Pelibatan Militer dalam Kontra-Terorisme di Indonesia
Terorisme merupakan penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan, yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik (Hendropriyono, 2009: 26). Ancaman aksi teroris masih merupakan isu sentral keamanan global. Kematian tokoh teroris Osama bin Laden, tidak mengurangi kemungkinan serangan teroris yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda. Walaupun kemampuan komando dan pengendalian organisasinya menurun, Al-Qaeda mempunyai kelompok-kelompok yang berafiliasi seperti di Afrika Utara, Afrika Tengah, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tengah sehingga memiliki kemampuan untuk melanjutkan aksi-aksi terorisme (Buku Putih Kementerian Pertahanan, 2014:16).
Strategi dalam penindakan terorisme di Indonesia sejak tahun 1945 hingga reformasi telah mengalami pergeseran. Pada tahun 1945-1965 pola strategi penanggulangan terorisme lebih mengedepankan pendekatan militer. Kemudian pada tahun 1966-1998 pendekatan berubah menjadi pendekatan intelijen. Dari tahun 1998-2002 ketika Indonesia mengalami reformasi, pendekatan berubah menjadi pendekatan penegakan hukum, yaitu secara simultan memperkuat kemampuan penegakan hukum dan sekaligus merumuskan strategi serta upaya sistematis untuk melakukan kontra radikalisasi dan deradikalisasi dengan melibatkan segenap sumber daya yang ada sesuai kompleksitas dari akar permasalahan.
Tabel 1. Pergeseran Serangan Terorism di Indonesia
ASPEK | SEBELUMNYA (Awal tahun 1998- 2005) | SEKARANG (Setelah Tahun 2005) |
Modus | Serangan dengan skala besar | Serangan dalam skala kecil seperti dalam bentuk Pengeboman sporadis, penyerangan senjata, perampokan, peracunan |
Pengeboman | Daya ledak tinggi | Daya ledak rendah |
Target Musuh | Musuh jarak jauh (far enemy) AS, Barat | Musuh jarak dekat (near enemy) (pemerintah, aparat keamanan) |
Aktor | Organisasi besar dengan struktur dan kepemimpinan yang jelas (JI) | Organisasi Sempalan dan penyerangan tunggal (lone wolf) |
Sejak era reformasi Indonesia tercatat telah mengalami lebih dari tujuh puluh kali serangan terorisme. Kebanyakan dari serangan tersebut dilakukan dengan menggunakan ledakan bom, mulai dari bom mobil, bom bunuh diri hingga bom buku. Serangan-serangan tersebut lebih banyak diarahkan kepada masyarakat luas dan dilakukan di tempat-tempat terbuka.
Motivasi dan pola aksi terorisme di Indonesia sangat beragam, begitu juga dengan cara dan tujuan yang digunakan oleh kelompok-kelompok tersebut untuk mencapai tujuan mereka. Meski demikian, pada dasarnya aksi teror yang dilakukan terhadap pemerintah NKRI biasanya memiliki tujuan antara lain, yaitu merongrong pemerintahan yang sah, menuntut pemisahan diri dari NKRI, serta menuntut penggantian idelologi negara, yakni Pancasila dengan ideologi lainnya seperti sosialis/komunis dan atau menegakkan syariah islam.
Terkait pola aksi terorisme di Indonesia Densus 88 Anti-Teror Polri menyebutkan setidaknya ada beberapa cara yang dilakukan, yakni dengan menggunakan bom (bom bunuh diri, bom ransel, bom mobil, bom dilempar, dan bom yang menggunakan pemicu dari jarak jauh); dengan menggunakan senjata api yang dilakukan dengan langsung melakukan penembakan kepada objek atau sasaran; dengan menggunakan racun, seperti yang dilakukan pelaku di kantin-kantin kantor kepolisian; dan dengan menggunakan senjata tajam langsung kepada objek atau sasaran.
Ancaman terorisme di Indonesia sebenarnya sudah menurun pasca dihancurkannya sel-sel JI oleh operasi yang secara masif dilakukan oleh Indonesia Malaysia dan Singapura. Hampir semua Tokoh-tokoh JI ditangkap dan diadili. Sebagian dipenjara, sebagian lagi terbunuh dalam operasi, serta sebagian kecil tertembak mati.
Tabel 2. Proses Hukum Tahun 2000-2013 (Sumber: Densus 88)
Proses Hukum Terhadap Pelaku Terorisme di Indonesia (Periode 2000-2013) | |
Penangkapan | 843 orang |
Tersangka Mati di TKP | 83 orang |
Pelaku Bom Bunuh Diri | 11 orang |
Eksekusi Hukuman Mati | 3 orang |
Residivisme | 25 orang |
Dikembalikan Kepada Keluarga | 65 orang |
Proses Penyidikan | 43 orang |
Proses Persidangan | 26 orang |
Vonis Pengadilan | 612 orang |
Penurunan ancaman tersebut berhasil diupayakan karena adanya proses hukum yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia seperti yang tertera di Tabel 2. Akan tetapi meskipun aparat keamanan dan penegak hukum telah berhasil melumpuhkan para teroris dan kelompok mereka yang ada di Indonesia, namun tampaknya gagasan untuk mendirikan Negara Islam dengan menggunakan cara-cara yang radikal masih tetap hidup. Bahkan belakangan, tampaknya anggota faksi-faksi DI kembali menunjukkan eksistensinya dan bergabung dengan mantan anggota JI untuk bersama-sama melakukan aksi teror. Hal ini dimungkinkan dengan belum tertangkapnya Santoso, Abu Autad Rawa, anggota kelompok Abu Umar dan Abu Roban serta kelompok-kelompok sel jihad lainnya. Ini berarti juga tugas masih panjang bagi pemerintah Indonesia.
Selain itu diketahui juga bahwa pelatihan para militer yang dilaksanakan di dalam negeri telah meningkat sejak tahun 2005 hingga sekarang. Pelatihan ini didasarkan pada konsep iqdad, yaitu persiapan untuk berjihad perang. Kalau dulu ada pelatihan militer di luar negeri seperti di Pakistan, Afganistan dan Filipina Selatan, maka sekarang kelompok teror terus berupaya mengadakan pelatihan lokal di tanah air. Pelatihan paramiliter dapat berupa pelatihan fisik, penggunaan senjata api maupun pelatihan pembuatan bom rakitan.Pelatihan paramiliter ini sangat sulit dideteksi karena dilakukan secara tersembunyi di tengah hutan belantara yang sulit dijangkau.
Berdasarkan informasi dari Densus 88 lokasi pelatihan paramiliter jaringan terorisme yang ada di Indonesia, sebagai contoh yang di Jawa Barat saja ada empat lokasi yang mejadi tempat pelatihan paramiliter para teroris. Yang pertama ialah di daerah Cimelati, Saketi, Pandeglang, Banten, yaitu pada tahun 2001 hingga 2002; kedua di daerah Gunung Lawu Tawangmangu, Karang Anyar pada tahun 2006, 2008, dan 2011; ketiga di daerah Ciwidey, Tasikmalaya pada tahun 2008 hingga 2011; dan keempat di daerah Cibiru dan pegunungan Curug Sabuk, Sumedang pada tahun 2010. Yang lainnya tersebar di daerah seperti Indonesia bagian timur, yakni di Maluku, lokasi pelatihan ada di Seram Barat, Seram Timur, pulau Buru, dan Ambon yang aktif pada tahun 2000-2004; di Nusa Tenggara Barat juga mulai aktif sejak 2011, yakni di desa Kandai Dompu, ponpes UBK dan Bukit Sanolo Bima; juga tersebar di Sulawesi, yakni di Gunung Sanca, Pulau Tuturuga, Gunung Welerang, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan bagian barat pada periode 2008-2011; Gunung Biru, Mauro, Tokorondo, Gunung Panapu, Tambaran, dan Gunung Malino, Morowali sejak 2011; di Tamanjeka Poso pesisir, Sulawesi Tengah sejak 2012; dan di Sumatera Utara, yakni di daerah Sibolangit, Tebing Tinggi, Sumatera Utara dan pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar, Aceh sejak 2010.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa pada tahun 1945-1965 pola strategi penanggulangan terorisme lebih mengedepankan pendekatan militer, maka berbeda sejak bergulirnya reformasi pada 1998, Polri merupakan pihak yang paling “dimajukan” dalam rangka penanganan teror di Indonesia (Meliala, 2009:1). Namun jika kita melihat bagaimana pola dan cara yang dilakukan oleh teroris yang telah menggunakan bom dan dengan menggunakan senjata api, dan mulai menyerang aparat, serta adanya pelatihan paramiliter, maka para kelompok teror ini sudah dapat diklasifikasikan atau dilihat sebagai kelompok yang melakukan armed attack, yang mana jika mereka sudah diklasifikasikan demikian, maka mereka akan atau harus ditindak oleh militer, lewat tindakan guard dan strike. Karena dalam melakukan kontra-teror harus ada kesetaraan, yang mana harus ada penyesuaian antara apa yang dimiliki musuh, dan apa yang dimiliki pihak yang melakukan kontra-teror. Ketika musuh telah menjadi combatant maka yang harus menghadapinya ialah militer. Cara-cara dan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok teroris di Indonesia seperti yang dijelaskan sebelumnya membuat penindakan terorisme harus melibatkan kekuatan militer.
Militer di Indonesia ingin sekali untuk ikut serta dalam kontra-teroris, terutama jika ada ancaman terorisme dalam bentuk seperti hijacking, penyanderaan, ancaman bom, dan gerakan separatis, menambah semangat bagi militer untuk terlibat dalam kontra-teror. Hal ini dikarenakan selama ini bisa dikatakan bahwa pasukan elite yang berkemampuan khusus yang dimiliki oleh TNI, seperti Gultor 81, Den Bravo, dan Den Jaka hari-hari mereka hanya berlatih tanpa ada kejelasan sama sekali perihal kegunaan dari latihan tersebut, karena harus bersabar menunggu kapan kepolisian tidak mampu lagi menangani dan mendapat perintah dari presiden (Meliala, 2009:3).
Yang menjadi masalah baru saat ini adalah sembari mereka tetap menunggu panggilan lewat perintah presiden, dan kapan Polri tidak mampu lagi, Polri malah semakin memperbesar dan memperkuat diri, yakni dengan memperkuat intelijen mereka (baintelkam), memperkuat Densus 88, dan juga memperkuat Brimob. Tentunya dengan semakin menguatnya Polri, bisa dikatakan bahwa pelibatan militer dalam kontra-teroris semakin merosot dan bahkan parahnya lagi tidak diperlukan lagi.
Pada akhirnya muncul pertanyaan bahwa efektifkah jika kegiatan kontra-teror hanya dilakukan oleh Polri sebagai penegak hukum, dan efektifkah pembentukan pasukan elite di dalam TNI beserta setiap pelatihan yang mereka lakukan dan menjadikan mereka satuan berkemampuan khusus untuk menghadapi berbagai situasi teror? Pelibatan militer dalam kontra-teror harus didukung oleh kerangka hukum maupun politik. Secara hukum pelibatan militer sudah memiliki landasan hukumnya, yakni keterlibatan TNI dalam menanggulangi terorisme merupakan manifestasi dari peran dan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang baik itu UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, maupun UU No. 34 tentang TNI, yang ditempuh melalui mekanisme Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) (Djari, 2013:150). UU No 3 Tahun 2002 ini bisa menjadi landasan TNI dalam menangani teroris mengingat teroris termasuk ancaman nasional berdasarkan UU No 15 Tahun 2003 poin (b), yaitu terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
Secara logika hukum maka tidak ada hal yang dilanggar jika TNI terlibat dalam penanganan terorisme di Indonesia. Tetapi menangani terorisme dengan pendekatan operasi militer akan membawa masalah terorisme ke dalam suasana tempur/perang. Teroris akan ditumpas hingga kalah, doktrin TNI memang demikian. Hal tersebut juga pasti bukan persoalan bagi TNI yang mempunyai kemampuan penanggulangan teror (Riyanta, 2015).
Namun pada dasarnya pelibatan milter dalam kontra-teror di Indonesia harus berdasarkan pada pertama, jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; dan kedua jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang (Haryomataram, 1994:2-3).
Sejauh ini konsep yang masih dipertahankan untuk dapat melibatkan TNI jika ada panggilan untuk perbantuan TNI dan adanya perintah dari presiden. Namun karena saat ini terorisme telah menjadikan dirinya setara dengan militer, karena kekuatan dan cara mereka bertindak, maka sepatutnya kewenangan untuk melakukan kontra-teror harus lebih diperjelas dan diperkuat terutama dalam kerangka hukum dan politiknya. Karena selama ini kemampuan militer dengan pasukan elitenya menjadi kurang efektif karena tidak mendapat kesempatan yang banyak, dan kepolisian juga semakin menguatkan dan memperbesar kapasitas diri mereka, sehingga ini menjadi perhatian bukan hanya soal peraturan presiden, tapi harus ada produk berupa undang-undang dari DPR untuk lebih mempertegas soal pembagian posisi. Jikalau ancaman terorisme dilihat sebagai criminal act maka kepolisian yang bertindak, dan jika ancaman terorisme dilihat sebagai armed attack, maka mereka akan atau harus ditindak oleh militer, lewat tindakan guard dan strike.
DAFTAR PUSTAKA
Djari, Marten Luther. (2013). Terorisme dan TNI. Jakarta: CMB Press
Haryomataram (1994). Hukum Humaniter. Jakarta: Radjawali
Hendropriyono, A.M. (2009). Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Kementerian Pertahanan (2014). Buku Putih Kementerian Pertahanan
Meliala, Adrianus. (2009). Rapuh, Platform Kontra-Teror di Indonesia
Riyanta, Stanislaus. (2015). Penegakan Hukum vs Operasi Militer Dalam Penanganan Terorisme dalam http://jurnalintelijen.net/2015/11/03/penegakan-hukum-vs-operasi-militer-dalam-penanganan-terorisme/ diakses pada 12 November 2015)