Pengaruh Kesenjangan Relatif dan Globalisasi pada Kemunculan Terorisme

Pengaruh Kesenjangan Relatif dan Globalisasi pada Kemunculan Terorisme

Terorisme bukanlah kejahatan biasa melainkan merupakan kejahatan luar biasa bahkan digolongkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Negara-negara anggota PBB dan masyarakat dan beradab menegaskan secara sungguh-sungguh untuk mengecam secara tegas seluruh bentuk, metoda, upaya dan tindakan terorisme sebagai tindak pidana yang sangat kejam, termasuk mereka yang merusak hubungan persahabatan antar negara dan mengancam integritas teritorial, keamanan, ketertiban, dan pertahanan negara-negara berdaulat.[1]

Namun pada dasarnya kegiatan atau serangkaian aksi teror yang berujung menjadi aksi terorisme memiliki latar belakang atau situasi tertentu yang memicu munculnya serangkaian aksi tersebut. Globalisasi dapat menjadi salah satu faktor pemicu munculnya kegiatan terorisme. Globalisasi seperti yang diutarakan oleh Joseph Stiglitz (2002) bahwa globalisasi mempunyai kuasa untuk dapat mengurangi atau meningkatkan taraf hidup suatu bangsa[2], akan tetapi globalisasi ini bisa muncul untuk menciptakan kesenjangan sosial. Dampak positif dari globalisasi ialah adanya perkembangan ekonomi makro yang relatif lebih cepat karena pemerintah berusaha meningkatkan perekonomian salah satu nya dengan cara menjaring investor-investor baik dari dalam maupun luar negeri, akan tetapi pada akhirnya kebijakan ekonomi yang demikian tentunya memiliki dampak negatif, yaitu muncul kesenjangan pendapatan ekonomi di antara pemiliki modal yang menguasai perekonomian dengan para pekerja.[3]

Kesenjangan pendapatan ekonomi, sebagai salah satu hal yang mempengaruhi timbulnya kemiskinan, membuat anggota masyarakat terstratifikasi menjadi kelas-kelas, kelas ekonomi bawah dikategorikan miskin, kelas ekonomi menegah, kelas ekonomi atas. Apabila perbedaan kelas tersebut terlalu mencolok dalam realitas sosial, maka disebutlah kesenjangan ekonomi dalam sistem ekonomi. Kesenjangan ekonomi ini berpengaruh dalam timbulnya kesenjangan sosial karena hak masyarakat sebagai warga negara tidak terpenuhi, seperti untuk memperoleh fasilitas dan sarana untuk menunjang kehidupan. Fasilitas kesehatan dan fasilitas perumahan serta pendidikan yang tidak dapat dinikmati oleh masyarakat kelas bawah, terlebih untuk menyamai fasilitas-fasilitas tersebut sama dengan masyarakat kelas menengah-atas.[4]

Menurut teori sosio-psikologis kesenjangan relatif, terorisme muncul sebagai suatu tindakan yang diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang terjadi atau dirasakan karena adanya suatu perbandingan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok akan apa yang telah dimiliki atau belum dimiliki dengan apa yang dimiliki oleh orang atau kelompok lain, yang tentunya memiliki lebih dari kelompok yang melakukan perbandingan. Kesenjangan yang dirasakan kemudian membentuk suatu reaksi ketidakadilan dan menimbulkan amarah atas kesenjangan tersebut. Perbedaan yang begitu mencolok antar mereka menciptakan kesenjangan dan memunculkan aksi teror.

Keuntungan globalisasi ekonomi menurut David Ricardo adalah sinergisitas dalam perdagangan antar negara, sehingga dapat memberikan keuntungan absolut. Keuntungan perdagangan ditentukan oleh spesialisasi produksi, jika pusat keunggulan (center of excellence) itu tidak eksis di antara negara yang saling berdagang, maka keuntungan masih dapat diperoleh secara komperatif. Keuntungan komperatif ala David Ricardo mendorong negara besar untuk mau berdagang dengan negara miskin. Karena di negara-negara banyak buruh yang bisa dibayar dengan upah rendah, sehingga pemodal dari negara-negara maju mengalihkan modal mereka ke negara-negara berkembang.[5]

Akan tetapi ada persoalan yang muncul, yaitu kehidupan para pekerja murah yang kerap tidak diperhatikan secara layak dan resiko produksi (misalnya kerusakan lingkungan hidup) yang kerap menjadi beban bagi negara miskin. Keuntungan komperatif mengandaikan situasi ekonomi yang aliran modal masih berkisar dalam suatu negara, karena mendapat kepastian dari negara. Tetapi teori keuntungan komparatif tersebut tidak berlaku di dalam situasi perdagangan global yang peranannya dipegang oleh perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional memilki jangkauan ke seluruh dunia, yang aliran modalnya melampaui batas administrasi politik dari suatu negara.[6]

Perdagangan internasional saat ini telah menjadi sebuah rezim yang hanya mengenal keuntungan absolut. Hal tersebut terjadi karena tidak ada kontrol sosial yang berhasil menjatuhkan hukuman bagi perusahaan-perusahaan besar. Namun sebaliknya dengan adanya suatu kontrol yang terlalu kuat di dalam suatu negara akan berakibat buruk dengan dikucilkannya negera tersebut dalam perdagangan internasional. Suatu perusahaan multinasional juga dapat meninggalkan suatu negara begitu saja untuk menanamkan modalnya ke negara lain yang ongkos produksinya lebih rendah. Globalisasi tidak menciptakan pembagian kekayaan suatu bangsa, ketidaksamaan yang terjadi karena globalisasi ekonomi akan menimbulkan rendahnya kemampuan konsumsi masyarakat, hal ini yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi.[7]

Terorisme merupakan akibat suatu represi yang berlebihan, akibat dari adanya jurang yang mendalam antara yang kaya dan yang miskin, adanya kesenjangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang, adanya kehancuran ekologis, meluasnya kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan sosial-politik. Represi yang berlebihan ini lalu mewujudkan diri dalam bentuk tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang dan atau bertujuan politik.[8]

Sebagai respon atas hegemoni kapatalisme global mulai bermunculan berbagai kelompok dalam negara-negara berkembang dengan smart power  berikut segala turunannya juga atas aksi intelijen asing yang sering berbuah kekerasan. Meskipun kelompok ini kecil, namun bersifat monolitik, sehingga mulai dapat menggiring opini publik. Penggalangan opini publik merupakan fungsi dari bagian intelijen sayap militer Jamaah Islamiyah, yaitu badan al-Amnu wa al-Istikhbarat.[9]

Banyak yang beranggapan bahwa terorisme kontemporer terbentuk karena adanya latar belakang agama, atau adanya dasar fundamentalisme individu atau kelompok tertentu yang melandaskan nilai-nilai agama yang dianggap benar untuk menjadi pembenaran atas tindakan teror atau penyerangan atas pihak tertentu yang tidak mereka sukai. Akan tetapi pada kenyataannya ada faktor-faktor utama yang menjadi induk munculnya individu atau kelompok yang memperjuangkan tujuan mereka dengan jalan terorisme, yakni perjuangan menghadapi kesenjangan, perjuangan menghadapi globalisasi ekonomi yang berujung kapitalisme global, atau bahkan imperialisme baru lewat perdagangan internasional.

Basis fundamental epistemologis yang digunakan kalangan teroris adalah melalui kebenaran epistemologis jihad qital, yang merupakan perjuangan habis-habisan dengan cara pembunuhan demi tercapainya tujuan. Sebagai pembenaran adalah wahyu, yang dipahami sebagai sumber dari segala pengetahuan tersebut. Istilah jihad sebagai doktrin sudah lama terdapat di dalam sejarah Islam, namun sekarang istilah jihad telah diidentikkan dengan terorisme. Jihad secara harafiah bermakna perjuangan luas, yang dalam kata kerjanya berarti “usaha sungguh-sungguh”, yang artinya kaum Muslim didorong untuk berjuang secara sungguh-sungguh dan perkasa dijalan Tuhan. Gagasan perjuangan dan pencapaian ini begitu penting dalam Islam. Jihad dalam terorisme kontemporer mengalami politisasi dan menjadi bahasa politik kelompok tertentu berikut tafsir tertentu pula. Rigiditas dan kesempitan tafsir menjadi salah satu kata kunci memahami fenomena jihad dewasa ini, yaitu tafsir yang bermakna usaha menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari menjadi tafsir usaha kebencian melawan kelompok-kelompok yang dianggap memusuhi Islam.[10]

Namun pada dasarnya yang menjadi dasar utama dari tindakan terorisme bisa disimpulkan karena adanya kesenjangan dan perjuangan untuk mendapat keadilan dari terciptanya kesenjangan, terutama ekonomi antara negara berkembang dengan negara maju. Terutama dengan munculnya globalisasi ekonomi yang serta merta membawa kapitalisme dan imperialisme baru di suatu negara berkembang. Kelompok-kelompok terorisme yang tumbuh dan kemudian mengalami politisasi dan ditunggangi oleh oknum tertentu yang mengatasanamakan agama atau ideologi, awalnya hanyalah bentuk perjuangan melawan kapitalisme global.

 

[1] Laporan Penelitian Departemen Kriminologi Fisipol UI, 2011, Peran dan Sinergitas Instansi Pemerintah dan Khususnya TNI dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia, hlm. 19

[2] Joseph Stiglitz, 2002, Globalization and Its Discontents, New York: Norton & Company

[3] Egi Prasetyo dkk, 2012, Tinjauan Filosofis Kesenjangan Sosial di Indonesia berdasarkan Teori Sistem Sosial Talcott Parsons, Yogyakarta: UGM, hlm. 11

[4] Ibid., hlm. 12

[5] A.M. Hendropriyono, 2009, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 152

[6] Ibid., hlm. 153

[7] Ibid., hlm. 153-154

[8] C.P.F. Luhulima, “Pemberantasan Terorisme dan Kejahatan Transnasional dalam Pembangunan Keamanan Asia Tenggara”, Analisis CSIS Tahun XXXII/2003, No.1, hlm 43

[9] Hendropriyono, Op.cit., hlm. 155-156

[10] Hendropriyono, Op.cit., hlm.283-288

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent