Quo Vadis Satuan Antiteror TNI?

Quo Vadis Satuan Antiteror TNI?

Militer adalah salah satu elemen negara yang mempunyai kekuatan untuk bertempur dan menghancurkan musuh negara. Selain bertempur (perang), militer juga mempunyai kemampuan untuk operasi militer selain perang (OMSP) seperti SAR (bencana), penanganan perbatasan, dan penanganan kondisi darurat lain.

Dalam penanganan aksi terorisme sering kali muncul perdebatan dimana peran militer diperlukan atau tidak diperlukan. Peran militer dipertentangkan karena terorisme dianggap lebih cocok jika ditangani dengan pendekatan hukum.

Di Indonesia terdapat satuan antiteror TNI yang dimiliki oleh masing-masing matra. Pembentukan satuan tersebut tentu memerlukan banyak biaya. Kemampuannya juga tidak perlu diragukan lagi. Namun sejak pasca reformasi dan terjadinya Bom Bali peran satuan antiteror TNI seolah diberangus. Polri memperbesar diri dengan Densus-88/AT Polri untuk menangani teror. Polri sudah merasa mampu untuk menangani aksi terorisme di Indonesia. Lalu untuk apa satuan antiteror TNI tersebut? Quo Vadis?

Ketika Militer Beraksi

Jumat, 13 November 2015 menjadi duka bagi Perancis. Tembakan dan ledakan di gedung Bataclan yang berada di Paris mengakibatkan lebih dari 100 orang tewas. Situasi menjadi mencekam, gedung-gedung perkantoran, sekolah dan fasilitas publik tutup.

Dari beberapa saksi diperoleh keterangan bahwa pelaku berjumlah sedikitnya 2 orang dengan senjata yang diduga AK-47. Dengan jumlah korban yang lebih dari 100 orang maka pelaku dipastikan membawa persediaan amunisi yang cukup banyak dan dilakukan oleh personel yang minimal terlatih menggunakan senjata.

Hal yang sangat menarik dalam penanganan terorisme di negara demokrasi belahan barat ini adalah pengerahan tentara yang mencapai 1.500 personil. Kondisi darurat yang menewaskan lebih dari 100 orang seolah melegalkan militer turun tangan langsung. Masyarakat luas seolah menyetujui aksi militer ini karena menganggap bahwa pelaku teror ini harus ditumpas. Hampir tidak ada pihak yang mengkritisi mengapa militer turun tangan, mengapa bukan polisi saja?

Belgia terpengaruh juga oleh kejadian di Paris, otoritas Belgia menyiagakan tentara yang berpatroli di jalan-jalan Brussels. Hal ini sebagai dampak siaga teror yang diberlakukan pada level tertinggi menyusul kaburnya dua tersangka teror Paris, Perancis[1]. Tentara mempunyai peran dominan dan dianggap lebih efektif ketika negara dalam kondisi terancam dan dalam kondisi siaga tertinggi.

Kasus teror dan pembebasan sandera yang melibatkan militer tidak hanya terjadi di luar negeri. Di Indonesia, pasukan anti teror dari TNI tercatat sukses melakukan aksi pembebasan sandera oleh terorisme. Peristiwa paling penting yang menjadi titik awal satuan anti teror profesional adalah pembebasan sandera Woyla yang dilakukan oleh tim dari Kopassus TNI-AD.

Beberapa prestasi lain dari TNI misalnya pada tahun 1996 pasukan khusus gabungan yang dipimpin oleh Brigjen TNI Prabowo Subianto sukses membebaskan Tim Ekspedisi Lorenzt yang disandera oleh OPM.

Pada bulan Juni 2014 Pasukan Antiteror Gabungan TNI juga menorehkan prestasi mengagumkan dan hampir luput dari pantauan media. Kerja senyap pasukan TNI sukses membebaskan Kapal Sinar Kudus termasuk 20 orang ABK Indonesia di Somalia. Operasi pembebasan di negara lain ini termasuk pantas dipuji karena selain berlangsung tanpa menimbulkan korban dari sandera, operasi ini melibatkan satuan khusus antiteror ketiga matra dari TNI.

Dalam kondisi darurat, penanganan terorisme yang mengarah kepada separatisme terutama di perbatasan, dan penanganan terorisme lintas negara dengan ancaman paramiliter lebih tepat ditangani oleh militer.

Situasi yang darurat dan biasanya diluar kendali sipil ini akan dimaklumi jika diambil alih oleh tentara, bukan polisi. Aksi militer dalam penanganan terorisme luar biasa dan dampak yang ekstrim lebih dipercaya dan lebih membawa rasa ketenangan bagi warga negara.

Satuan Antiteror TNI

Tahun 1981 di Indonesia pernah mengalami pembajakan pesawat yang terkenal dengan peristiwa Woyla. Aksi pembajakan pesawat tersebut berhasil ditumpas oleh pasukan RPKAD dengan pimpinan Benny Moerdani dan komandan lapangan Sintong Panjaitan. Aksi pasukan RPKAD tersebut berhasil menewaskan semua teroris/pembajak pesawat (Machrizal, Zukfikar, Wendy Mohammad Zein, Abu Sofyan dan Imronsyah) dan berhasil menyelamatkan semua penumpang, walaupun Pilot dan seorang anggota RPKAD gugur tertembak.

Aksi pasukan RPKAD inilah yang menjadi cikal bakal satuan anti teror yang dikenal dengan Sat-81 Gultor Kopassus TNI-AD. Saat ini Sat-81 Gultor Kopassus TNI-AD saat ini mempunyai kekuatan personil tiga batalyon, yang terdiri dari Batalyon 811, Batalyon 812, dan Batalton Bantuan. Soal senjata, satuan elit Kopassus ini tidak perlu diragukan lagi. Hampir semua senjata yang digunakan satuan elit dunia ada di Sat-81 Gultor.

Kemampuan Sat-81 Gultor Kopassus TNI-AD tidak perlu diragukan lagi. BIN seringkali menggunakan pasukan ini untuk operasi-operasi para militernya. Termasuk dalam operasi penumpasan radikal kanan sebelum eksisnya Densus-88/AT Polri.

Sat-81 Gultor direkrut dari anggota Kopassus terbaik. Sementara Kopassus sendiri direkrut dari lulusan-lulusan Secata, Seba, Akademi Militer terbaik. Seleksi berlapis tersebut menggambarkan bahwa anggota Sat-81 Gultor Kopassus adalah pasukan pilihan.

Tidak hanya TNI-AD, matra lain juga mempunyai satuan anti teror seperti Detasamen Jala Mangkara (Denjaka) TNI-AL yang mempunyai spesialisasi penanganan teror di perairan. Denjaka yang berdiri pada tahun 1984 ini disahkan sebagai satuan anti teror aspek laut. Denjaka terdiri dari satu markas detasemen, satu tim markas, satu tim teknik dan tiga tim tempur. Persenjataan Denjaka tidak kalah dengan saudaranya di Sat-81 Gultor Kopassus. Senjata yang dipakai oleh denjaka antara lain Submachine gun MP5, HK PSG1, Daewoo K7, senapan serbu G36, HK416, M4, SS1 dan SS2 Pindad, CZ-58, senapan mesin ringan minimi M60, Daewoo K3, serta pistol Barreta, HK P30 dan Sig Sauer 9mm.

TNI-AU juga tidak mau kalah dengan Sar Bravo 90 Paskhas TNI-AU yang mempunyai spesialisasi penanganan teror di bandara udara. Pasukan khusus anti teror aspek udara ini adalah satuan antiteror paling muda di TNI. Sat Bravo mempunyai 3 detasemen yang disebut Detasemen 901, 902 dan 903. Detasemen 901 mempunyai spesialisasi intelijen, Detasemen 902 berkualifikasi spesialisasi aksi khusus dan Detasemen 903 spesialisasi bantuan teknik khusus.

Bravo-90 juga melengkapi personelnya dengan beragam kualifikasi khusus tempur lanjut, mulai dari combat free fall, scuba diving, pendaki serbu, teknik terjun HALO (High Altitude Low Opening) atau HAHO (High Altitude High Opening), para lanjut olahraga dan para lanjut tempur (PLT), dalpur trimedia (darat, laut, udara), selam, tembak kelas 1, komando lanjut serta mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dengan sarana multimedia.

Pasukan-pasukan satuan antiteror dari TNI tersebut sudah menorehkan prestasinya masing-masing dari awal pembentukan hingga orde reformasi dimulai. Peran TNI yang mengharuskan ke barak dan peran Polisi yang mulai berkembang pasca bom Bali membuat satuan anti teror TNI seperti tiada guna ditengah maraknya aksi teror yang terjadi di tanah air. Satuan Antiteror TNI mempunyai kualifikasi yang sangat cukup baik untuk penanganan aksi terorisme dengan doktrin militer.

Peran TNI dalam mensinergikan pasukan khusus antiteror lintas matra sudah dilakukan pada bulan Mei 2015. Panglima TNI saat itu Moeldoko, membentuk Komando Operasi Khusus yang terdiri dari pasukan-pasukan khusus ketiga matra TNI yang mempunyai kualifikasi antiteror yang disiagakan di Sentul. Pasukan tersebut akan bertugas bergantian selama 6 bulan. Komando Operasi Khusus ini dibentuk untuk menjaga ketersediaan pasukan khusus dari TNI untuk menangani ancaman-ancaman negara.

Dengan pembentukan Komando Operasi Khusus TNI ini maka dapat disimpulkan bahwa TNI sudah melakukan sinergi antar matra dalam menghadapai ancaman negara dalam konteks terorisme.

 Kapan Seharusnya TNI Turun Tangan?

Peran TNI dalam menangani terorisme disebutkan dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 7 yang menyebutkan terdapat dua operasi militer yaitu (a) operasi militer untuk perang, dan (b) operasi militer selain perang. Pada poin b disebutkan bahwa operasi militer selain peran adalah (3) mengatasi aksi terorisme, point lain menyebutkan (1) membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.

Secara hukum jika mengacu UU No 34 Tahun 2004 maka jika TNI terlibat dalam penangana terorisme dengan menggunakan operasi militer adalah sah. UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menjadi salah satu rujukan selain UU No 34 Tahun 2004, menyebutkan bahwa dalam menghadapi ancaman yang bersifat militer, TNI merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan nasional, sedangkan komponen-komponen lain merupakan komponen pendukung.

Dalam menghadapi berbagai ancaman non-militer, TNI merupakan komponen pendukung sedangkan komponen lainnya tergantung pada sifat dan jenis ancaman, dapat menjadi kompnen utama.

UU No 3 Tahun 2002 ini bisa menjadi landasan TNI dalam menangani teroris mengingat teroris termasuk ancaman nasional seperti tertuang dalam UU No 15 Tahun 2003 poin (b) bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun international.

Namun yang perlu ditegaskan adalah walaupun landasan hukum bagi TNI untuk terlibat dalam penanganan terorisme sudah ada, perlu suatu batasan untuk menentukan kapan saat yang tepat bagi TNI untuk “turun tangan” dalam penanganan terorisme.

Penulis menyarankan TNI “turun tangan” ketika aksi terorisme terjadi dalam kondisi di bawah ini :

  1. Terorisme mengancam Presiden/Wakil Presiden dan keluarganya, Duta Besar, Tamu Resmi Negara.
  2. Terorisme dilakukan disertai dengan aksi penyanderaan warga negara Indonesia atau warga negara lain di wilayah Indonesia.
  3. Terorisme mengancam instalasi pertahanan/militer, dan obyek vital nasional yang jika terserang dapat menganggu hajat hidup orang banyak dan menimbulkan situasi darurat.
  4. Terorisme menimbulkan korban dalam jumlah banyak dan perlu penanganan segera untuk mencegah bertambahnya korban termasuk pengadaan tim kesehatan lapangan.
  5. Penanganan terorisme memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan bantuan logistik.
  6. Terorisme dilakukan di perbatasan antar negara.
  7. Terorisme dilakukan dengan menggunakan senjata-senjata standard militer dan tidak mampu dikendalikan oleh POLRI.
  8. Aksi terorisme lain yang tidak mampu hanya ditangani oleh Polri.

Kondisi-kondisi tersebut perlu ditegaskan lagi dengan suatu SOP yang disepakati bersama oleh TNI dan Polri, sehingga dalam keadaan darurat aparat negara dapat langsung fokus pada penanganan terorisme, dan tidak membuang waktu hanya untuk membahas soal kewenangan.

 Kerjasama dengan Polisi

Pendayagunaan Satuan Antiteror TNI oleh negara, selain dengan memberikan batasan dan kondisi sebagai acuan TNI untuk turun tangan, perlu dibuat pembagian suatu mekanisme kerjasama agar TNI dapat sinergi dengan POLRI dalam melakukan pencegahan, penindakan, dan penanganan aksi terorisme. Area yang paling mungkin dilakukan oleh TNI dan POLRI dan konteks suatu kerjasama penanganan aksi terorisme adalah intelijen.

Produk intelijen TNI tentang terorisme dapat digunakan oleh Polri untuk langkah lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme ayat 26 pasal 1 yang berbunyi “untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen

Selain dalam bidang intelijen, TNI dapat bekerjasama denga Polri dalam bidang pelatihan bersama. Dengan program latihan bersama maka diharapkan ketika melakukan suatu operasi dilapangan secara bersamaan sudah tidak terjadi kendala.

Quo Vadis?

Undang-Undang yang mengatur penanganan terorisme oleh TNI sudah sangat jelas. Kemampuan dan ketersediaan pasukan dan material pendukung satuan antiteror TNI tidak perlu diragukan lagi. Lalu mau dibawa kemana Satuan Antiteror TNI?

Di saat demokrasi sedang diagung-agungkan terutama dalam isu HAM,  tetapi di sisi lain ancaman terorisme semakin tinggi, maka penanganan terorisme oleh TNI tidak perlu diharamkan, dengan berbagai catatan sebagai berikut :

  1. Kerjasama antara TNI-POLRI dalam penanganan aksi terorisme diatur dalam sebuah regulasi dan dijalankan oleh suatu komando yang mampu mencegah terjadinya ego satuan.
  2. Penguatan BNPT untuk melakukan fungsi penanggulangan terorisme dangan menggunakan satuan antiteor TNI dan Polri. Dengan adanya lembaga yang dapat memayungi TNI dan Polri maka koordinasi dan pendayagunaan kemampuan TNI dan Polri akan lebih maksimal.
  3. Saling mengerti batasan dan kemampuan masing-masing satuan antiteror, termasuk mampu membedakan antara langkah polisional dan langkah operasi militer dengan tetap mengutamakan keselamatan warga negara dan eksistensi bangsa sebagai tujuan utama.

Dengan memperhatikan tiga hal di atas maka pertanyaan Quo Vadis Satuan Antiteror TNI akan terjawab.

*) Stanislaus Riyanta, peneliti dan editor jurnalintelijen.net, menempuh studi S2 Kajian Stratejik Intelijen di Universitas Indonesia

 

[1] Harian KOMPAS, 26 November 2015 hal 8 memberitakan bahwa tentara Belgia masih bersiaga tinggi di jalan-jalan utama.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent