornya terutama mengenai penyerangan serta aksi balas dendam terhadap orang-orang atau pihak-pihak yang mereka anggap sebagai musuh, seperti misalnya:
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Al Baqarah. 194).
Ayat yang digunakan sebagai landasan untuk melakukan balas dendam, yakni:
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (An-Nahl.126)
Hal inilah yang kemudian disebut sebagai kesalahan menginterpretasikan ajaran agama, yang secara tidak langsung terjadi radikalisasi melalui penafsiran semata tanpa menghiraukan konteks. Kekerasan oleh teroris dianggap sebagai “tugas mulia” atau “perbuatan suci” (Surya Bakti, 2014, hal. 40). Yang memperkuat proses radikalisasi bagi para pelaku teror salah selain ayat Quran yang “memperbolehkan” mereka untuk menyerang dan membalaskan dendam, mereka juga berpegang pada ayat yang diyakini bahwa Allah membenarkan dan meminta umatnya untuk “menteror” para musuh mereka, terlebih musuh Allah. Para teroris berpegang pada ayat dalam Al-Anfal: 60 yang berbunyi demikian:
“ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Al-Anfal.60).
Nasir Abbas (2015) menyebutkan bahwa dalam terjemahan aslinya disebutkan “menggentarkan” namun bagi para teroris diartikan sebagai “menteror” yang akhirnya menjadi pedoman bagi mereka untuk menjadi teroris untuk menyerang dan membalaskan dendam mereka terhadap para kaum kafir, terutama utama Amerika Serikat dan sekutunya, juga pada pemerintah Indonesia yang dianggap sebagai taghut.
Strategi Radikalisasi Pelaku Terorisme
Radikalisasi terjadi secara sistematis dan teroganisir. Radikalisasi ini dilakukan oleh para kelompok teroris langsung diarahkan kepada masyarakat, guna untuk mencari kader anggota atau bahkan mencari dukungan dari masyarakat. Dukungan ini bisa datang melalui dukungan melaui simpati masyarakat, yakni meligitimasi kegiatan-kegiatan teror mereka sebagai perjuangan persaudaraan Islam melawan penjajah atau pemerintah yang kafir, seperti yang dilakukan oleh Hamas, Hizbullah, dan sejenisnya, yang mana disatu sisi diluar tindakan teror mereka, mereka dipandang sebagai pejuang. Serta juga dukungan dari masyarakat lewat dukungan dana lewat sumbangan sukarela maupun pendanaan dari donor tunggal dari masyarakat yang memiliki kekayaan berlebih dan sejalan dengan cita-cita mereka.
Menurut Agus Surya Bakti (2014, hal. 55) radikalisme dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yakni pemikiran dan tindakan. Dalam hal pemikiran, radikalisme berfungsi sebagai ide yang bersifat abstrak dan diperbincangkan sekalipun mendukung penggunaan cara-cara kekerasaan untuk mencapai tujuan. Sedangkan dalam bentuk tindakan, radikalisme telah berwujud pada aksi yang dilakukan oleh aktor-aktor kelompok garis keras dengan cara-cara kekerasan dan anarkis untuk mencapai tujuan utamanya baik di bidang keagamaan, sosial, politik dan ekonomi. Pada level ini radikalisme mulai bersinggungan dan memiliki unsur-unsur teror sehingga ia berpotensi berkembang dan berproses menjadi terorisme.
Petrus Golose (2010, hal. 53) menyebutkan bahwa radikalisasi dilaksanakan oleh kelompok radikal dan teroris melalui anggota-anggota mereka, media yang mereka manfaatkan, yang meliputi: komunikasi langsung, media massa, lembaga pendidikan, dan hubungan kekeluargaan.
Tabel 1.
Media Penyebaran Radikalisme
Dalam radikalisasi ada tahapan-tahapan yang ditempuh untuk bisa mendapatkan kader anggota yang telah siap menjadi bergabung menjadi radikal. Tahapan-tahapan tersebut dalam secara jelas dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2.
Tahapan-Tahapan Radikalisasi di Indonesia
Tahapan Radikalisasi |
|||
Petrus Golose (2010) |
Agus SB (2014) |
||
1. | Perekrutan. Dalam tahap ini, individu target radikalisasi diseleksi berdasarkan beberapa kriteria (mis. umur, agama, pendidikan, perekonomian, status sosial, & kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat).
Di Indonesia berdasarkan kasus nyata, kriteria secara umum target radikalisasi yaitu a) mayoritas jenis kelamin laki-laki; b) usia 16-35 tahun; c) kurang pengetahuan dan pemahaman agama Islam; d) dari keluarga tidak mampu; e) mayoritas dari tingkat pendidikan SMA/MAN dan pesantren, namun belakangan mulai merekut dari kalangan menengah keatas & berpendidikan tinggi. |
1. | Pra-radikalisasi. Tahap dimana seseorang menjalani kehidupan sehari-harinya sebelum mengalami radikalisasi |
2. | Pengidentifikasian Diri. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui jati diri target dalam pemahaman ilmu agama Islam, beserta tingkat kepuasan diri terhadap kondisi ekonomi, sosial, & politik. Selain itu dengan sengaja target dibuat untuk tidak meiliki pemikiran yang kritis.
Salah satu media yang digunakan adalah lewat diskusi kelompok. Diskusi dalam kelompok semakin memunculkan ide-ide yang sama, dan ide tersebut saling mempengaruhi hingga terjadi pergeseran pendapat ke arah yang lebih beresiko. Pandangan individu akan lebhi berani mengambil resiko ketika berada dalam kelompok jika dibanding dengan pendapat sebagai individu, bahkan orang terpelajar pun dapat menjadi radikal atau bahkan lebih ekstrim ketika ia terlibat dalam kelompok tertentu. |
2. | Identifikasi diri. Merupakan fase ketika individu mulai mengidentifikasikan dirinya dengan ideologi radikal. Secara perlahan-lahan, seorang individu dalam fase ini mulai melepaskan diri dari identitas lama mereka dan mulai mengasosiasikan diri dengan orang-orang lainnya yang memiliki ideologi yang sama. Salah satu penyebabnya adalah usaha pencarian seseorang terhadap identitas agama mereka. |
3. | Indoktrinasi. Merupakan tahap pengajaran paham atau ideologi teroris kepada targetnya secara intesif. Tujuan utama dari tahap ini adalah membuat target menjadi percaya dan yakin sepenuhnya, bahwa ajaran sesat yang ditanamkan kepada mereka merupakan kebenaran mutlak dan tidak perlu untuk dibantah dan dikritisi lagi.
Dalam tahap ini, radikalisme dan ideologi teroris diberikan lewat pengjaran agama Islam kepada targetnya. Ajaran Islam yang telah disesatkan oleh para perekrut menjadi suatu dasar pembenaran untuk melakukan tindakan radikal atau teror dalam upaya mencapai tujuan politik berupa pendirian negara Islam yang mendunia. Ajaran Islam dimanfaatkan sebagai pembenaran tindakan kekerasan terhadap orang non Islam dimanapun, atau orang Islam lainnya yang berbeda pendapat. Akibat indoktrinasi, pola pikir atau cara pandang hidup yang dimiliki individu target menjadi berubah arah. Setelah menjalani tahap ini pola pikirnya tidak lagi seperti orang biasanya melainkan tujuan hidupnya hanya terfokus pada pembentukan kerajaan Islam berskala global. |
3. | Indoktrinasi. Adalah fase dimana seseorang mulai mengintensifkan dan memfokuskan diri pada apa yang diyakininya. Dalam fase ini, individu sudah mempercayai sepenuhnya tanpa mempertanyakan keabsahan sebuah ideologi radikal. |
4. | Jihad yang disesatkan. Dalam tahap ini target yang sudah termasuk ke dalam kelompok sel dari organisasi radikal atau teroris akan menerima kewajiban secara pribadi untuk ikut serta dalam jihad. Target pun yang menentukan dirinya sebagai tentara Allah atau mujahidin. Akhirnya, kelompok tersebut akan mulai merencanakan operasi untuk serangan teror dengan menggunakan konsep ajaran jihad yang telah disesatkan.
Tahap ini terdiri dari 5 proses, yaitu a) komitmen untuk melakukan teror dengan jalan jihad; b) persiapan dan pelatihan fisik; c) pelatihan mental ; d) bai’ah; dan e) merencanakan serangan teror. |
4. | Jihadisasi. Adalah ketika individu mulai mengambil tindakan berdasarkan keyakinan mereka. Dalam tahap jihadisasi, individu dapat melakukan berbagai tindakan kekerasan yang dimotivasi oleh interpretasi ajaran agama yang sempit, vandalisme, kekerasan komunal, dan residivisme. |
Ketika telah mampu melewati tahapan-tahapan radikalisasi, maka para kelompok terori akan memberikan berbagai bentuk motivasi demi memuluskan tujuan utama mereka. Dalam motivasi yang diberikan kepada para pelaku teroris berupa ungkapan-ungkapan yang menyemangati dengan menegaskan bahwa mati lebih baik jika tidak dibawah syariat Islam. Kekayaan dunia membuat diri menjadi takut mati, janji surga bagi orang yg mau ‘berkorban’, dan meledakkan diri bukan membunuh diri, tetapi bertujuan menyelamatkan keluarga dari api neraka, lewat syafaat sebagai syahid (Abas, 2015).
Dengan semakin majunya tekonologi tentunya juga mempengaruhi bagaimana tahapan-tahapan radikalisasi terbentuk. Semakin canggih, terbuka, dan mudah untuk diakses membuat internet menjadi media baru bagi kelompok teroris untuk menjalankan proses radikalisasi. Keempat tahap diatas pun bisa dilakukan lewat internet. Dan tentunya lebih memudahkan dan membuat para kelompok teroris lebih nyaman untuk beraksi. Begitu pula dengan seseorang yang mulai tertarik dengan ideologi radikal, akan semakin aman dan nyaman, serta lebih mudah untuk mengakses pengajaran-pengajaran karena hanya memerlukan gadget dan koneksi internet, yang juga membuat mereka tidak akan dengan mudah ditangkap oleh aparat penegak hukum.
Terorisme menggunakan internet dapat melaksanakan aksinya dari tempat yang jauh dan tidak terduga, seperti dari kamar tidur atau dari warung internet (warnet) (Golose, 2015, hal. 20). Terorisme di internet lebih murah dan mudah jika dibandingkan dengan melalui aksi fisik. Teror melalui internet dapat dilakukan dengan anonim atau nama samaran. Lokasi serangannya juga dapat dilakukan di manapun di dunia, dan mempunyai kecepatan serangan.
Dengan semakin makin majunya teknologi, maka teroris saat ini lebih memanfaatkan internet dalam melakukan radikalisasi. Golose (2015, hal. 48-49) terdapat lima peluang yang membuat teroris beralih lebih memanfaatkan internet, diantaranya:
- Internet menciptakan peluang untuk menjadikan seseorang terpapar ideologi radikal. Dalam hal ini internet telah memberikan fasilitas terjadinya radikalisasi, dan ditandai dengan kemunculan berbagai situs radikal atau terorisme. Hal ini membuka peluang bagi teroris untuk memperkenalkan dan menanamkan ideologi terorisme kepada para pengguna internet tanpa mengenal batas wilayah.
- Internet menjadi “echo chamber” bagi ideologi radikal. Internet membantu para pengguna untuk memperoleh materi-materi yang menarik bagi mereka, termasuk propaganda terorisme secara lebih mudah. Kemudian materi-materi tersebut ditempatkan di berbagai layanan internet seperti situs, blog, jejaring sosial, forum internet, fasilitas chat, dan video streaming yang membuat seakan pengguna internet yang mendukung ideologi mereka sangat besar.
- Internet mempercepat proses radikalisasi, yang mana dalam hal ini internet memberikan kemudahan bagi seseorang untuk memperoleh informasi dan materi propaganda terorisme, bahkan secara instan dan berkelanjutan. Internet juga memberikan akses dan kesempatan kepada pengguna untuk berhubungan dan berinteraksi dengan pengguna lain yang punya pemikiran yang sama, yang mampu memberikan dorongan dan arahan untuk terlibat dalam aksi terorisme.
- Internet membuka peluang terjadinya radikalisasi tanpa memerlukan kontak fisik. Dengan internet, seseorang dapat merasa lebih nyaman untuk mengakses materi-materi radikal daripada harus bertemu langsung seperti halnya dalam suatu kegiatan keagamaan.
- Internet juga meningkatkan peluang terjadinya “self-radicalisation”. Pengguna tidak harus selalu bertemu langsung dengan anggota teroris lain untuk mengenal pola-pola aktivitas terorisme, ideologi, dan visi organisasi teroris. Pengguna bisa memperoleh banyak informasi tentang hal tersebut dengan lewat internet.
Penutup
Terorisme yang saat ini telah bergeser menjadi terorisme berbentuk lone wolver dan leaderless resistance semakin memperkuat penggunaan internet dalam memperkuat diri dan memperkuat propaganda demi mencari dukungan akan aksi atau operasi yang hendak mereka laksanakan. Oleh karena itu strategi yang perlu diterapkan dan diperkuat oleh pemerintah bukan hanya terpaku dalam bagaimana memperkuat kekuatan dalam penindakan, namun dalam deteksi dini, dan juga kontra narasi.
Terutama sekali karena internet telah menjadi gaya hidup masyarakat modern, dimana hampir seluruh aktivitas berlangsung lewat internet, maka pemerintah harus lebih memperkuat kekuatan dalam deteksi dini lewat internet dan juga kontra narasi lewat internet.
Bibliography
Abas, Nasir. (2015, Desember 7). “Terorisme di Indonesia”. Kuliah Terorisme dan Kontraterorisme, Program Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia. Jakarta
Golose, P. (2010). Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput (Cetakan Kedua). Jakarta: YPKIK.
Golose, P. (2015). Invasi Terorisme Ke Cyberspace. Jakarta: YPKIK.
Surya Bakti, A. (2014). Darurat Terorisme Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi. Jakarta: Daulat Press.