Peran Narasi dalam Implementasi Terorisme

Peran Narasi dalam Implementasi Terorisme

Terorisme masih terus menjadi ancaman bagi setiap negara, misalnya seperti yang baru-baru ini terjadi di Paris, Perancis pada Jumat, 13 November 2015, dimana terjadi penembakan dan ledakan di gedung Bataclan, Paris, yang mengakibatkan lebih dari 100 orang tewas. Yang berakibat pada situasi kota Paris yang berubah menjadi kota dengan suasana mencekam, dan disertai penutupan gedung-gedung perkantoran, sekolah dan fasilitas publik. Dengan jumlah korban yang lebih dari 100 orang maka pelaku dipastikan membawa persediaan amunisi yang cukup banyak. Selain itu diperoleh kesaksian bahwa dalam aksinya pelaku meneriakkan kata “Suriah”.[1] Senapan serbu yang digunakan para militan ISIS dalam serangan teror Paris 13 November lalu yang kemudian disita polisi adalah buatan eks Yugoslavia. Menurut Milojko Brzakovic, Direktur Pabrik Senjata Zastava di kota Kragujevac, Serbia tengah, mengatakan bahwa senapan itu dari jenis senjata serbu M70 yang merupakan tiruan dari AK47 buatan Uni Soviet, yang diproduksi pada 1987 dan 1988.[2]

Seperti yang diutarakan oleh Hendropriyono (2009:256-257) bahwa terorisme adalah suatu tindakan yang menyebabkan kengerian, ketakutan, dan rasa panik pada masyarakat karena berbagai aksi perusakan baik secara fisik, psikologis maupun secara verbal. Tindakan ini sangat bervariatif, mulai dari tindakan perusakan, menimbulkan rasa takut sampai pada pembunuhan masal.

Aksi teror yang terjadi di Paris menunjukkan bagaimana kelompok teror ini, dalam hal ini ISIS, berhasil menciptakan kengerian, ketakutan, dan rasa panik pada masyarakat karena berbagai aksi perusakan baik secara fisik, psikologis maupun secara verbal lewat penembakkan, peledakan, dan adanya teriakan “Suriah” dalam aksinya. Bahkan beberapa jam penembakan dan pemboman di sejumlah wilayah di Paris pada Jumat malam, ISIS pada Sabtu 14 November 2015, merilis video ancaman terbaru yang ditujukan kepada Prancis. Kelompok itu mengancam akan menyerang Prancis lebih lanjut setelah rentetan teror di Paris yang menewaskan ratusan orang. Video ini dirilis pada hari Sabtu melalui sayap media ISIS, yaitu Al-Hayat Media Center. Dalam video tersebut, mereka mengatakan bahwa selama pasukan sekutu terus membom basis-basis ISIS, negara-negara sekutu tidak akan aman. Kelompok ini juga mendesak umat Muslim yang tidak dapat melakukan perjalanan ke Suriah untuk melakukan serangan mematikan di Prancis. Para militan menyerukan warga Muslim di negara itu untuk melawan orang-orang yang dianggap “kafir”. Mereka juga menyebutkan bahwa mereka memiliki berbagai senjata, termasuk racun, dan juga telah menentukan target untuk diserang.[3]

Selain itu, serangan ini juga telah menunjukkan bagaimana modus serangan terorisme memang telah berubah. Modus serangan terorisme kontemporer memang lebih mengutamakan serangan dalam skala kecil seperti dalam bentuk pengeboman sporadis, penyerangan senjata, perampokan, peracunan, serta adanya penggalangan dana dari sumbangan individu. Berbicara soal dana, menurut Menteri Keuangan Prancis Michel Sapin, bahwa pelaku bom Paris hanya membutuhkan tidak lebih dari 30.000 euro atau sekitar Rp430 juta untuk melaksanakan aksinya. Para pelaku tersebut membiayai aksinya dengan mengumpulkan sumbangan-sumbangan kecil dan membelanjakannya dalam jumlah yang kecil pula sehingga sulit untuk dilacak karena menggunakan kartu kredit pra bayar.[4]

Dari berbagai serangan terorisme yang terjadi belakangan ini, bahkan yang terjadi di Paris baru-baru ini, pada dasarnya masih memunculkan pertanyaan mengenai ancaman terorisme. Terutama dengan semakin luas dan cepatnya pemberitaan media tentunya semakin menguatkan berbagai pertanyaan bahwa apakah memang sebegitu besarnya bahaya teroristik yang terjadi atau mungkin bahaya teroristiknya lebih kecil dari narasinya. Terutama karena media secara tidak langsung terjadi simbiosis mutualisme antara media dan kelompok teroris.

Seperti yang diutarakan oleh A.J. Behm (1991), menyatakan bahwa media massa dan teroris memiliki kepentingan yang sama, teroris menyusun dan memanfaatkan strategi media mereka, sementara di lain pihak, media menempatkan kepentingannya pada aktivitas kelompok teroris.[5] Juga menurut Nacos (2007), bahwa kelompok teroris, dalam setiap aksi yang dilakukannya selalu bergantung kepada pemberitaan media massa yang menyebarkan informasi dengan maksud untuk pertama, mencari perhatian internasional dan membangkitkan kesadaran lingkungan / masyarakat yang menjadi target maupun yang bukan target mereka, serta mengintimidasi komunitas yang menjadi target; kedua, memperkenalkan tujuan dan motif yang mereka lakukan; ketiga, menarik simpati dan respek dari simpatisan dan masyarakat yang mendukung aksi yang mereka lakukan; dan keempat, serta untuk memperoleh pengakuan atau legitimasi bagi para anggotanya yang memposisikan diri sebagai perwakilan kelompoknya.[6]

Narasi menurut Keraf (2001:136) adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Dengan demikian disimpulkan bahwa narasi berusaha menjawab fenomena apa yang telah terjadi, baik seseorang, kelompok atau masyarakat secara umum. Narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa. Oleh karena itu, unsur yang paling penting dalam sebuah narasi adalah unsur perbuatan dan tindakan.

Jika melihat dari definisi diatas memang tampak jelas bahwa narasi ini mampu membuat seolah-olah pembaca (masyarakat) melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Meliala (2015) menyebutkan bahwa narasi menciptakan ekspresi, ekspresi tersebut dapat tertuang dalam bentuk tertulis (teks), visual, audio, dan aksi. Secara teks dan visual bisa kita lihat bagaimana narasi ini disampaikan dalam situs-situs radikal yang menebarkan berbagai propanda radikal yang mengajak masyarakat terutama anak muda untuk bergabung untuk bersama-sama menjalankan ajaran agama yang telah disalahtafsirkan ke arah radikal.

Kekuatan narasi bisa terlihat jelas di Indonesia, propanda untuk membentuk militansi dari masyarakat terlihat jelas dimana-mana. Sebagai contoh bagaimana Abu Muhammad al-Indonesi alias Bahrumsyah mengajak orang Indonesia untuk bergabung dengan ISIS melalui video “Join the Ranks from The Islamic State” yang berdurasi 08:27 di situs youtube. Bukan hanya itu secara audio juga sering banyak narasi yang muncul misalnya ceramah oleh para pemuka agama di berbagai tempat ibadah yang banyak mengandung unsur radikalisme.

ISIS bukanlah kelompok terorisme biasa, mereka mampu menjadikan kelompok ini sebagai kelompok terorisme yang kuat dan kaya saat ini. Mereka juga menjalankan teknik baru dalam perekrutan anggota mereka, yaitu dengan menggunakan metode “sarang lebah” dengan menhimpun para kelompok militan atau kelompok teroris di berbagai negara untuk melakukan hijrah ke Irak dan Suriah. Berbeda dengan pendahulu mereka seperti misalnya al-Qaeda yang senang melakukan “franchise” ke berbagai negara, mereka malah menarik orang untuk bergabung dengan berbagai iming-iming bahkan menerima gaji.

Sebelumnya ISIS telah menunjukkan bahwa mereka memiliki track record yang bagus dalam melakukan penghancuran peninggalan-peninggalan kuno, situs-situs sejarah, seperti yang mereka lakukan di Irak. Mereka juga bahkan pernah mengancam akan menyerang Mekkah, dan mengancam juga akan menyerang Roma. Target mereka masih sama mengincar negara, atau kota yang memiliki situs sejarah yang bernilai tinggi. Yang jelas tujuannya untuk dapat menunjukkan kekuatan mereka dan menciptakan kengerian yang lebih karena mereka mampu menghancurkan kota-kota penting. Mereka sudah melancarkan serangan ke Libya, dan bahkan menyatakan bahwa mereka akan masuk ke Italia melalui jalur tersebut. Namun belum tercapai keinginan tersebut, mereka langsung membombardir Paris, Perancis.

Terkait dengan serangan teror baru-baru ini di Perancis, alasan mengapa Paris menjadi pilihan lokasi serangan bukanlah hal baru. Kalau kita bisa lihat tren dan pola mereka, maka Paris memang bisa dibilang masuk dalam target ISIS. Disana bukan hanya ada menara Eiffel yang terkenal itu, di Paris juga ada situs wisata lainnya seperti Les Invalides, yang merupakan museum dan pemakaman banyak tentara terkenal Perancis, termasuk Napoleon. Selain itu kota ini juga merupakan kota besar di Eropa, dan tentu banyak orang yang berminat, berniat, dan berada di kota ini, selain karena keindahan yang katanya indah, Paris juga merupakan salah satu pusat mode dunia, sehingga banyak orang yang pastinya selalu akan datang ke kota ini.

Namun kerentanan Perancis mulai bisa terlihat bahwa begitu banyak imigran, terutama dari Afrika Utara yang ada disana. Bahkan jika dilihat dari timnas sepakbola Perancis, para pemain lebih didominasi oleh para pemain keturunan imigran dari pada pemain asli Perancis. Ini pun yang membuat Perancis rentan, karena begitu banyak imigran, dan seakan imigran dengan mudah masuk ke negara ini. Terutama setelah gelombang besar imigran besar-besaran datang dari Suriah, dimana demi kemanusiaan negara-negara Eropa membuka pintu bagi para imigran. Namun menjadi perhatian tersendiri bagi Perancis, dengan semakin banyak imigran yang sebelumnya telah ada disana, maka datangnya imigran baru terutama dari daerah konflik membuat semakin rentan negara ini menerima serangan, karena tidak dapat diketahui dengan pasti mana imigran yang baru, mana imigran yang sudah lama menetap, bahkan latar belakang mereka datang pun menjadi semakin susah, karena sulit untuk melihat manakah yang asli imigran dan yang mana yang berpura-pura menjadi imigran yang sebenarnya adalah pelaku teror yang mengincar negara.

Perancis juga termasuk dalam NATO yang ikut memerangi para pejuang ISIS di Irak dan Suriah, terutama di Suriah belakangan ini. Tentunya dengan peran aktif Perancis dalam kontra terorisme di Suriah, berdampak pada kerentanan Perancis akan serangan balasan dari para pejuang ISIS ke dalam negara Perancis.

Untuk dapat membendung pengaruh ISIS agar tidak meluas, terutama di Indonesia kembali lagi pembatasan pemberitaan media, dan kebebasan internet masih menjadi salah satu faktor utama, dimana kekuatan narasi mampu berkembang dan menyebar dengan cepat lewat media ini yang membuat ISIS dengan mudah merekrut anggota lewat jejaring sosial.

Demi mencegah makin luasnya pengaruh ISIS maka perlu dirumuskan sebuah strategi yang meliputi strategi di bidang kesiapsiagaan; strategi di bidang pengawasan; strategi di bidang perlindungan; strategi di bidang kontra-propaganda; strategi di bidang deradikalisasi; dan strategi di bidang kerjasama luar negeri dalam menangkal ISIS di Indonesia.

Strategi yang perlu diterapkan antara lain:

Strategi di bidang Kesiapsiagaan

  • Melakukan pemetaan secara lebih detail aktor-aktor yang terlibat dalam isu pro-ISIS di Indonesia dan juga WNI yang benar-benar sudah terlibat dalam mendukung ISIS di Irak.
  • Melakukan pengumpulan data terkait dengan pengumpulan dana yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Pro ISIS di Indonesia yang akan digunakan untuk memberangkatkan aktivis ke Irak atau menyalurkan dana kepada para kelompok militan yang sudah bergabung dengan ISIS.
  • Melakukan pembekuan aset-aset terorisme terhadap daftar terduga teroris yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan UU No. 9/2013 mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.
  • Merujuk pada hasil Global Counter Terrorism Forum 2014 teridentifikasi ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberantasan terorisme, antara lain recruitment, travel, dan return. Oleh karena itu perlu ditambahkan aspek peran keluarga dan lingkungan masyarakat terkecil dalam pencegahan proses recruitment dan travel

Strategi di bidang Pengawasan

  • Melakukan pengawasan kepada kelompok-kelompok radikal  yang secara  aktif melakukan  rekrutmen WNI yang akan dikirim kepada ISIS dan juga kelompok-kelompok yang sudah diidentifikasikan melakukan latihan militer. Pengawasan dapat dilakukan dengan meningkatkan pengamanan WNI yang akan pergi ke luar negeri, yang dapat dimulai pada saat pengurusan paspor.
  • Lebih memperketat pengawasan orang-orang yang masuk ke Indonesia dari kawasan-kawasan yang mempunyai cabang-cabang al-Qaeda. Langkah ini diperlukan untuk mencegah kemungkinan adanya penyusupan anggota al-Qaeda seperti yang terjadi di Malaysia. Strategi ini bisa dijalan dengan bekerjasama antar Dirjen Keimigrasian, Kemlu dan BNPT.
  • Mendata dan memetakan “jalur tikus” yang luput dari pengawasan imigrasi yang biasanya digunakan sebagai rute kepulangan yang diambil oleh para WNI dari daerah konflik seperti Irak dan Suriah.

Strategi di bidang Perlindungan

  • Indonesia juga perlu melakukan perlindungan kepada para diplomat Indonesia yang ada diluar negeri. Sekalipun mereka itu kebal hukum mereka, tidak kebal peluru. Data menunjukkan bahwa beberapa diplomat diculik oleh kelompok radikal di Irak dan Suriah.

Strategi di bidang Kontra propaganda

  • Melakukan kontra naratif dengan publikasi di media massa baik online, cetak, maupun televisi. Media sosial seperti twitter merupakan sarana penggalangan yang masif dan efektif bagi kelompok militan.
  • Melakukan kontra propaganda secara terbuka dengan diskusi, seminar, pengajian, dan sebagainya untuk mewacanakan anti ISIS.

Strategi di bidang Deradikalisasi

  • Membuat forum kontra propaganda yang menjelaskan perkembangan situasi, hukum-hukum nasional dan internasional yang mengatur keterlibatan seorang warga sipil dalam konflik internasional kepada para napi yang sudah terindikasi memberikan dukungan kepada ISIS dalam paket-paket program rehabilitasi dalam penjara.
  • Memberikan bahan-bahan bacaan kepada para napi teroris di penjara terkait dengan bahaya dan kerugian yang ditimbulkan seorang warga yang terlibat dalam konflik bersenjata di luar negeri, dan fatwa-fatwa ulama yang dipercaya yang bisa memberikan pencerahan.

Deradikalisasi dilakukan sebagai upaya pendamping penanggulangan teroris dengan cara hard approach yang telah berhasil dilakukan oleh Densus 88/AT. Program deradikalisasi di Indonesia dijalankan oleh BNPT. Untuk menjalankan program ini BNPT bekerja sama dengan banyak pihak seperti ulama, lembaga pendidikan, Ormas, instansi pemerintah, dan masyarakat umum.

Peran intelijen dalam proses deradikalisasi sangat penting. Metode intelijen seperti penggalangan sangat tepat dilakukan untuk mengubah opini kelompok dari radikal menjadi tidak radikal. Penggalangan sangat tepat dilakukan karena tidak mengandung unsur kekerasan yang bisa dianggap melanggar HAM. Deradikalisasi akan menitikberatkan pada akar masalah pelaku terorisme. Pendekatan persuasif dengan mengedepankan tokoh agama, pendidik, budayawan, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan lembaga lain yang ada diharapkan dapat mengubah persepsi dan konsep aksi radikal menjadi tidak radikal. Tokoh agama menjadi kunci program deradikalisasi mengingat terorisme dan kekerasan terjadi karena sempitnya pemahaman tentang jihad.

[1] Stanislaus Riyanta. (2015). Mengapa Teror Terjadi (lagi) di Paris? Dalam http://jurnalintelijen.net/2015/11/24/mengapa-teror-terjadi-lagi-di-paris/ diakses pada 5 Desember 20

[2] http://www.antaranews.com/berita/532046/teror-paris–senjata-teroris-buatan-yugoslavia diakses pada 5 Desember 2015

 

[3] http://international.sindonews.com/read/1061601/41/via-video-isis-ancam-serang-prancis-lagi-1447498029 diakses pada 5 Desember 2015

[4] http://www.antaranews.com/berita/533138/biaya-serangan-paris-hanya-rp430 juta?utm_source=fly&utm_medium=related&utm_campaign=news diakses pada 5 Desember 2015

[5] Adi Sulistyo, 2014, Peran Media Massa dalam Upaya Kontra-Terorisme (Analisis terhadap Peran dan Posisi Media Massa), Jakarta: Unhan, hlm. 2

[6] Ibid. hlm. 3

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent