Model Reformasi Intelijen dan Penguatan Intelijen Indonesia
Konsep intelijen dalam memori kolektif rakyat Indonesia cenderung bermakna negatif karena dikaitkan dengan pekerjaan dinas rahasia pemerintah yang menangkap, menyiksa, dan bahkan melenyapkan lawan-lawan politik pemrintah yang tengah berkuasa. Praktek-praktek ini sering terjadi di masa lalu, bahkan masih ada di era reformasi saat kematian aktivis HAM Munir dikaitkan dengan aparat intelijen BIN. Oleh karena itu banyak pihak yang menuntut adanya reformasi intelijen, agar intelijen bisa bekerja dibawah nilai-nilai demokrasi. Akhirnya atas tuntutan ini dihasilkan produk Undang-undang No 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.
Tetapi makna intelijen yang sebenarnya tidak selalu harus negatif, sepanjang kegiatan intelijen diartikan sebagai kegiatan pengumpulan informasi yang digunakan untuk memberikan peringatan dini guna mencegah ancaman terhadap keamanan nasional, maka pada dasarnya kegiatan intelijen adalah suatu kebutuhan bagi setiap warga negara. Terlepas dari adanya Undang-undang tersebut Inteljen Negara perlu penguatan baik manusia maupun organisasinya. Sebab penguatan ini penting untuk kelangsungan negara ke depannya dalam menjaga kedaulatan NKRI.
Dinamika Pendadakan Strategis Indonesia
Dalam sejarah perkembangan bangsa, Indonesia mengalami beberapa kali pendadakan strategis yang dampaknya cukup fatal. Beberapa pendadakan strategis tersebut antara lain:
- Terorisme
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan akan ancaman terorisme, dan yang menjadi sasaran lokasi bukan saja Indonesia, tetapi juga negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, Malaysia dan Singapura. Tapi akhirnya teroris memutuskan untuk melakukan aksinya di Indonesia karena faktor-faktor sebagai berikut ini, Pertama, Indonesia masih memiliki banyak sasaran yang bisa menjadi simbol dari eksistensi asing/barat. Kedua, aparat keamanan dan intelijen indonesia masih dalam proses reorientasi dan proses reformasi. Aparat keamanan memerlukan waktu cukup lama untuk melakukan proses investigasi dalam sebuah peristiwa teror. Seperti kasus peledakan bom Kedutaan Besar Filipina pada tahun 2001, ternyata aksi pemboman tersebut memiliki keterkaitan dengan peristiwa Bom Bali. Ketiga, keadaan politik yang kurang stabil juga memberikan dukungan ekstra bagi pelaku teror, kelompok teror dapat memiliki ruang gerak yang memadai. Belum tercapainya stabilisasi politik memberikan kesempatan kepada elit politik untuk tidak menganggap masalah terorisme sebagai ancaman serius. Keempat adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia, bahkan cenderung tidak adil.[1]
Sejak era reformasi, Indonesia tercatat telah mengalami lebih dari 70 kali serangan terorisme. Dan Indonesia telah melakukan penangkapan dan penindakan secara hukum terhadap lebih dari 950 pelaku teror. Sebelumnya pada awal tahun 1998- 2005 aksi terorisme di Indonesia mempunyai modus serangan dengan skala besar seperti perampokan,peracunan, pengeboman daya ledak tinggi, dan mereka mempunyai target musuh, yaitu musuh jarak jauh (far enemy) seperti AS dan Barat, sedangkan musuh jarak dekat (near enemy) adalah pemerintah dan aparat keamanan. Namun saat ini (pasca tahun 2005), modus serangan berubah dalam skala kecil seperti dalam bentuk pengeboman sporadis, penyerangan bersenjata, pengeboman berdaya ledak rendah, dan yang menjadi target musuh ialah musuh jarak dekat (near enemy) yakni pemerintah dan aparat keamanan.[2]
- Gerakan separatis
Patut disadari bahwa, gerakan-gerakan separatisme yang ada saat ini masih berakar pada motif-motif ekonomi yang awalnya berupa gagasan ketidakpuasan atas perekonomian daerah tertentu atas kebijakan pemerintah pusat. Hal ini, menjadi sorotan negara-negara tertentu yang kemudian dengan sengaja masih menyokong gerakan-gerakan separatisme, yang masih ada di Indonesia, baik dengan melalui penggalangan terhadap tokoh dan masyarakat lokal oleh lembaga swadaya masyarakat dari negara asing, atau mengakomodir upaya diplomatis aspiratif separatisme, terhadap negara kesatuan Republik Indonesia, di kancah internasional.
Gerakan separatis terbesar yang pernah dihadapi pemerintah Indonesia adalah GAM di Aceh dan OPM di Papua. Walaupun RI-GAM telah berdamai lewat Perjanjian Helsinki, namun potensi separatisme di Aceh masih mungkin kembali, apalagi baru-baru ini muncul persoalan soal lambang dan bendara daerah Aceh, yang memakai atau mengadopsi lambang GAM.
Sedangkan Organisasi Papua Merdeka hingga kini masih gencar melakukan perlawanan terhadap Indonesia. Bahkan walaupun 1 Desember 2014 kemarin tidak terlalu terlihat perayaan ulang tahun OPM, namun di berbagai kalangan, bahkan mahasiswa asli daerah tersebut yang menunjukan solidaritas mereka terhadap OPM lewat media sosial. Mereka merasa bahwa Indonesia adalah penjajah, maka dari itu otonomi khusus yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini bukanlah solusi atas konflik antara OPM dan pemerintah pusat.
- Konflik komunaldalam masyarakat dilatarbelakangi isu SARA
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Sumber konflik tersebut bisa berasal dari perbedaan nilai-nilai dan ideologi, maupun intervensi kepentingan luar negeri yang bahkan dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.[3]
Konflik kekerasan komunal merupakan konflik yang terjadi antara dua kelompok atau satu kelompok masyarakat diserang oleh kelompok lain, pengelompokan komunal bisa berdasarkan etnis, agama, kelas sosial, afiliasi politik atau hanya sekedar perbedaan kampung. Dalam kasus konflik komunal berbasis etnis seperti yang terjadi di Sambas, Sanggoledo, dan Sampit antara etnis Dayak dengan Madura.[4]
Konfik yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pada 1998-2001 juga merupakan salah satu contoh. Konflik di Poso melibatkan konflik antara agama Islam dan Kristen yang berakibat pada kerusuhan massal yang memakan banyak korban meninggal, korban luka, dan tempat peribadatan dan rumah yang dibakar oleh oknum tidak bertanggung jawab. Konflik yang terjadi di Poso adalah karena konflik antar elit politik yang mana para elit politik daerah memanfaatkan agama sebagai tameng dan kendaraan politik yang bertujuan mengamankan dan mencapai kepentingan politik dan ekonomi di wilayah Poso dengan cara memobilisasi mssa melalui hasutan isu agama dan etnis.[5]
Dari ketiga contoh pendadakan strategis yang terjadi di Indonesia tersebut tentunya ada pengaruh dari pihak asing baik secara tangible maupun intangible. Separatisme terutama di wilayah Papua dapat dipastikan melibatkan pengaruh asing dengan bukti Aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengenakan kostum tradisional dan membentangkan poster saat menggelar aksi menuntut pembebasan 2 jurnalis Prancis di Timika, Papua. Puluhan aktivis KNPB meminta pemerintah membebaskan Thomas Charles Dandois (40) dan Louise Marie Valentine Bourrat (29) yang ditangkap anggota Polda Papua di Wamena 7 Agustus lalu saat meliput aksi pemberontakan.[6] OPM juga telah meresmikan kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris.[7] Pengaruh asing juga terlihat dari aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, yang mana ada kepentingan asing untuk memporak-porandakan Indonesia denga aksi terorisme agar terganggunya stabilitas dalam negeri.
Indonesia harus mampu memperkuat intelijen negara guna mewaspadai dan mengantisipasi terjadinya pendadakan strategis. Intilijen harus mampu menjalankan fungsinya yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Kekuatan kontra intelijen juga sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga kedaulatan dan mewaspai infiltrasi pihak luar yang sewaktu-waktu dapat menyerang.
Model Reformasi Intelijen Indonesia
Reformasi intelijen merupakan suatu hal sangat penting untuk dilakukan. Reformasi intelijen di Indonesia harus disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, dimana pada undang-undang tersebut di dalamnya telah mengatur tentang:
- Aspek paradigma intelijen
- Aspek fungsi dan kewenanganlembaga intelijen
- Aspek kerahasiaanintelijen
- Aspek pidana dan perlindunganpersonel intelijen
Reformasi yang dapat dilakukan dalam intelijen negara Indonesia adalah sebagai berikut.
Paradigma Intelijen
Pada masa Orde Baru persoalan intelijen terletak pada terciptanya sebuah konsepsi “negara intelijen”. Konsep “negara intelijen” yang diperkenalkan Richard Tanter pada tahun 1991 untuk menjelaskan jejaring lembaga intelijen dan bagian-bagian khusus dari militer yang secara keseluruhan menjaga kelestarian rezim Orde Baru. Dalam fase negara intelijen, terjadi perpaduan antara lembaga intelijen yang termiliterisasi dan keikutsertaan lembaga-lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan, sipil maupun militer, dalam mengabdikan diri kepada negara sebaga instrumen pengawasan yang komprehensif terhadap masyarakat, dengan tujuan pelanggengan rezim.[8]
Di negara-negara demokratis, alasan utama penempatan pengaturan fungsi-fungsi intelijen di bawah legislasi setingkat undang-undang tersendiri adalah untuk memberikan parameter yang jelas pada mandat, tugas dan wewenang serta kerangka kerja yang legal dan akuntabel. Mengingat ciri utama negara demokrasi adalah ketundukan pada hukum, maka satu-satunya cara memperoleh legitimasi publik adalah dengan mendasarkan seluruh sistem operasi intelijen pada kerangka hukum tertentu dan dapat diawasi oleh wakil rakyat di parlemen.[9] Hal utama yang perlu diperhatikan dalam reformasi intelijen adalah mengubah paradigma intelijen dari alat penguasa dengan kewenangan dan kekuasaan yang tak terbatas menjadi intelijen sebagai organisasi atau producer yang dengan kecerdasannya mampu memberikan informasi yang cepat, tepat, dan akurat terkait potensi ancaman negara kapada costumer.
Fungsi dan kewenangan lembaga intelijen
Yang perlu menjadi perhatian dalam reformasi ini, meskipun intelijen bekerja di bawah pemerintahan yang demokratis, bukan berarti bahwa intelijen harus sepenuhnya di gerakkan oleh nilai-nilai demokratis. Intelijen bekerja dengan fungsi yang efektif dari lembaga intelijen yang berwujud kemampuan lembaga intelijen mencegah terjadinya kondisi-kondisi yang menghalangi tercapainya kepentingan nasional Indonesia, atau disebut juga dengan pendadakan strategis, melalui penyiagaan dini (early warning) terhadap pemerintah. Dalam hal ini porsi terbesar dari aktivitas lembaga intelijen adalah pengumpulan dan analisis informasi. Namun penindakan terhadap potensi pendadakan strategis dilakukan secara preventif juga oleh lembaga intelijen, yaitu mencegah pencurian informasi oleh pihak musuh, disebut juga dengan kontra-intelijen, dan penebaran dis-informasi yang mengakibatkan pembusukan organisasi musuh, disebut juga dengan kontra-intelijen. Variasi dari kedua bentuk penindakan ini dapat terjadi antar negara. Namun pada hakikatnya informasi, bukan kekerasan fisik, yang menjadi subjek sentral dari aktivitas penindakan.[10]
Permasalahan intelijen di negara Pancasila sekarang adalah ketidakmengertian kelompok kecil masyarakat sipil bahwa perlindungan terhadap individu oleh intelijen seharusnya mereka artikan sebagai perlindungan terhadap individu oleh intelijen seharusnya mereka artikan sebagai perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Hal ini bukan berarti lalu intelijen menafikan hak-hak individu, karena manusia Indonesia harus bebas dalam memilih agama, keyakinan, dan jalan hidup yang ingin ditempuh. Mereka harus bebas dari rasa takut, bebas untuk berserikat, bebas umtuk menyatakan pendapat, namun tidak bebas untuk berbuat semau-maunya.[11]
Permasalahan yang harus diatasi oleh para legislator adalah mencari jalan, agar dapat menyusun Undang-undang Intelijen yang berada di luar sistem Peradilan Kriminal. Hal tersebut disebabkan oleh pengertian bahwa intelijen bukan aparat penegak hukum, sehingga jika undang-undang intelijen selalu dikaitkan dengan penegakan hukum, maka kebijakan intelijen tidak mungkin dapat dijabarkan dengan benar pada tataran operasional.[12]
Intelijen tidak dapat menunggu suatu perbuatan digolongkan sebagai kejahatan setelah menimbulkan akibat. Intelijen justru harus memberikan peringatan bahwa akan terjadinya sesuatu, yang mengakibatkan kerugian bagi negara. Oleh karena itu, penebaran kebencian saja sudah cukup bagi intelijen untuk bertindak. Artinya praktik intelijen tidak seperti lembaga pro-justisia yang mengumpulkan bukti selengkap-lengkapnya untuk menggolongkan sebuah tindakan sebagai perbuatan melawan hukum.[13]
Praktik intelijen mesti berlomba dengan waktu untuk memperoleh informasi yang dirasa cukup untuk mencegah terjadinya ancaman. Variabel kesahihan informasi intelijen tidak hanya keakuratan, melainkan juga kecepatan. Artinya penarikan kesimpulan tidak perlu mengandalkan bukti-bukti yang lengkap, melainkan informasi yang paling sedikit mengandung asumsi. Namun langkah intelijen untuk melindungi atau menyelamatkan masyarakat, kerap kali tidak mendapat apresiasi yang layak. Bahkan masyarakat seakan tengah dijangkiti oleh sindrom ketakutan terhadap intelijen. Bahkan sebagian besar wakil rakyat juga demikian.[14]
Ketidakpahaman tentang fungsi intelijen terlihat dari pendapat mereka yang menginginkan agar orang yang diinterogasi oleh BIN harus didampingi oleh pengacara, sebagaimana selayaknya orang yang sedang diinterogasi oleh aparat penegak hukum. Mereka tidak mengerti bahwa intelijen (BIN, BIK, BAIS atau instansi intelijen mana saja) tidak boleh menginterogasi orang sebagaimana hal yang dilakukan oleh reserse polisi atau PNS penyidik. Intelijen hanya berfungsi melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana sebuah sasaran dapat digunakan untuk keperluan operasi intelijen. Pemeriksaan mereka tidak untuk membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pro-justisia atau demi kepentingan hukum.[15]
Intelijen negara bukanlah aparat penegak hukum, tetapi alat negara untuk melindungi masyarakat bangsa Indonesia. Banyak yang seolah lupa dengan hal ini, sehingga selalu saja operasi intelijen (Opsintel) dikaitkan dengan penegakan hukum (Opsgakum). Intelijen negara selalu berhadapan dengan situasi kedaruratan (ancaman teror), yang harus diatasi secara akurat, namun juga cepat Kedaruratan ukan situasi khusus yang memaksa hukum harus membuat pengecualian. Kedaruratan adalah sumber hukum itu sendiri.[16]
Ketika situasi darurat menjadi permanen maka perlu disusun hukum yang memberikan kewenangan ekstra bagi intelijen, untuk mampu menunaikan tugasnya dengan baik. Bukan berarti praktik intelijen dapat dilaksanakan secara semena-mena. Basis etis praktik intelijen sangat jelas dan gamblang dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Di balik frase segenap bangsa Indonesia tersirat etika utilitarianisme yang menilai baik-buruk tindakan berdasarkan manfaat pada sebanyak mungkin orang. Praktik penahanan, penyadapan, bahkan penghilangan nyawa musuh tidak bernilai pada dirinya, melainkan bernilai sejauh untuk mampu melindungi nyawa warga sipil dari ancaman serangan bom bunuh diri. Ditembaknya seorang pelaku bom bunuh diri yang berlari menuju keramaian dibenarkan dengan alasan yang sama.[17]
Maka dari itu kewenangan Intelijen Negara harus dibatasai pada memberikan informasi sebagai deteksi dini. Intelijen Negara tidak mempunyai kewenangan hukum. Jika intelijen mempunyai informasi tentang suatu ancaman terhadap negara maka Intelijen Negara wajib untuk berkoordinasi kepada aparat keamanan untuk melakukan tindakan hukum.
Titik utama yang perlu dilakukan reformasi dalam fungsi intelijen adalah fungsi pengamanan dalam hal ini perlu dilakukan pembentukan organisasi kontra intelijen. Dalam kegiatan kontra intelijen media massa merupakan fenomena sosial yang sekaligus juga politik, media massa merupaka critical point yang memberikan keuntungan yang menentukan bagi mereka yang menguasainya. Bahkan media massa mampu untuk mempengaruhi dengan signifikan proses peradilan yang sedang berlangsung, sehingga berakibat kekuasaan kehakiman menjadi tidak independen. Media massa sangat efektif sebagai alat pembenaran. Media massa sangat efektif menggiring opini publik, untuk menghakimi sesuatu yang belum pasti terjadi. Medan perang intelijen ke depan adalah informasi dan pembentukan opini. Penggalangan media dan opini yang intens tanpa mengabaikan kebebasan pers, harus dilakukan secara terpola dan komprehensif. Dalam hal ini kuncinya bukan hanya bereaksi dan melakukan counter atas informasi yang keliru, tetapi harus mengambil inisiatif untuk membangun opini umum yang menguntungkan pihak sendiri.[18]
Kerahasiaan intelijen
Kerahasiaan adalah kunci dari definisi intelijen, sebab tanpa kerahasiaan, sebuah produk informasi atau aktivitas yang menghasilkannya bukanlah intelijen. Namun definisi ini berulang-ulang menggunakan kata “foreign policy” yang sesungguhnya merefleksikan pemahaman aktivitas intelijen sebagau fungsi strategis suatu negara. Intelijen dipandang sebagai serangkaian aktivitas, baik analisis, koleksi, maupun aksi rahasia, yang dilakukan untuk mendukung kebijakan luar negeri suatu bangsa yang akan ternegasikan apabila kerahasiaan hal ini tidak dapat dipenuhi dan mengakibatkan perilaku negara lain yang menjadi target menjadi tidak terpengaruh.[19]
Dalam UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki Masa Retensi. Masa Retensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Rahasia Intelijen dapat dibuka sebelum Masa Retensinya berakhir untuk kepentingan pengadilan dan bersifat tertutup. Dan setiap Orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan Rahasia Intelijen.
Reformasi intelijen terkait dengan kerahasiaan intelijen harus dapat memperkuat tingkat kerahasiaan rahasia intelijen agar tidak bisa diakses oleh sembarang orang atau pun user lain selain user yang memeberikan planning dan direction. Hal ini perlu dilakukan agar intelijen tidak disalahgunakan demi kepentingan politik. Namun user, terlebih end user yang merupakan customer harus mampu atau bahkan harus disumpah agar tidak menggunakan intelijen demi kepentingan politis pribadi atau kelompoknya. Rahasia intelijen seperti baru-baru ini didorong oleh kepentingan politik akhirnya dibongkar dan dijadikan senjata untuk menyerang satu pihak yang menjadi lawan politknya. Kerahasiaan intelijen sepenuhnya harus dipatuhi dengan masa retensi 25 tahun tanpa terkecuali.
Aspek pidana dan perlindungan personel intelijen
Dalam UU No 17 Tahun 2011 pada bagian kesembilan soal ketentuan pidana, hanya mengatur soal tindak pidana terhadap setiap orang yang dengan sengaja mencuri, membuka, dan/atau membocorkan Rahasia Intelijen, setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya Rahasia Intelijen, setiap personel intelijen negara yang membocorkan upaya, pekerjaan, kegiatan, sasaran, informasi, fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan, dan/atau personel Intelijen Negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi dan aktivitas Intelijen Negara, serta setiap personel Intelijen Negara yang melakukan penyadapan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan.
Dalam UU ini tidak diatur soal perlindungan terhadap personel intelijen negara, bilamana jika instruksi oleh user untuk melakukan operasi dan ternyata kegiatan/operasi tersebut terbukti melanggar hukum. Dalam kasus ini seharusnya ada hukum yang mengatur perlindungan terhadap personel intelijen negara yang melakukan tindakan melanggar hukum, karena kesalahan dari sang user dalam memberikan perintah. Jika terjadi kesalahan perintah oleh user maka yang seharusnya bertanggung jawab untuk ditindak secara hukum adalah pemberi perintah operasi.
Dalam beberapa kasus, misalnya kasus Munir, pelaku-pelaku giat/operasi yang diadili atas pembunuhan Munir. Jika memang untuk menangani Munir tidak perlu dilakukan pendekatan keras, cukup dengan penggalangan cerdas, maka yang harusnya atau setidaknya ikut diadili adalah pemberi perintah dalam operasi tersebut. Kebutuhan atau kepentingan politik akhirnya harus memaksa para pelaku intelijen yang menghadapi hukum bahkan menjalani pidana. Ketentuan hukum ditegakkan namun tidak pernah menyentuh level user.
Berdasarkan pasal 24 UU No 17 Tahun 2011 maka negara wajib memberikan perlindungan terhadap setiap personel Intelijen Negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi Intelijen, yang meliputi perlindungan pribadi dan perlindungan terhadap keluarganya. Oleh karena itu dalam Reformasi Intelijen sebaiknya dilakukan juga pada perlindungan personel Intelijen Negara, dalam bentuk UU terhadap personel intelijen, tidak hanya ketentuan pidana terhadap personel intelijen.
Penguatan Intelijen
Untuk mencegah terulangnya pendadakan strategis perlu dilakukan penguatan terhadap intelijen di Indonesia. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam rangka penguatan intelijen negara. Langkah pertama adalah dengan memperbaiki intelligence cycle, sebagaimana diketahui faktor kegagalan intelijen terjadi apabila salah satu dari tahapan intelligence cycle mengalami kesalahan atau kegagalan maka dipastikan intelijen akan gagal oleh karena itu siklus intelijen harus berjalan sempurna.
Di dalam siklus intelijen kerap terjadi kegagalan yang mengakibatkan pendadakan strategis. Kegagalan dapat terjadi dalam setiap tahap siklus ini. Kegagalan intelijen dalam kasus bom Bali I pada 12 Oktober 2012 lebih disebabkan oleh kegagalan costumer pada saat itu melakukan pengawasan terhadap kelompok teroris dan juga tidak adanya kepercayaan dari costumer kepada produser. Sebenarnya produser telah mendapatkan informasi pada tahun 1998, mereka sudah punya dokumen soal JI dan sudah disampaikan kepada AS, tapi malah dianggap remeh informasi tersebut. Dan pada tahun 2000 telah ada dokumen dari Abu Jihad yang punya hubungan dengan Bin Laden, informasi tersebut telah dibagikan namun tidak ditindaklanjuti. Juga yang menjadi perhatian ialah tidak adanya koordinasi antar badan intelijen negara pada saat itu yang akhirnya menjadi malapetaka bagi kemanan nasional Indonesia. Pemerintah juga saat itu melakukan kesalahan fatal dengan memberikan amnesti kepada Ba’asyir dan juga pernyataan wapres yang seakan menjadi perlindungan bagi tumbuh kembang organisasi terorisme di Indonesia saat itu.
Langkah kedua yang dapat ditempuh dalam penguatan intelijen negara adalah dengan memperkuat dan memperat koordinasi intelijen negara, terutama lewat Kominda. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Kominda merupakan forum komunikasi dan koordinasi unsur intelijen dengan unsur pimpinan daerah di Propinsi dan Kabupaten/Kota. Kominda merupakan forum komunikasi dan koordinasi di antara unsur intelijen, seperti BIN, TNI, Polri, Kejaksaan dan intelijen sektoral lainnya. Kominda terbentuk sejak 2006 dan merupakan forum komunikasi antarinstitusi yang bersifat lintas sektoral.[20]
Kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Kominda merupakan faktor sangat penting dalam menghimpun informasi. Hal tersebut dilakukan untuk mendeteksi secara dini segala bentuk kerawanan di daerah, termasuk terorisme. Koordinasi yang dilakukan oleh Kominda berfungsi untuk memelihara hubungan baik dalam berbagai kegiatan. Kegiatan yang dijalankan Kominda dalam mengatasi ATHG direncanakan dalam rapat koordniasi yang dilakukan setiap satu bulan sekali yang membahas isu-isu strategis, termasuk permasalahan terorisme.[21]
Mengambil contoh masalah terorisme, untuk menghadapi ancaman terorisme kontemporer sinergi antar komunitas intelijen, dan intstansi/lembaga negara merupakan suatu kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi demi mencapai kepentingan bersama yaitu mempertahankan kedaulatan NKRI terutama dari aksi teroisme yang datang dari dalam maupun dari luar.
Khusus dalam penanggulangan terorisme, intelijen Polri diperkuat oleh Bais TNI. Badan nasional yang mengkoordniasi kedua instansi tersebut pada tataran kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme adalah BNPT. Pendekatan yang digunakan dalam operasi intelijen BNPT adalah pendekatan cerdas (upaya, pekerjaan, dan deradikalisasi) dan pendekatan lunak. Namun dalam keadaan khusus, kerapkali diterapkan pendekatan keras melalui Densus 88 Polri yang berada dibawah kendali operasi BNPT.[22]
Tujuan intelijen menangkap seorang anggota teroris yang belum melakukan terorisme bukan untuk dihukum, tetapi untuk membongkar jaringan teroris yang lebih luas. Kepentingan intelijen disini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi aksi terorisme, bukan menunggu sampai aksi terorisme terjadi, kemudian menghukum pelakunya. Bahkan jika aksi terorisme telah terjadi seperti Ali Imron yang dalam penjara, ia tetap dimanfaatkan untuk kepentingan intelijen.
Kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Kominda merupakan faktor yang sangat penting dalam menghimpun informasi. Ini dilakukan guna mendeteksi secara dini segala bentuk kerawanan di daerah. Koordinasi oleh Kominda berfungsi untuk memelihara hubungan baik dan juga perputaran informasi dalam rangka mencegah terjadinya aksi terorisme. Dalam kominda dilakukan rapat koordinasi yang kontinyu dan terjadwal dan direncankan dilakukan setiap satu bulan sekali, namun apabila ada hal-hal yang bersifat khusus maka rapat koordinasi dapat dilakukan setiap saat. Kita bisa mengambil contoh rapat koordinasi dalam rangka membahas Analisa Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri[23] yang melibatkan Kemenpolhukam, KLNI Imigrasi, Satgultor 81 Kopassus, Dispam AU, Sintel Mabes TNI, PFS Kemenlu, Kemenag, Dispam AL, Dispam AD, Kejagung, Mabes Polri, Densus 88, BAIS, BIN, dan BNPT sebagai pemegang fungsi koordinasi dalam masalah penanggulangan terorisme. Dalam rentang waktu satu bulan kemudian, diadakan kembali rapat koordinasi yang merupakan tindak lanjut dari koordinasi sebelumnya yang membahas Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri.[24]
Penutup
Reformasi intelijen di Indonesia harus disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, dimana pada undang-undang tersebut di dalamnya telah mengatur tentang paradigma intelijen, fungsi dan kewenangan lembaga intelijen, kerahasiaan intelijen, serta aspek pidana dan perlindungan intelijen. Reformasi intelijen harus dapat menyentuh lini yang telah disebutkan dan mampu memperkuat dan mempertegas aspek-aspek tersebut.
Permasalahan intelijen di negara Pancasila sekarang adalah ketidakmengertian kelompok kecil masyarakat sipil bahwa perlindungan terhadap individu oleh intelijen seharusnya mereka artikan sebagai perlindungan terhadap individu oleh intelijen seharusnya mereka artikan sebagai perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Praktik intelijen tidak seperti lembaga pro-justisia yang mengumpulkan bukti selengkap-lengkapnya untuk menggolongkan sebuah tindakan sebagai perbuatan melawan hukum. Penarikan kesimpulan tidak perlu mengandalkan bukti-bukti yang lengkap, melainkan informasi yang paling sedikit mengandung asumsi.
Intelijen negara bukanlah aparat penegak hukum, melainkan alat negara untuk melindungi rakyat Indonesia. Oleh sebab itu jangan mengaitkan atau menyamakan operasi intelijen (Opsintel) dengan penegakan hukum (Opsgakum). Kewenangan Intelijen Negara harus dibatasai pada memberikan informasi sebagai deteksi dini. Intelijen Negara tidak mempunyai kewenangan hukum. Jika intelijen mempunyai informasi tentang suatu ancaman terhadap negara maka Intelijen Negara wajib untuk berkoordinasi kepada aparat keamanan untuk melakukan tindakan hukum.
Dalam reformasi intelijen juga sangat perlu dilakukan pembentukan organisasi kontra intelijen. Dalam kegiatan kontra intelijen media massa merupakan fenomena sosial yang sekaligus juga politik, media massa merupaka critical point yang memberikan keuntungan yang menentukan bagi mereka yang menguasainya. Melalui media massa intelijen bukan hanya bereaksi dan melakukan counter atas informasi yang keliru, tetapi harus mengambil inisiatif untuk membangun opini umum yang menguntungkan pihak sendiri.
Reformasi intelijen terkait dengan kerahasiaan intelijen harus dapat memperkuat tingkat kerahasiaan rahasia intelijen agar tidak bisa diakses oleh sembarang orang atau pun user lain selain user yang memeberikan planning dan direction. Hal ini perlu dilakukan agar intelijen tidak disalahgunakan demi kepentingan politik. Namun user, terlebih end user yang merupakan customer harus mampu atau bahkan harus disumpah agar tidak menggunakan intelijen demi kepentingan politis pribadi atau kelompoknya. Serta Reformasi Intelijen sebaiknya dilakukan juga pada perlindungan personel Intelijen Negara, dalam bentuk UU terhadap personel intelijen, tidak hanya ketentuan pidana terhadap personel intelijen.
Untuk mencegah terulangnya pendadakan strategis perlu dilakukan penguatan terhadap intelijen di Indonesia. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam rangka penguatan intelijen negara. Langkah pertama adalah dengan memperbaiki intelligence cycle, Langkah kedua yang dapat ditempuh dalam penguatan intelijen negara adalah dengan memperkuat dan memperat koordinasi intelijen negara, terutama lewat Kominda.
[1] Andi Widjajanto (ed), 2006, Negara, Intel, dan Ketakutan, Jakarta: Pacivis, hlm. 132-134
[2] Paparan Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri oleh Direktorat Bilateral Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor pada 23 Juli 2014
[3] Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2011, hlm. 1
[4] Ibid., hlm. 35
[5] Igneus Alganis, 2014, Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001), Universitas Pendidikan Indonesia, hlm. 3-4
[6] http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/warga-papua-barat-tuntut-pembebasan-2-jurnalis-prancis.html diakses pada 8 Desember 2014
[7] http://www.merdeka.com/politik/dpr-salahkan-gerakan-separatis-inggris-soal-kantor-opm-di-oxford.html diakses pada 8 Desember 2014
[8]Yudha Kurniawan, ”Dinamika Reformasi Intelijen”, dalam Beni Sukadis, Aditya Batara, Amdy Hamdani, Panduan Media dan Reformasi Sektor Keamanan, Jakarta: Lesperssi, IDSPS & DCAF, 2010
[9] Ali Wibisono, 2009, Reformasi Intelijen dan Badan Intelijen Negara, Jakarta: IDSPS, hlm. 6
[10] Ibid., hlm. 5
[11] AM Hendropriyono, 2013, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, Jakarta: PBK, hlm. 74
[12] Ibid., hlm. 76
[13] Hendropriyono, Op.cit., hlm. 81
[14] Ibid., hlm. 81-82
[15] Hendropriyono, Op.cit., hlm. 82
[16] Hendropriyono, Op.cit., hlm. 88-89
[17] Hendropriyono, Op.cit., hlm. 89
[18] Hendropriyono, Op.cit., hlm. 70-71
[19] Ali Wibisono, 2009, Op.cit., hlm. 7
[20] Armaidy Armawi, “Kajian Penguatan Komunitas Intelijen Daerah”, Mimbar Hukum Vol 25, No 1 Februari 2013, hlm. 68-75
[21] Ibid
[22] AM Hendropriyono, 2013, Op.cit., hlm. 29-31
[23] Paparan Analisa Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri (Sebuah Analisa Kebijakan) oleh Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor 25 Juni 2014
[24] Paparan Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri oleh Direktorat Bilateral Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor pada 23 Juli 2014