Mengapa Teror Terjadi (lagi) di Paris?
Jumat, 13 November 2015 menjadi duka bagi Perancis. Tembakan dan ledakan di gedung Bataclan yang berada di Paris mengakibatkan lebih dari 100 orang tewas. Situasi menjadi mencekam, gedung-gedung perkantoran, sekolah dan fasilitas publik tutup.
Dari beberapa saksi diperoleh keterangan bahwa pelaku berjumlah sedikitnya 2 orang dengan senjata yang diduga AK-47. Dengan jumlah korban yang lebih dari 100 orang maka pelaku dipastikan membawa persediaan amunisi yang cukup banyak. Selain itu diperoleh kesaksian bahwa dalam aksinya pelaku meneriakkan kata “Suriah”.
Tidak hanya kali ini Paris mengalami aksi teror yang diduga dengan motif ideologi. Aksi teror sebelumnya juga terjadi di Paris, Januari 2015, dengan sasaran Charlie Hebdo. Belasan korban tewas dalam aksi serbuan menggunakan senjata AK-47 tersebut. Majalah satir Charlie Hebdo diduga menjadi target serangan teroris karena sering melakukan penghinaan terhadap Islam.
Mengapa Paris menjadi target aksi teror? Paris mempunyai kerentanan yang dapat menjadi celah terjadinya aksi teror. Paris sebagai ibukota Perancis mempunyai daya tarik yang cukup tinggi bagi pelaku teror untuk melakukan aksinya. Aksi ini kemungkinan didasari oleh tindakan negara Perancis yang sering menyudutkan Islam. Selain itu Perancis termasuk negara yang aktif dalam memerangi ISIS di Suriah.
Aksi terorisme bisa terjadi di Paris Perancis diperkuat dengan alasan kemudahan Paris untuk diserang. Aksi pelaku teror yang bisa menewaskan banyak korban dengan menggunakan senjata tentu didahului dengan persiapan yang cukup matang. Sayangnya persiapan aksi ini tidak dapat dicegah oleh aparat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peringatan dan deteksi dini aksi terorisme di Paris Perancis gagal.
Paris menjadi pilihan target aksi terorisme karena pelaku teror melihat dampak aksi yang bisa dilakukan di Paris akan signifikan dan paling tidak akan “mengguncang” dunia dengan pemberitaan aksi sebagai simbol perlawanan para pelaku teror.Tiga hal yang disebutkan di atas yaitu daya tarik, kemudahan untuk diserang, dan dampak yang cukup besar merupakan tiga alasan utama pelaku teror memilih Paris sebagai sasaran.
Untuk melakukan sebuah aksi terorisme, terutama aksi terorisme berupa serangan langsung dengan menggunakan senjata, tentu diperlukan perencanaan, persiapan, kemampuan, dan sumber daya yang cukup kuat. Selain itu pasti ada alasan sehingga diputuskan aksi penyerbuan tersebut.
Aksi terorisme sebagai suatu ancaman akan dipengaruhi oleh kapabilitas pelaku yang terdiri dari sumber daya dan pengetahuan. Sumber daya untuk melakukan terorisme tidak hanya berupa senjata, amunisi dan bahan peledak, tetapi juga pelaku yang terlatih dan mempunyai keberanian untuk melakukan aksi tersebut. Keberanian akan muncul jika pelaku mempunyai intensi berupa kemauan dan harapan. Paham-paham ideologi radikal akan menciptakan kemauan dan harapan pelaku dapat diwujudkan dengan aksi terorisme.
Faktor aksi terorisme sebagai suatu ancaman sulit dikendalikan oleh sasaran jika pelaku tersebut berasal dari pihak luar. Aksi terorisme dapat dicegah supaya tidak terjadi lagi dengan cara mengurang kerentanan yang ada. Dengan meminimalkan kerentanan maka ancaman terorisme dapat dicegah dan dikenalikan.
Kerentanan dapat diminimalkan dengan tiga hal, Pertama adalah mengurangi daya tarik bagi pelaku. Walaupun hal ini akan sulit dilakukan oleh Perancis yang sudah terang-terangan melakukan perlawanan terhadap ISIS, namun dapat dilakukan misal sentimen terhadap ideologi tertentudapat dikelola lebih santun dan tidak vulgar. Minimal menghargai perbedaan ideologi sebagai sesuatu yang bersifat azasi. Persoalan perlawanan terhadap ISIS di Suriah adalah persoalan lain terhadap suatu kelompok terorganisir, bukan perlawanan terhadap ideologi tertentu.
Kedua adalah meningkatkan sistem pengamanan. Dengan sistem pengamanan yang baik maka Paris tidak lagi menjadi sasaran yang mudah diserang. Sistem pengamanan juga dapat ditingkatkan dengan membangun suatu sistem deteksi dan peringatan dini. Sistem ini dapat dibangun dengan mendeteksi orang-orang Perancis yang bergabung dengan kelompok radikal di luar Perancis dan mendeteksi kelompok dari luar Perancis yang masuk untuk melakukan serangan.
Sebagai negara besar dan maju, tentu tidak sulit bagi Perancis untuk membangun kerjasama international dalam bidang pertukaran informasi intelijen sebagai bahan peringatan dan deteksi dini atas aksi terorisme.Hal ini akan menjadi tantangan berat jika pelaku aksi terorisme adalah pelaku tunggal yang tidak terafiliasi dengan kelompok radikal manapun. Pelaku tunggal akan sulit diketahui motif dan jaringannya, walaupun aksi terorisme dengan pelaku tunggal akan mudah dilumpuhkan karena minimnya dukungan sumber daya dan kemampuannya.
Langkah ketiga untuk meminimalkan kerentanan adalah dengan membangun sistem untuk mengurangi dampak jika terjadi aksi terorisme. Pelaku terorisme tentu menginginkan aksi yang dijalankannya berdampak besar sekaligus terpublikasikan, sehingga pesan-pesan politis dan ideologis dapat tersebar. Dampak kepada korban juga harus dikurangi dengan membangun sistem penanganan kondisi darurat terorisme yang selalu siaga dan terintegrasi dengan sistem deteksi dan peringatan dini terhadap aksi terorisme.
Terorisme biasanya dilakukan oleh kelompok yang lebih kecil daripada pihak sasaran (negara). Aksi teror dilakukan karena dianggap paling efektif untuk menunjukkan eksistensi dari kelompok minoritas atau marginal. Selain itu teror juga dilakukan sebagai implikasi atas kepribadian pelaku yang tidak sehat.
Langkah diplomasi yang dianggap tidak mungkin dilakukan memaksa kelompok radikal menerapkan ajaran kekerasan dan teror sebagai jalan untuk mencapai cita-cita. Hal ini akan diperkuat lagi jika terdapat latar belakang sentimen ideologis dari sasaran yang membuat perbedaan ekstrim sehingga kelompok ideologi radikal tidak bisa diterima dan harus dilawan/diperangi
Apapun motif, latar belakang, dan tujuan dari sebuah kelompok, aksi terorisme tetap tidak dibenarkan. Memaksakan suatu tujuan dengan menghilangkan nyawa orang lain adalah suatu tindakan keji dan tidak pantas dilakukan di muka bumi. Ajaran radikal ini harus dilawan dan diperangi sejak dini. Bukan hanya dilawan dan diperangi dengan senjata, tetapi lebih tepat jika diperangi dengan ajaran bahwa hidup harus saling menghormati dan menghargai orang lain.
Hidup harus menerima perbedaan tanpa menjadi suatu bahan pertentangan yang berujung pada korban jiwa. Jangan sampai terjadi bahwa perbedaan menjadi alasan manusia untuk menghilangkan nyawa manusia lain.