Simalakama Energi, Batu Bara atau Nuklir ?

Simalakama Energi, Batu Bara atau Nuklir ?

Kejayaan perusahaan pertambangan batu bara mulai berakhir. Pasar ekspor batubara sudah sangat lesu karena merugi. Harga jual yang berada di angka 55-60 US $ / ton dibawah biaya produksi membuat pengusaha pertambangan berpikir ulang untuk meneruskan usahanya. Pada tahun 2014 batu bara masih bisa menyumbangkan royaltinya kepada negara sebesar Rp 26,3 triliun. Namun saat ini diperkirakan 80% pertambangannya sudah mulai berhenti operasi.

Sektor bisnis yang pernah diandalkan sebagai pundi-pundi pendapatan asli daerah ini mulai meredup, bahkan mati suri. Nasib karyawannya yang berjumlah cukup besar sudah dirumahkan bahkan terkena pemutusan hubungan kerja. Dampak ekonomi dari terpuruknya pertambangan batu bara ini sangat besar terutama bagi daerah sekitar tambang.

Meredupnya pertambangan batu bara di Indonesia kontradiktif dengan permasalahan energi (listrik) yang tidak pernah selesai. Pemerintah sudah mencanangkan pembangunan proyek listrik 35.000 MW walaupun sering kali masih menjadi bahan perdebatan di kalangan elit pemerintah. Dengan meredupnya batu bara dan dengan adanya potensi dan peluang di dalam negeri yang cukup besar, bukankan lebih baik pemerintah memanfaatkan batu bara untuk konsumsi dalam negeri?

Penggunaan batu bara sebagai sumber energi selalu diikuti kontroversi. Tanpa energi, industri akan mati. Tetapi industri juga tidak akan sembarangan memilih sumber energi. Persoalan emisi,  limbah, dan rusaknya lingkungan selalu menjadi isu pengiring penggunaan batu bara.

Penggunaan energi fosil selalu dianggap sebagai penyebab perubahan iklim yang semakin tidak bersahabat. Isu-isu lingkungan yang menyertai batu bara akan terlalu berisiko bagi dunia industri. Penggunaan energi yang dianggap kotor akan menurunkan pasar dari hasil industri.

Alternatif untuk Pertambangan Batu Bara

Jika tidak punya kekuatan modal serta kesabaran untuk menunggu harga batu bara lebih kompetitif, maka perusahaan pertambangan batu bara sebaiknya mulai beralih ke bisnis lain. Peluang di sektor infrastruktur yang saat ini dikebut pemerintah menjadi salah satu pilihan. Secara umum pertambangan mempunyai kemampuan di bidang infrastruktur dan mempunyai sumber daya alat berat yang cukup. Hal ini tentu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dalam proyek-proyek percepatan infrastruktur terutama di daerah yang berdekatan dengan lokasi pertambangan batu bara.

Selain di bidang infrastruktur, perusahaan batu bara bisa diberi kesempatan untuk merambah sektor penyedia energi bekerja sama dengan PLN. Jika perusahaan pertambangan batu bara mampu membangun PLTU di sekitar tambang, dan menjual listriknya kepada pemerintah, hal ini kemungkinan bisa membuat usaha pertambangan batu bara bertahan hidup. Namun pilihan ini juga mempunyai konsekuensi yang cukup besar.

Pertambangan batu bara biasanya terletak di daerah terpencil. PLTU di sekitar tambang kurang efektif karena jauh dari pengguna energi seperti kawasan industri yang biasanya dekat dengan perkotaan. Jika PLTU dibangun dekat dengan kota dan jauh dari tambang, maka risiko pengangkutan batu bara dan risiko sosial keberadaan PLTU yang dekat dengan pemukiman akan menjadi masalah tersendiri.

Dilema ini perlu diselesaikan oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakan khusus. Persoalan kebutuhan energi dan redupnya pertambangan batu bara hendaknya bisa diselesaikan dalam satu skema yang terintegrasi.

Nuklir Sebagai Alternatif

Di tengah kondisi mati surinya batu bara, energi nuklir mulai menunjukkan kebangkitannya. Kebutuhan energi yang semakin besar adalah syarat vital industri. Dalam skala besar, energi nuklir akan menjadi solusi kebutuhan energi di sektor industri yang paling rasional.

Jepang dengan kemajuan teknologinya mampu membangun rektor nuklir di daerah yang rawan gempa. Hal ini karena tuntutan kebutuhan energi sebagai pemasok industri, sebagai nadi utama ekonomi negara Jepang. Pengalaman kebocoran PLTN Fukushima empat tahun silam akibat hempasan hebat tsunami menjadi pelajaran berharga bagi Jepang.

Di Indonesia, tidak mudah mengganti energi fosil dengan nuklir. Kata nuklir sendiri selalu diasumsikan dengan risiko keamanan dan kesalamatan. Indonesia saat ini sudah mempunyai tiga reaktor nuklir di Bandung, Serpong dan Yogyakarta, walau dalam skala kecil untuk peneilitian. Reaktor yang digunakan untuk kepentingan riset tersebut minimal menunjukkan bahwa nuklir bukan hal yang asing bagi Indonesia. Keberadaan lembaga Badan Tenaga Nuklir Nasional, yang berfungsi sebagai badan penelitian dan pengembangan nuklir, dapat dimanfaatkan untuk memberikan rekomendasi teknis kepada pemerintah dan masyarakat tentang penggunaan energi nuklir.

Saat ini pulau Bangka menjadi alternatif pemerintah untuk tempat pembangunan reaktor nuklir. Hal ini merupakan suatu pilihan setelah rencana pembangunan PLTN di Jepara (Muria) mendapat reaksi yang cukup keras dari berbagai elemen masyarakat. Reaksi masyarakat tentu terkait isu keamanan dan keselamatan.

Pulau Bangka dipilih karena dipandang aman dari potensi gempa bumi, jauh dari gunung berapi, dan secara kasat mata terhindar dari potensi tsunami. Reaktor nuklir di Pulau Bangka ini direncanakan untuk memasok energi listrik di Sumatera.

Bagaimana dengan Kalimantan? Bukankan Kalimantan termasuk daerah yang saat ini kekurangan energi listrik? Kalimantan masih mempunyai lahan yang cukup luas, dan Kalimantan jarang sekali terjadi gempa bumi, tsunami, dan bencana alam lain.

Bagaimana jika di Kalimantan dibangun PLTN? Kajian yang mendalam tentu diperlukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tidak hanya menjawab aspek ekonomis dan teknis, tetapi aspek sosial budaya perlu dipertimbangankan juga.

Simalakama

Pilihan antara batu bara dan nuklir menjadi buah simalakama bagi pemerintah selaku penyelenggara negara. Pertambangan batu bara yang menyumbang royalti bagi pendapatan negara, penyerap tenaga kerja, dan sebagai sektor yang menghidupkan ekonomi di daerah terpencil tidak bisa dibiarkan mati suri begitu saja. Sementara kebutuhan akan energi semakin mendesak. Pembangunan reaktor nuklir tidak dengan mudah dilakukan terkait isu keselamatan dan keamanan.

Sumber energi yang ramah lingkungan seperti hidro, solar, angin, geothermal, terlalu kecil dan tidak akan mencukupi kebutuhan energi. Pilihan akan batubara akan berhadapan dengan isu lingkungan dan energi kotor, selain itu secara bisnis harga bara sudah tidak menarik membuat pengusaha enggan menambang lagi. Pilihan menggunakan energi nuklir akan berhadapan dengan isu keamanan dan keselamatan, terutama dihadapkan dengan kenangan akan Chernobyl Rusia dan Fukushima Jepang.

Solusi Energi dengan Risikonya

Ada beberapa alternatif dengan risiko masing-masing untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia. Yang pertama adalah memaksimalkan potensi energi terbarukan seperti biofeul, biomassa, panas bumi, air, angin, matahari dan gelombang laut. Energi terbarukan kapasitasnya terbatas namun ramah lingkungan. Sumber energi ini bisa dimanfaatkan utuk daerah-daerah terpencil khususnya untuk skala rumah tangga.

Alternatif kedua adalah tetap menggunakan energi fosil (batu bara dan minyak bumi) dengan teknologi dan aturan khusus untuk mengendalikan dampak kerusakan lingkungan. Penggunaan energi fosil harus dibatasi dan diatur dengan ketat supaya dampak lingkungannya dapat dikecilkan.

Campur tangan pemerintah diperlukan supaya pertambangan batu bara tetap dapat bertahan hidup menghasilkan batu bara sebagai alternatif sumber energi. Jika energi fosil (batu bara) dipilih, maka pemerintah juga harus memperhitungkan ulang besarnya royalti, dan tata kelola yang lebih baik dan mencegah adanya pungutan liar untuk menekan biaya produksi batubara. Hal ini akan mendorong pertambangan batu bara bernafas sedikit lega.

Penggunaan energi fosil harus dikendalikan dan dihitung dengan cermat agar tidak muncul ketergantungan. Jauh sebelum energi fosil habis, pemerintah harus sudah menyiapkan skema sumber energi substitusi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Alternatif terakhir adalah menggunakan energi nuklir. Untuk membangun reaktor nuklir sebagai sumber energi memang cukup mahal dan lama. Selain itu faktor keamanan dan kesalamatan masih menjadi topik utama dalam pertimbangan pembangunan dan penggunaan energi nuklir. Perkembangan teknologi yang dapat menjamin keselamatan dan keamanan penggunaan nuklir serta komunikasi antara pemerintah dan masyarakat yang baik seharusnya dapat menjadi solusi krisis energi.

Pemerintah harus mengupayakan pemenuhan energi masyarakat/rumah tangga dengan pilihan sumber energi terbarukan terlebih dahulu. Jika tetap tidak cukup, maka pilihan menggunakan energi lain, fosil atau nulir, tergantung kemampuan untuk mengelola risiko masing-masing pilihan. **

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent