Penanganan Terorisme di Indonesia

Penanganan Terorisme di Indonesia

Sampai saat ini masih belum ada satu pembatasan atau satu definisi terkait pengertian terorisme yang disepakati secara universal. Ini terjadi karena disamping banyaknya elemen terkait, juga karena banyak pihak mempunyai kepentingan menterjemahkan terminologi terorisme dari sudut pandang dan kepentingannya, termasuk setiap negara atau lembaga merumuskan definisinya sendiri-sendiri (Djari, 2013:10).

Untuk dapat menilai atau pun merumuskan bagaimana penanggulangan terorisme, terutama di Indonesia, maka perlu diambil sebuah pengertian dari terorisme. Seperti yang diutarakan oleh Hendropriyono (2009:28), menurutnya terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstrimis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan, yang tidak dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum. Terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan dikalangan masyarakat umum. Terorisme merupakan penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan, yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik (Hendropriyono, 2009: 26).

Jika ditinjau dari definisi ini, terutama bagaimana Hendropriyono mengartikan terorisme sebagai “penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan, yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik”, maka jelas bahwa terorisme disini bukan hanya sebagai tindakan yang mengancam keamanan negara, akan tetapi lebih kepada ancaman keutuhan negara. Apalagi belakangan ini mulai muncul kelompok-kelompok teroris baru yang mulai mengedepankan terwujudnya ide yang diyakini oleh banyak kalangan sebagai ide utopis, yakni kekhalifahan yang di promosikan oleh kelompok ISIS. Kelompok ini menjadi contoh bahwa terorisme saat ini mulai melakukan banyak pergeseran, jika dulu para pendahulunya seperti al-Qaeda lebih suka menerapkan metode “franchise” seperti McDonald’s ke berbagai ke penjuru dunia, namun mereka malah menerapkan metode “sarang lebah” yang menarik para anggota kelompok-kelompok militan dari berbagai negara untuk datang berkumpul di suatu wilayah, untuk memerangi dan menguasai wilayah-wilayah di Irak maupun Suriah.

Seperti yang diutarakan oleh Djari (2013) bahwa hingga saat ini masih belum ada satu pembatasan atau satu definisi terkait pengertian terorisme yang disepakati secara universal karena banyak pihak dan elemen terkait (termasuk negara dan lembaga) mempunyai kepentingan menterjemahkan terminologi terorisme dari sudut pandang dan kepentingannya masing-masing, di Indonesia juga sampai saat ini bisa dikatakan masih belum ada satu pembatasan atau satu definisi terkait terorisme, yakni ruang lingkup, serta kekuatan mana yang sebenarnya memiliki wewenang dalam mengatasi masalah terorisme.

Dalam penanganan terorisme di Indonesia terdapat dua pandangan yang berbeda terkait lingkup serangan terorisme. Pertama terorisme dilihat sebagai isu kejahatan kedalam (inward) dan yang kedua  terorisme dilihat sebagai kejahatan lintas negara (outward).[1] Pandangan pertama melihat masalah penanganan terorisme berada dalam wilayah penegakkan hukum atau kesejahteraan (inward atau wilayah prosperity). Dalam skema triad wilayah penegakkan hukum tersebut, Indonesia dibedakan menjadi tiga wilayah yaitu, wilayah pertahanan yang berhubungan dengan upaya mempertahankan diri dari ancaman luar (yang menjadi tugas dari TNI), wilayah prosperity yang berhubungan dengan keamanan dan penegakkan hukum di dalam negeri (yang menjadi tugas dari Polri, Kementerian terkait, tokoh masyarakat, dan NGO), dan wilayah hubungan luar negeri (yang menjadi tugas dari Kementerian Luar Negeri dan lain-lain). Menurut pandangan ini, pihak yang paling bertanggung jawab atas upaya penanganan terorisme adalah aparat penegak hukum.[2]

Sedangkan pandangan kedua melihat kejahatan terorisme sebagai kejahatan yang mengancam keamanan dan ketahanan negara serta merupakan fenomena kejahatan lintas negara (outward). Dalam pandangan ini penanggulangan terorisme harus melibatkan semua aparat militer yang memang berkompetensi untuk menghadapi musuh dari luar ataupun ancaman dari luar terhadap ketahanan dan ancaman terhadap negara RI.[3] Pandangan kedua ini melihat masalah terorisme sebagai masalah yang tidak semata-mata dapat ditangani hanya oleh penegakan hukum, tetapi juga masalah ideologis dan sosiologis yang penanganan dan penanggulangannya harus dilakukan secara komprehensif oleh semua komponen negara, termasuk TNI.[4]

Seperti apa yang utarakan oleh Petrus Golose (2011:7) bahwa permasalahan terorisme di Indonesia saat ini masih merupakan tindak pidana yang mengancam keamanan, belum mengancam pertahanan dan eksistensi negara. Oleh karenanya kepolisian dan instansi penegak hukum lainnya disebut memiliki wewenang dalam penegakan hukum bagi tindak pidana terorisme.

Namun jika kita kembali meninjau fenomena kelompok teroris kontemporer yang lebih kepada adanya tujuan untuk melakukan perubahan politik dengan membentuk suatu kekhalifan maka, tentunya kekuatan militer sebagai alat negara dalam menjaga ketahanan dan membendung ancaman terhadap negara RI, maka tentunya kekuatan militer perlu dioptimalkan. Seperti yang diutarakan oleh Ronczkowski (2006:20) bahwa pengertian terorisme bergantung pada posisi, misi, dan periode waktu yang kita lihat untuk mengartikan terorisme, maka guna menghadapi ancaman kelompok terorisme global kontemporer tentunya kekuatan militer perlu diperkuat dan bersiaga.

Jika situasi yang tengah terjadi di Irak dan Suriah malah berbalik arah dan terjadi di negara ini, tentunya kewenangan tidak hanya milik kepolisian saja, melainkan milik semua aparat negara, yang tentunya didukung oleh kekuatan militer. Sebab keterlibatan TNI dalam menanggulangi terorisme merupakan manifestasi dari peran dan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang baik itu UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, maupun UU No. 34 tentang TNI, yang ditempuh melalui mekanisme Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).[5]

Secara jelasnya lagi dijelaskan dalam doktrin TNI, Tri Dharma Eka Karma Bab IV Hakekat Ancaman berupa ancaman nonmiliter, yaitu ancaman berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan yang berkembang, pada eskalasi tertentu dapat menggangu stabilitas nasional yang pada hakekatnya akan mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, dengan bentuk ancaman aksi teroris yang dilakukan oleh teroris internasional, teroris internasional yang bekerjasama dengan teroris dalam negeri secara mandiri yang dapat mengancam keselamatan bangsa, negara, dan masyarakat.[6]

Masalah terorisme adalah masalah yang tidak semata-mata dapat ditangani oleh hukum, namun terorisme adalah masalah sosiologis yang penanganan berikut penanggulangannya harus dilakukan secara komprehensif oleh semua komponen negara (termasuk TNI).[7]

[1] Laporan Penelitian Departemen Kriminologi Fisip UI. (2011). Peran dan Sinergitas Instansi Pemerintah dan Khususnya TNI Dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. hlm. 60

[2] Laporan Penelitian Departemen Kriminologi Fisip UI. (2011). Peran dan Sinergitas Instansi Pemerintah dan Khususnya TNI Dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. hlm. 61

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Marten Luther Djari. (2013). Terorisme dan TNI. Jakarta: CMB Press. hlm. 150

[6] Marten Luther Djari. (2013). hlm. 151

[7] Laporan Penelitian Departemen Kriminologi Fisip UI. (2011). Peran dan Sinergitas Instansi Pemerintah dan Khususnya TNI Dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. hlm. 61

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent