Koordinasi Intelijen Negara dalam Penanggulangan Terorisme
Intelijen pada hakekatnya adalah bagian dari sistem keamanan nasional yang berperan sebagai sistem peringatan dini dan sistem strategis untuk mencegah terjadinya pendadakan strategis (strategic surprises) dan untuk melindungi keutuhan dan kelestarian negara berdasarkan prinsip negara demokratis.[1] Intelijen sebagai suatu kegiatan merupakan instrumen eksklusif negara sebagai garis depan pertahanan dan keamanan negara dari berbagai bentuk dan sifat ancaman yang berasal dari aktor individu, kelompok, ataupun negara; baik dari dalam maupun luar negeri.[2]
Intelijen merupakan salah satu instrumen penting bagi penyelenggaraan kekuasaan negara. Intelijen juga merupakan produk yang dihasilkan dari proses pengumpulan, perangkaian, evaluasi, analisis, integrasi, dan interpretasi dari seluruh informasi yang berhasil didapatkan terkait dengan isu keamanan nasional. Dengan kata lain, intelijen merupakan sari dari pengetahuan yang mencoba membuat prediksi dengan menganalis dan mensintesis aliran informasi terkini, serta menyediakan bagi para pembuat keputusan berbagai proyeksi latar belakang serta tindakan alternatif yang dapat dijadikan ukuran dari kebijakan dan tindakan yang akan dibuat. Sebagai bagian dari sistem keamanan nasional, intelijen berperan sebagai sistem peringatan dini dan sistem strategis untuk mencegah terjadinya pendadakan strategis yang mengancam keamanan negara.[3]
Intelijen Negara adalah seluruh dinas-dinas serta anggota-anggota intelijen yang terlibat dalam kegiatan dan operasi untuk menjamin keamanan nasional.[4] Menurut UU No.17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara Pasal 1 Ayat 2 jelas disebutkan bahwa Intelijen Negara adalah penyelenggara intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan Intelijen Negara.
Lebih jelasnya lagi pada Pasal 4 diterangkan soal peran, yakni Intelijen Negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional. Kemudian di Pasal 5 diterangkan soal tujuan, yaitu tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat Ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.
Dalam Pasal 1 Ayat 4 jelas digambarkan bagaimana ancaman itu dilihat oleh intelijen negara, yaitu ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
Aktor-aktor penyelenggara intelijen negara berdasarkan pada Pasal 9 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara meliputi Badan Intelijen Negara (BIN), Intelijen TNI, Intelijen Polri, Intel Kejaksaan RI, dan Intelijen Kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian.
Jika berlandaskan pada definisi ancaman menurut UU No.17 Tahun 2011, maka jelas aksi terorisme menjadi salah satu ancaman untuk ditanggulangi oleh intelijen negara, karena jelas ancaman terorisme sangat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
Terorisme merupakan tindakan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara luas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas umum, fasilitas internasional.[5] Menurut PBB terorisme adalah sebuah metode yang menimbulkan keresahan dengan menggunakan tindakan kekerasan yang berulang-ulang, dilaksanakan secara semi klandestin oleh individu, kelompok maupun Negara, dengan tujuan kriminal atau politik yang unik, dimana berlawanan dengan pembunuhan – sasaran langsung tindakan kekerasan bukanlah sasaran utama. Sedangkan Menurut FBI terorisme adalah penggunaan kekuatan dan kekerasan di luar hukum terhadap individu atau properti untuk mengintimidasi Pemerintah, masyarakat sipil, aspek lain termasuk politik dan sosial.[6]
Terorisme bukan merupakan kejahatan biasa namun merupakan kejahatan luar biasa, bahkan tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan transnasional. Terorisme memliki jaringan yang luas dan merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan yang berencana dan berkesinambungan, namun hak asasi manusia tetap dilindungi dan dijunjung tinggi.[7]
Masalah terorisme dan kejahatan transnasional merupakan masalah yang serius bagi bangsa dan negara Indonesia. Berdasar dari pengungkapan aksi teror yang terjadi selama ini, diketahui bahwa Indonesia tidak hanya menjadi terget dari aksi terorisme domestik maupun internasional, namun ternyata juga Indonesia menjadi tempat untuk merekrut para pelaku aksi terorisme.[8]
Oleh karena itu penanggulangan terorisme harus dilakukan secara terus menerus dan tentunya memerlukan kerjasama terpadu lintas instansi dan bahkan lintas negara. Sebab itu intelijen negara, seyogyanya harus menjadi lini pertama dan terakhir pertahanan negara dalam menanggulangi ancaman terorisme.
Ancaman Terorisme di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan akan ancaman terorisme, dan yang menjadi sasaran lokasi bukan saja Indonesia, tetapi juga negara tetangga Indonesia, seperti Filipina, Malaysia dan Singapura. Tapi akhirnya teroris memutuskan untuk melakukan aksinya di Indonesia karena faktor-faktor sebagai berikut ini, Pertama, Indonesia masih memiliki banyak sasaran yang bisa menjadi simbol dari eksistensi asing/barat. Kedua, aparat keamanan dan intelijen indonesia masih dalam proses reorientasi dan proses reformasi. Aparat keamanan memerlukan waktu cukup lama untuk melakukan proses investigasi dalam sebuah peristiwa teror. Seperti kasus peledakan bom Kedutaan Besar Filipina pada tahun 2001, ternyata aksi pemboman tersebut memiliki keterkaitan dengan peristiwa Bom Bali. Jika aparat keamanan dan intelijen memiliki kemampuan investigasi yang baik, rantai dari aksi teror kemungkinan sudah lebih terdeteksi.[9]
Ketiga, keadaan politik yang kurang stabil juga memberikan dukungan ekstra bagi pelaku teror, kelompok teror dapat memiliki ruang gerak yang memadai. Belum tercapainya stabilisasi politik memberikan kesempatan kepada elit politik untuk tidak menganggap masalah terorisme sebagai ancaman serius. Proses investigasi kasus teror pasca lengsernya Soeharto, pengungkapan, serta motif politik di balik teror tersebut tidak ada kelanjutannya. Mungkin yang paling kontroversial pada masa transisi adalah dari mantan Wapres Hamzah Haz yang mengatakan tidak ada jaringan terorisme di Indonesia. Di lain pihak, selalu ada keinginan dari kalangan militer yang ingin terus mempertahankan eksistensinya dalam soal pengawasan dan ketertiban masyarakat (Kambtibmas). Komando teritorial yang sebenarnya sebagai bagian dari sistem pertahanan dipaksakan untuk dimasukan dalam sistem intelijen counter terorisme. Hal ini hanya menambah keruwetan dan membuat sistem counter terorisme menjadi tidak efektif.[10]
Keempat adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia, bahkan cenderung tidak adil. Selintas sistem penegakan hukum telah memberikan ganjaran yang berat bagi pelaku terorisme, hukuman mati bagi para tersangka pelaku Bom Bali. Para penegak hukum, khususnya hakim tidak sadar bahwa pelaku tindakan teror adalah aktor yang dimotivasi oleh tujuan tertentu dan biasanya berdasarkan keyakinan politik atau religius sehingga tingkat loyalitasnya sangat tinggi, bahkan sampai mengorbankan dirinya sendiri. Jadi pemberian hukuman mati pada pelaku tindakan teror sangat kecil pengaruh hukuman yang diterapkan terhadap efek pencegahannya. Di lain pihak, sistem penegakan hukum belum berhasil diimplementasikan dalam kasus yang berkaitan dengan suatu operasi intelijen (covert operation) yang melanggar hukum, atau menghukum pengguna jasa intelijen sebagai instansi yang mengklaim otorisasi operasi intelijen ilegal. Sampai saat ini belum ada upaya serius untuk memutus rantai impunitas dalam kasus yang terkait dengan ilegal covert operation. Ketidakadaan kepastian hukum ini seperti tanpa disadari sebenarnya menjadi rintangan dalam proses melawan terorisme. Masyarakat secara umum masih trauma dengan hal yang berurusan dengan intelijen.[11]
Sejak era reformasi, Indonesia tercatat telah mengalami lebih dari 70 kali serangan terorisme. Dan Indonesia telah melakukan penangkapan dan penindakan secara hukum terhadap lebih dari 950 pelaku teror. Sebelumnya pada awal tahun 1998- 2005 aksi terorisme di Indonesia mempunyai modus serangan dengan skala besar seperti perampokan,peracunan, pengeboman daya ledak tinggi, dan mereka mempunyai target musuh, yaitu musuh jarak jauh (far enemy) seperti AS dan Barat, sedangkan musuh jarak dekat (near enemy) adalah pemerintah dan aparat keamanan. Namun saat ini (pasca tahun 2005), modus serangan berubah dalam skala kecil seperti dalam bentuk pengeboman sporadis, penyerangan bersenjata, pengeboman berdaya ledak rendah, dan yang menjadi target musuh ialah musuh jarak dekat (near enemy) yakni pemerintah dan aparat keamanan.[12]
Ancaman Terorisme Terkini di Indonesia
Ancaman aksi terorisme masih terus berlanjut di Indonesia, bahkan tidak tertutup hanya dari dalam negeri saja, ancaman juga datang dari luar negeri. Kelompok yang disebut Jamaah Islamiyah baru. Mereka adalah kelompok melakukan metamorphosis dan membentuk organisasi baru yang sedikit berbeda dengan JI lama, pasca JI lama dihancurkan. Anggota JI berjumlah 3000 orang, mereka layaknya bekerja untuk kepentingan JI dan mendapatkan gaji Rp 300 ribu – Rp 2.500,000,- (perbulan). Organisasi ini melakukan operasi rekrutmen, pendanaan ,latihan dan logistik secara mandiri. Jalur komando dari organisasi ini tidak mengikuti Hirarkhi. JI baru ini dipimpin oleh seorang alumnus Moro dengan menggunakan tokoh JI lama Abu Rusydan untuk mendapatkan legitimasi. Struktur organisasi yang menyerupai organisasi militer yang mempunyai berbagai macam divisi, yakni divisi logistik sarana dan prasarana, divisi intelijen, divisi media dan dakwah, serta divisi militer. Dalam divisi militer JI baru mempunyai Pasukan khusus (Khos) dan bagian unit pembantu teknis (UPT). Bagian UPT bertugas memproduksi peralatan militer, dan penggalangan dana yang akan digunakan untuk operasi dan bagian penelitian dan pengembangan.[13]
Selain ancaman dari perkembangan JI baru, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang terkena dampak dengan muncul Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS/ISIL). Kelompok radikal di Indonesia mulai bermunculan yang menyatakan mendukung ISIS. Namun Gerakan pro ISIS belum mempunyai figur pemimpin yang baru. Gerakan ini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pertama kelompok terbuka yang muncul di permukaan, yang merupakan gerakan yang dipimpin oleh seorang aktivis yang dulunya pernah aktif di salah satu situs radikal yang muncul dari MMI dan membentuk Forum Aktivis Syariat Islam (FAKSI). Bersama dengan tokoh JAT, gerakan ini melakukan deklarasi secara terbuka di salah satu universitas di Jakarta pada tanggal 8 Februari 2014. Gerakan ini kemudian dipopulerkan melalu jaringan masjid radikal di Bekasi, Jawa Barat dan sampai ke Bima, Nusa Tenggara Barat.[14]
Kelompok kedua adalah gerakan Pro ISIS yang tertutup. Gerakan tertutup ini lebih berbahaya dari gerakan terbuka. Mereka tidak mengembangkan wacana, melainkan langsunng melakukan rekrutmen para aktivis muda yang kecewa pada organisasi radikal seperti MMI, HTI dan JAT dan kelompok lain. Kelompok ini aktif melakukan propaganda melalui akun twiter dimana mereka menggalang kampanye anti Shiah di Indonesia dan mendukung deklarasi anti Shiah di masjid-masjid. Mereka aktif mengunggah gambar-gambar perang di Suriah dan menggalang donasi untuk dikirim ke Suriah melalui salah satu organisasi Islam di Jakarta.[15]
Penataan Koordinasi Intelijen
Dalam upaya untuk melakukan deteksi dini dan peringatan dini untuk pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan dan keamanan nasional, maka idealnya setiap instansi atau lembaga negara yang mengembang tanggung jawab tersebut untuk melakukan koordinasi. Namun sayang sekali kata koordinasi seringkali hanya tetap menjadi sebuah kata ataupun wacana tanpa adanya implementasi yang nyata di lapangan. Kalau pun ada, maka koordinasi tersebut tidak seefektif seperti yang diharapkan.
Pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, koordinasi antar lembaga intelijen kurang efektif. Saat itu Keefektifan koordinasi, antara lembaga intelijen negara dengan lembaga intelijen Polri menjadi permasalahan tersendiri. Tidak ada perundang-undangan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Yang ada hanya keputusan setingkat Kepres, maupun produk hukum di bawahnya. Bahkan perumusan tugas dan fungsi terkesan sangat umum, seperti pada Intelijen Polri.
Sebaliknya, inherenitas lembaga intelijen negara yang juga menjalankan fungsi koordinasi seperti pada BPI, BAKIN, atau BIN makin menyulitkan upaya koordinasi satu lembaga intelijen dengan yang lainnya. Yang muncul justru aroma persaingan dan esprit de corp yang meninggi. Bahkan dapat disimpulkan bahwa fungsi koordinasi yang melekat pada fungsi intelijen negara pada masa Soekarno dan Soeharto justru menjadi bumerang bagi efektivitas koordinasi dan kinerja lembaga tersebut.[16]
Sementara tidak berjalannya koordinasi antar lembaga intelijen di era reformasi, disebabkan karena upaya penataan kelembagaan tersebut berjalan sangat lamban. Ada enam penegasan mengapa koordinasi antara lembaga intelijen menjadi permasalahan serius dari dahulu hingga sekarang, khususnya antara lembaga intelijen negara dan intelijen keamanan.
Pertama, otoritas negara atas lembaga-lembaga intelijen cenderung rendah. Otoritas dalam hal ini diasumsikan sebagai kontrol negara atas kinerja dari lembaga intelijen yang mengemban fungsi koordinasi. Kontrol tersebut menjadi sulit dilakukan ketika ketua ataupun pimpinan dari BAKIN atau BIN, yang mengemban fungsi intelijen negara dan fungsi koordinasi merupakan orang terdekat dengan kekuasaan.
Kedua, tidak adanya aturan hukum yang mengatur batasan dan wewenang kerja antara lembaga intelijen negara dengan intelijen kepolisian. Aturan yang ada hanya terbatas mengikat satu organisasi saja, itupun sebatas Keputusan Presiden (Kepres), Intruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri, maupun Keputusan Kapolri. Ketidakadaan aturan yang mengikat koordinasi antar lembaga intelijen tersebut menyebabkan batasan wilayah dan wewenang tugas juga makin rancu dan kabur.
Ketiga, dinamika internal masing-masing lembaga yang memiliki ekspektasi yang berbeda, baik berupa esprit de corps, maupun sentimen kelembagan. Hal ini terlihat pada semangat membangun dan menjaga negara dalam kondisi dan situasi yang utuh. Indikator yang mudah dikedepankan adalah rumusan tugas dan fungsi yang secara umum dibuat mencakup keindonesiaan.
Keempat, budaya di internal lembaga intelijen belum mengedepankan semangat kebersamaan dan profesionalisme. Satu filosofis kelembagaan yang bersifat koordinatif adalah memahami posisi, peran, dan fungsinya secara sadar. Dalam pengertian keberadaan setiap lembaga intelijen harus terkait dengan peran dan fungsinya secara tegas. Di sinilah kemudian akan mampu menstimulasi profesionalitas kelembagaan.
Kelima, masih kuatnya semangat superioritas antara lembaga satu dengan lembaga lain. Superioritas tersebut tercermin dari keengganan melakukan koordinasi. Sehingga koordinasi dapat diasumsikan membuka strategi dan berujung pada wan prestasi dari masing-masing lembaga tersebut. Tak heran apabila koordinasi hanya dianggap sebagai hal yang tidak terlalu penting. Padahal dalam konteks deteksi dini dari berbagai ancaman, koordinasi mampu menutup cela kemungkinan berubahnya ancaman menjadi tragedi.[17]
Keenam, sentimen kelembagaan yang satu dengan yang lain merasa lebih baik dari lembaga lain. Berbeda pada kasus kebanggaan pada lembaga, pada sentimen yang merasa lebih baik menjadi pemicu terjadinya keengganan dari masing-masing lembaga intelijen untuk membuka hal-hal yang menjadi kerja-kerja keseharian. Tak heran pula kerap kali terjadi bentrok kerja antara lembaga intelijen tersebut di lapangan, misalnya pada kasus penangkapan pelaku teroris di Tangerang yang membuka kedok dan mencederai intel yang tengah melakukan covert action.[18]
Salah satu contoh kasus yang terjadi sebagai bentuk akibat dari kurang efektifnya koordinasi antara intelijen, ialah peristiwa bom Bali I pada 12 Oktober 2002 merupakan sebuah kasus teror besar yang membuat Indonesia porak-poranda dengan aksi terorisme. Dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini merupakan contoh kegagalan intelijen. Dan jika dihubungkan dengan siklus intelijen, hampir di semua fase dari lima fase yang ada terjadi kegagalan, namun berkaitan dengan koordinasi, maka ada di fase dissemination. Pada fase ini distribusi produk intelijen kepada user dapat dilakukan dengan baik, namun yang menjadi catatan ialah tidak ada penyebaran informasi antara sesama intelijen, tidak ada koordinasi yang baik antar intelijen yang akhirnya berakibat fatal dengan terjadinya peristiwa bom Bali I ini. Karena jelas bahwa bom Bali I bukanlah serangan teror bom pertama dan terakhir. Setelah peristiwa tersebut berturut-turut terjadi serangan bom di Indonesia seperti serangan bom pertama di Hotel JW Marriot Jakarta pada Agustus 2003, serangan bom di Kedutaan Australia di Kuningan, Jakarta pada September 2004. Kemudian terjadi lagi bom Bali II pada Oktober 2005, dan disusul oleh serangan bom kedua di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton Jakarta pada Juli 2009. Untuk itulah mengapa koordinasi merupakan hal yang vital bagi antar intelijen, bahkan koordinasi dengan institusi keamanan dalam penanggulangan terorisme.
Koordinasi Intelijen dalam Penanggulangan Terorisme
Koordinasi antara lembaga intelijen negara sudah merupakan sesuatu yang wajib dalam rangka penanggulangan terorisme yang merupakan ancaman yang dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.
Saat ini dalam menanggulangi terorisme, pemerintah mengerahkan kekuatan dengan bertumpu pada BNPT dan instansi keamanan terkait, terutama intelijen sebagai kekuatan untuk menghancurkan ancaman terorisme di Indonesia.
Pada tahun 2002 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pengkoordinasian Operasi dan Kegiatan Intelijen Seluruh Instansi Dalam Rangka Deteksi Dini Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG) Terhadap Stabilitas Naasional NKRI. Inpres ini memerintahkan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan intelijen. Inpres ini pun ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah (Kominda). Kominda merupakan kolaborasi antara kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menciptakan stabilitas nasional di daerah.[19]
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 Kominda merupakan forum komunikasi dan koordinasi unsur intelijen dengan unsur pimpinan daerah di Propinsi dan Kabupaten/Kota. Kominda merupakan forum komunikasi dan koordinasi di antara unsur intelijen, seperti BIN, TNI, Polri, Kejaksaan dan intelijen sektoral lainnya. Kominda terbentuk sejak 2006 dan merupakan forum komunikasi antarinstitusi yang bersifat lintas sektoral.[20]
Kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Kominda merupakan faktor sangat penting dalam menghimpun informasi. Hal tersebut dilakukan untuk mendeteksi secara dini segala bentuk kerawanan di daerah, termasuk terorisme. Koordinasi yang dilakukan oleh Kominda berfungsi untuk memelihara hubungan baik dalam berbagai kegiatan. Kegiatan yang dijalankan Kominda dalam mengatasi ATHG direncanakan dalam rapat koordniasi yang dilakukan setiap satu bulan sekali yang membahas isu-isu strategis, termasuk permasalahan terorisme.[21]
Mengapa muncul koordinasi?
Karakter terorisme abad 21 sudah mengalami proses evolusi drastis, ancaman terorisme menjadi lebih tidak terlihat (intangible) dan sangat luas pengaruhnya dalam kehidupan sehari hari. Jaringan kelompok teror yang sering disebut, misal Al Qaeda memiliki kemampuan melewati batas dari negara. Selain itu, mereka dapat beroperasi tanpa dukungan sponsor dan ataupun kontrol dari negara tertentu. Kelompok ini dapat beroperasi sangat otonom selain itu mereka tidak memiliki jaringan yang terstruktur secara ketat. Yang paling mengkhawatirkan dari kelompok ini adalah kemampuannya untuk memanipulasi ekstrimitas dalam ajaran agama, sebagai kekuatan motivasi dan sumberdaya pertumbuhan jejarinngnya secara global. Dengan karakteristik seperti tersebut di atas, membuat masalah tersendiri dalam usaha counter terorisme.
Dalam lembaga intelijen keberadaan jalinan yang kuat antara human intelligence, signal intelligence, data analis dan kerjasama dengan pihak penegak hukum dan juga pertukaran informasi dengan dinas intelijen negara lain senjadi sebuah prasyarat penting Semua prasyarat ini menjadi suatu keharusan dalam intelijen untuk menjamin pasokan informasi (real time) yang diperlukan dalam operasi counter-terrorism. Jadi dalam counter-terorism, peran dari humint tidak hanya sebagai pengumpul informasi, tetapi menjadi pemburu informasi.[22]
Ancaman terorisme kontemporer mau tidak mau memaksa negara untuk melakukan penanggulangan dengan menggunakan koordinasi dari berbagai institusi, terutama intelijen negara. Saat ini organisasi terorisme, telah mengalami perubahan yang signifikan, bahkan mereka pun menjalankan praktek-praktek dengan menggunakan kekuatan intelijen dalam menjalankan visi-misi organisasi mereka.
Strategi dalam penindakan terorisme di Indonesia sejak tahun 1945 hingga reformasi telah mengalami pergeseran. Pada tahun 1945-1965 pola strategi penanggulangan terorisme lebih mengedepankan pendekatan militer (militery-led strategy). Kemudian pada tahun 1966-1998 pendekatan berubah menjadi pendekatan intelijen (intelligence-led strategy). Dari tahun 1998-2002 ketika Indonesia mengalami reformasi, pendekatan berubah menjadi pendekaran penegakan hukum (law enforcement-led strategy), yaitu secara simultan memperkuat kemampuan penegakan hukum dan sekaligus merumuskan strategi serta upaya sistematis untuk melakukan kontra radikalisasi dan de-radikalisasi dengan melibatkan segenap sumber daya yang ada sesuai kompleksitas dari akar permasalahan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam arahanya di Bogor pada 19 April 2011 mengingatkan terorisme, radikalisme, kekerasan horizontal, dan penyerangan terhadap aparatur negara (TNI-POLRI) merupakan sebuah bentuk ancaman keamanan terhadap NKRI. Semua aparat negara untuk bersinergi dalam rangkah mencegah dan menindak aksi terorisme dan radikalisme. Presiden mengarahkan agar intel, teritorial, dan polri harus bersinergi untuk menyentuh akar masalah yaitu ideologi radikal yang mengatasnamakan agama yang menjadi dasar dari pergerakan atau aksi terorisme dan radikalisme. Presiden meminta kepala daerah dalam hal ini guberbur untuk dapat bersama-sama dengan pangdam dan kapolda menyatu menghadapi berbagai teror, radikalisme dan kekerasan horizontal. Juga ditambahkan bahwa BINTER harus bersinergi dengan polri.[23]
Fungsi Koordinasi Intelijen dalam Penanggulangan Terorisme
Peristiwa 9/11 meruntuhkan kerangka berpikir dan metode kerja intelijen yang mengandalkan teknologi tinggi dan padat modal. Investasi yang besar untuk keperluan technit dan signit dari negara adidaya menjadi sangat tidak berarti karena peralatan super canggih ini ternyata tidak dapat memangkas komunikasi dari para teroris yang ternyata setelah diketahui bahwa mereka hanya menggunakan fasilitas teknologi informasi yang sederhana dan dapat diakses dengan mudah oleh umum. Teroris itu menjadi suatu yang tak terlihat atau intangible, mereka menjadi sebuah entitas di atas kontrol negara. Walhasil, untuk mendeteksi keberadaannya, Amerika Serikat yang memiliki belasan dinas intelijen terbukti tidak mampu. Alasan utamanya karena dinas ini tidak bekerja sama dengan baik dalam soal counter intelijen/ counter-terrorist dan kapasitas kelembagan intelijen juga sudah mengalami penurunan terutama dalam sumber daya manusianya. Pihak pertama yang paling disalahkan adalah dinas Intelijen (CIA) bersama NSA karena tidak berhasil mengatasi adanya potensi defektif dari mantan agen operatif mereka, yakni Usamah Bin Laden.[24]
Aksi terorisme tidak lagi terkait dengan isu sosial ekonomi dan politik domestik. Jenis dan akibat serangan teroris juga semakin canggih dan mematikan, dan selain itu juga aksi teror memang dirancang untuk menimbulkan korban jiwa sebanyak-banyaknya.[25]
Operasionalisasi dari langkah penangkalan terorisme ini tidak dapat berlangsung baik tanpa adanya kemampuan dari dinas intelijen, khususnya intelijen negara. Misalnya peran dari humint dalam pengumpulan informasi menjadi sangat krusial tertutama untuk mempengaruhi kelompok garis keras agar tidak melakukan taktik terorisme.[26]
Intelijen sebagai garda terdepan dalam penanggulangan terorisme berperan sebagai early warning system untuk para user, dan intelijen dalam penanggulangan terorisme bukan sebagai kekuatan penindak, melainkan pencegah. Maka intelijen harus dapat mencegah agar ancaman terorisme tidak terjadi. Cara untuk mencegah aksi terorisme yang belum terjadi adalah dengan membangun jalinan yang kuat antara human intelligence, signal intelligence, data analis dan kerjasama dengan pihak penegak hukum dan juga pertukaran informasi antardinas intelijen negara lain senjadi sebuah prasyarat penting. Semua prasyarat ini menjadi suatu keharusan dalam intelijen untuk menjamin pasokan informasi (real time) yang diperlukan dalam operasi counter terorism.[27] Langkah ini dapat ditempuh melalui Kominda. Kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Kominda merupakan faktor yang sangat penting dalam menghimpun informasi. Ini dilakukan guna mendeteksi secara dini segala bentuk kerawanan di daerah. Koordinasi oleh Kominda berfungsi untuk memelihara hubungan baik dan juga perputaran informasi dalam rangka mencegah terjadinya aksi terorisme. Dalam kominda dilakukan rapat koordinasi yang kontinyu dan terjadwal dan direncankan dilakukan setiap satu bulan sekali, namun apabila ada hal-hal yang bersifat khusus maka rapat koordinasi dapat dilakukan setiap saat. Kita bisa mengambil contoh rapat koordinasi dalam rangka membahas Analisa Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri[28] yang melibatkan Kemenpolhukam, KLNI Imigrasi, Satgultor 81 Kopassus, Dispam AU, Sintel Mabes TNI, PFS Kemenlu, Kemenag, Dispam AL, Dispam AD, Kejagung, Mabes Polri, Densus 88, BAIS, BIN, dan BNPT sebagai pemegang fungsi koordinasi dalam masalah penanggulangan terorisme. Dalam rentang waktu satu bulan kemudian, diadakan kembali rapat koordinasi yang merupakan tindak lanjut dari koordinasi sebelumnya yang membahas Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri.[29]
Jelas bahwa untuk menghadapi ancaman terorisme kontemporer sinergi antar komunitas intelijen, dan intstansi/lembaga negara merupakan suatu kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi demi mencapai kepentingan bersama yaitu mempertahankan kedaulatan NKRI terutama dari aksi teroisme yang datang dari dalam maupun dari luar.
Ketika basis dari kelompok teroris tidak terlacak oleh alat intai yang ada di atas bumi, maka metode human intelligent menjadi sangat krusial. Metode humint yang dapat merangkai dan mendeteksi kembali jaringan terorisme yang sudah tidak ada dalam radar deteksi. Yang paling lazim dilakukan dalam metode humint adalah agen intelijen melakukan operasi penyusupan (covert) masuk ke dalam sasaran. Operasi covert baru memiliki nilai informasi yang tinggi apabila sang agen intelijen dapat menelusup masuk ke dalam kelompok inti dari jaringan terorisme. Masalah yang muncul dari operasi covert adalah identitas sang agen tidak ketahui oleh otoritas keamanan atau oleh sesama agen intelijen. Hal yang lain yang sama rumitnya adalah, pertama, mentransfer informasi yang dimiliki oleh sang agen intelijen kepada pihak yang penegak hukum. Kedua adalah bagaimana informasi intelijen tersebut dapat diolah informasi yang berguna bagi proses penegakan hukum. Dalam hal yang pertama terlihat jelas bahwa keberadaan humint tak dapat dilepaskan dari dukungan keberadaan prasana dari metode intelijen yang lain seperi sigint atau elint.[30]
Intelijen harus bisa kita bedakan dari segi sasarannya, yaitu sasaran luar negeri dan sasaran dalam negeri. Sasaran luar negeri atau negara musuh, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan keras yang terkadang didukung oleh pendekatan lunak dan cerdas. Operasi intelijen penggalangan keras seperti teror, pembunuhan, dan sabotase, diterapkan terhadap sasaran luar negeri. Sasaran dalam negeri, yaitu bangsa kita sendiri yang menjadi agen musuh. Sasaran ini ditangani oleh intelijen kepolisian yang ditindaklanjuti oleh reserse. Khusus dalam penanggulangan terorisme, intelijen Polri diperkuat oleh Bais TNI. Badan nasional yang mengkoordniasi kedua instansi tersebut pada tataran kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme adalah BNPT. Pendekatan yang digunakan dalam operasi intelijen BNPT adalah pendekatan cerdas (upaya, pekerjaan, dan deradikalisasi) dan pendekatan lunak. Namun dalam keadaan khusus, kerapkali diterapkan pendekatan keras melalui Densus 88 Polri yang berada dibawah kendali operasi BNPT.[31]
Tujuan intelijen menangkap seorang anggota teroris yang belum melakukan terorisme bukan untuk dihukum, tetapi untuk membongkar jaringan teroris yang lebih luas. Kepentingan intelijen disini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi aksi terorisme, bukan menunggu sampai aksi terorisme terjadi, kemudian menghukum pelakunya. Bahkan jika aksi terorisme telah terjadi seperti Ali Imron yang dalam penjara, ia tetap dimanfaatkan untuk kepentingan intelijen.
Operasi intelijen berbeda dengan hukum, namun bukan berarti intelijen bertentangan dengan hukum. Bahkan keduanya harus saling mendukung secara sinergis, demi tercapai kepentingan masing-masing. Misalnya stabilitas psikologis para terpidana terorisme yang terguncang, memudahkan intelijen dalam melancarkan operasi penggalangan. Keberhasilan operasi tersebut membuahkan informasi untuk pencegahan kemungkinan terjadinya teror berikutnya.[32]
Oleh karena itu fungsi koordinasi intelijen dan koordinasi intelijen dengan instansi/lembaga negara sangat diperlukan dalam rangka penanggulangan terorisme yang merupakan ancaman bagi kedaulatan NKRI. Intelijen wajib bersinergi satu sama lain karena intelijen harus dapat bekerja secara efektif demi pengumpulan, analisa, dan penyebaran produk intelijen. Saat produk intelijen dalam bentuk sistem peringatan dini telah terbentuk, maka intelijen yang tidak punya wewenang untuk penindakan maka perlu kerjasama pula dengan instansi terkait, demi menindaklanjuti dan dapat memproduksi satu strategi dan kebijakan guna menghancurkan terorisme.
Kesimpulan
Acaman teroris merupakan ancaman global yang sama sekali tidak mengenal batas-batas negara. Aksi teroris dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), kejahatan lintas negara (transnational crime), kejahatan yang terorganisir, dan kejahatan serius. Terorisme telah menjadikan agama sebagai sebuah kendaraan dimana kebenaran ajaran dimanipulasi sebagai alasan pembeneran tindakan mereka. Sehingga penanganan terorisme memerlukan konsep dan strategi yang terkoordinasi antar instansi dengan pendekatan soft power, smart power, maunpun hard power yang perlu direncanakan dan dipersiapkan sesuai koridor hukum yang berlaku. Juga sangat diperlukan peran serta seluruh komponen bangsa dalam memerangi terorisme dalam bentuk apapun.
Intelijen harus bisa menjadi kekuatan utama dalam penanggulangan terorisme, mulai sebagai sistem peringatan dini, dan pembuatan produk intelijen yang mampu memberikan solusi bagi pengambil kebijakan dalam rangka memerangi terorisme.
Koordinasi dengan berbagai lembaga atau instansi negara lainnya juga sangat diperlukan, karena dengan demikian kekuatan negara dalam menghadapi terorisme yang memiliki kekuatan yang semakin kuat dan terorganisir bisa semakin matang. Karena dengan adanya koordinasi, masing-masing instansi bisa saling tahu akan informasi dan bagaimana langkah-langkah serta strategi yang dapat menghancurkan terorisme, yang nantinya bisa diaplikasikan melalui tupoksi masing-masing instansi.
Aksi terorisme internasional tentunya dapat berdampak sampai ke negara-negara lain yang jauh dari tempat dimana terjadinya kegiatan terorisme tersebut. Dalam hal ini aksi terorisme yang terjadi di berbagai kawasan terutama yang terjadi di Afrika dan Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tengah, maupun di Asia Tenggara dapat berdampak signifikan ke dalam negeri. Apalagi seperti kegiatan terorisme yang dilakukan oleh ISIS, yang mana disana juga sudah ada WNI yang ikut terlibat didalamnya. Bahkan yang lebih parah lagi semenjak diluncurkannya video Joint Ranks oleh pejuang ISIS dari Indonesia, yang dapat memprovokasi WNI lainnya untuk ikut berjihad bersama ISIS.
ISIS tidak hanya mengancam eksistensi Iraq dan Suriah saat ini, namun juga mulai mengancam negara-negara lain seperti misalnya Indonesia. Seperti yang terlihat dari beredarnya video ISIS di Youtube pasca-Idul Fitri lalu di mana seorang Abu Muhammad al-Indonesi dengan berapi-api memprovokasi warga Muslim Indonesia untuk menyertai ‘jihad’ ISIS di Levant (Iraq dan Syria). Dikelilingi beberapa orang berwajah Indonesia bersenjata lengkap, video itu jelas memperlihatkan keterlibatan sejumlah Muslim Indonesia dalam medan perang ISIS.
Karena itu, meski gagal merekrut warga Muslim Indonesia dalam jumlah besar untuk mendukung aksi dan tujuan mereka, kelompok-kelompok veteran radikal ini mendorong peningkatan intoleransi dan radikalisasi yang dengan cepat bisa menjadi terorisme di tanah air. Karena itulah perlu pencegahan dini sebelum veteran ISIS kembali ke Indonesia nanti, yang dengan segera dapat mengkonsolidasikan para pendukung dan simpatisan mereka yang sudah ada di tanah air.
Sebab dengan bergabungnya para jihadis Indonesia ke Suriah dan Irak, memicu kekhawatiran mereka akan menghidupkan kembali jaringan militan yang canggih ketika pulang dan melemahkan upaya bertahun-tahun memerangi terorisme. Keahlian teror dan koneksi militan yang mereka miliki dapat mengancam Indonesia yang selama ini cukup sukses memerangi terorisme. Ketika mereka kembali mereka akan dipandang sebagai tokoh penting jihadi. Orang-orang muda akan datang kepada mereka untuk berlatih, membentuk kelompok baru, merencanakan serangan, mengajari bagaimana caranya berperang dan membuat bom. Perang saudara di Suriah telah menghidupkan kembali minat jihad di kalangan militan Indonesia. Beberapa jihadis di Indonesia melihat ISIL sebagai embrio kekhalifahan Islam, yang menjadi tujuan utama mereka.
Kita perlu berkaca atas kegagalan intelijen dalam kasus bom Bali I pada 12 Oktober 2012 yang lebih disebabkan oleh kegagalan costumer pada saat itu melakukan pengawasan terhadap kelompok teroris dan juga tidak adanya kepercayaan dari costumer kepada produser. Sebenarnya produser telah mendapatkan informasi pada tahun 1998, mereka sudah punya dokumen soal JI dan sudah disampaikan kepada AS, tapi malah dianggap remeh informasi tersebut. Dan pada tahun 2000 telah ada dokumen dari Abu Jihad yang punya hubungan dengan Bin Laden, informasi tersebut telah dibagikan namun tidak ditindaklanjuti. Juga yang menjadi perhatian ialah tidak adanya koordinasi antar badan intelijen negara pada saat itu yang akhirnya menjadi malapetaka bagi kemanan nasional Indonesia. Pemerintah juga saat itu melakukan kesalahan fatal dengan memberikan amnesti kepada Ba’asyir dan juga pernyataan wapres yang seakan menjadi perlindungan bagi tumbuh kembang organisasi terorisme di Indonesia saat itu.
[1] Andi Widjajanto (ed), 2006, Menguak Tabir Intelijen Hitam Indonesia, Jakarta: Pacivis, hal. 13
[2] Ibid., hal 3
[3] Andi Widjajanto & Artanti Wardhani, 2008, Hubungan Intelijen – Negara 1945-2004, Jakarta: Pacivis UI 2004, hal 1
[4] Andi Widjajanto (ed), 2006, Negara, Intel, dan Ketakutan, Jakarta: Pacivis hal 117
[5] Sosialisasi 4 Pilar dalam Rangka Cegah Tangkal Bahaya Terorisme oleh Tim Penyuluhan Terpadu MABESAD Jakarta, Februari 2012
[6] Dalam Paparan Kelompok Kerja III OMSP pada 31 Maret 2009
[7] Laporan Penelitian Departemen Kriminologi Fisip UI, 2011, “Peran dan Sinergitas Instansi Pemerintah dan Khususnya TNI Dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia”, Depok: Universitas Indonesia hal. 5
[8] Ibid hal. 3
[9] Widjajanto, 2006, Negara,Intel.. Op.cit, hlm. 132-134
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Paparan Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri oleh Direktorat Bilateral Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor pada 23 Juli 2014
[13] Paparan Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri oleh Direktorat Bilateral Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor pada 23 Juli 2014
[14] Paparan Analisa Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri (Sebuah Analisa Kebijakan) oleh Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor 25 Juni 2014
[15] Ibid.
[16] Andi Widjajanto (ed), 2006, Negara, Intel.. Op.cit., hal. 102
[17] Ibid., hal. 103
[18] Ibid., hal. 104
[19] Armaidy Armawi, “Kajian Penguatan Komunitas Intelijen Daerah”, Mimbar Hukum Vol 25, No 1 Februari 2013, hlm. 68-75
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid., hal 124-125
[23] Dalam Sosialisasi 4 Pilar Dalam Rangka Cegah Tangkal Bahaya Terorisme, oleh Tim Penyuluhan Terpadu Mabes AD di Jakarta pada Februari 2012
[24] Widjajanto (ed), 2006, Negara, Intel.. Op.cit, hlm. 118-119
[25] Ibid., hlm. 119
[26] Ibid., hlm. 124
[27] Ibid., hlm. 127
[28] Paparan Analisa Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri (Sebuah Analisa Kebijakan) oleh Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor 25 Juni 2014
[29] Paparan Perkembangan Terorisme Internasional dan Dampaknya Terhadap Keamanan Dalam Negeri oleh Direktorat Bilateral Deputi Kerjasama Internasional BNPT di Bogor pada 23 Juli 2014
[30] Widjajanto, 2006, Negara, Intel.. Op.cit, hlm. 128
[31] AM Hendropriyono, 2013, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 29-31
[32] Ibid., hlm. 48-49