Terorisme, Siapa Untung? Siapa Rugi?

Terorisme, Siapa Untung? Siapa Rugi?

Aksi terorisme dipilih menjadi suatu model oleh orang, kelompok atau negara tertentu untuk memaksakan tujuannya. Kelompok (teroris) itu memiliki pilihan-pilihan atau nilai kolektif dan menjatuhkan pilihan pada terorisme sebagai pilihan aksi utama yang mengabaikan serangkaian alternatif lainnya (Crenshaw : 2003)[1]. Dijelaskan lagi oleh Crenshaw bahwa efisiensi dan efektifitas merupakan standar utama dalam perbandingan antara terorisme terhadap cara-cara lain untuk mencapai tujuan politik.

Aksi teror sudah dipilih dan dijalankan oleh orang, kelompok atau negara. Efektifkan cara ini dilakukan untuk mencapai tujuan? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari aksi terorisme?

Mengapa Memilih Aksi Teror

Crenshaw (2003)[2] menyatakan bahwa umumnya organisasi-organisasi kecil menggunakan kekerasan sebagai kompensasi dari jumlah mereka yang sedikit. Lebih lanjut Crenshaw menyatakan bahwa suatu organisasi atau faksi organisasi mungkin memilih terorisme karena hasil kalkulasinya menunjukkan bahwa cara-cara lain tidak dapat berfungsi atau dianggap terlalu memakan waktu, sementara situasinya penting dan sumber daya pemerintah (oposisi) unggul.

Analisis lain seperti Post (1986)[3] menyatakan bahwa mereka (teroris) melakukan aksi teroris bukan pada pilihan taktis atau strategis, tetapi karena secara kepribadian membutuhkan musuh dari luar untuk disalahkan. Hal ini merupakan mekanisme dominan karakteristik destruktif.

Berbagai macam latar belakang dan alasan sehingga orang, kelompok atau negara melakukan teror. Hal ini berujung pada teror hanyalah alat yang dianggap paling efektif  mereka untuk memaksakan dan mencapai tujuan.  Teror dilakukan termasuk demi tujuan-tujuan yang bersifat kepuasan rasial seperti yang dilakukan oleh Hitler (Nazi Jerman).

Pilihan atas aksi teror dibanding oleh aksi atau cara lain untuk mewujudkan cita-cita orang, kelompok atau negara  menurut pendapat penulis, disebabkan oleh :

  • teror adalah cara paling efektif untuk menunjukkan eksistensi kelompok minoritas atau marginal
  • teror cermin dan implikasi atas kepribadian pemimpin kelompok yang tidak sehat dan menjadi kultur kelompok secara umum
  • aksi-aksi non teror seperti diplomasi tidak berhasil dilakukan atau sudah sering dilakukan dan tidak berhasil
  • teror sebagai implikasi atas pemahaman suatu doktrin atau ajaran kekerasan sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita, terutama dialami oleh kelompok-kelompok garis keras/radikal dengan latar belakang sentimen teologis atau politis yang membuat perbedaan ekstrim dengan kelompok lain tidak bisa diterima dan harus dilawan/diperangi

 Korban Aksi Terorisme

Aksi terorisme yang menggunakan ciri khas kekerasan tentu saja menimbulkan korban. Korban terorisme dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu korban langsung yaitu orang yang menjadi korban aksi teror secara langsung di tempat kejadian, biasanya meninggal dunia, cacat, atau luka secara fisik, dan trauma secara psikis.

Jenis kedua adalah korban sekunder, misalnya keluarga korban langsung yang terkena dampak. Korban langsung yang menjadi tulang punggung keluarga, jika meninggal atau cacat tentu akan berdampak kepada keluarganya. Secara psikis akan kehilangan atau akan menghadapi orang yang dicintainya menjadi tidak produktif atau mengalami trauma sehingga harus perlu usaha yang luar biasa bagi keluarga untuk dapat bertahan hidup.

Korban ketiga adalah korban tidak langsung, yaitu orang yang tidak mengalami atau bukan keluarga korban langsung tetapi terkena dampak dari aksi terorisme tersebut. Misal gara-gara aksi terorisme maka tempat mencari nafkahnya menjadi sepi atau misal walaupun tidak ada hubungannya dengan aksi atau kelompok teror tetapi ketika melakukan kunjungan ke luar negeri menjadi sulit.

Penulis berpendapat bahwa keluarga pelaku aksi teror juga merupakan korban tidak langsung. Sorotan media dan publik membuat mereka menjadi terintimidasi dan terkucilkan. Selain itu muncul kebencian dari masyarakat terhadap keluarga teroris walaupun belum tentu bahwa keluarga pelaku aski teror megetahui, menyetujui atau bahkan akan berbuat yang sama dengan pelaku aksi teror.

Publik terutama anak-anak juga menjadi korban secara tidak langsung dari aksi teror karena terpaksa mengkonsumsi informasi dari media yang berlebihan tentang aksi terorisme. Tayangan yang sering kali berulang dan bahkan cenderung vulgar untuk mengejar rating, cenderung tidak memperdulikan ekses dari para pemirsanya yang masih belum dewasa. Tayangan yang penuh korban kekerasan tersebut akan mudah terpatri dalam benak anak dan akan berdampak tidak baik jika secara mental belum siap mencerna informasi secara benar.

Di Indonesia saat ini sudah ada organisasi yang mewadahi korban teror terutama korban aski teror dengan menggunakan bom. Organisasi tersebut bernama Asosiasi Korban Bom Indonesia (ASKOBI), yang pada Agustus 2014 tercata anggotanya sebanyak 690 orang dengan komposisi 85% warga negara Indonesia dan 15% warga negara asing. Anggota ASKOBI adalah korban langsung dari aksi teror bom, korban sekunder, dan korban tidak langsung. ASKOBI saat ini sedang memperjuangkan agar anggotanya memperoleh perhatian dari pemerintah.

Untung Rugi  Aksi Teror

Teror secara umum tidak menguntungkan, selain itu hampir tidak ada perorangan atau kelompok yang berhasil meraih tujuannya secara permanen karena menggunakan alat teror. Bahkan negara yang melakukan teror juga kana menanggung kerugian karena tekanan international, kecuali negara adidaya yang mampu mengendalikan jaringan internasional dengan sangat kuat.

Aksi teror tentu saja lebih banyak merugikan. Selain merugikan karena menimbulkan korban langsung, korban sekunder dan korban tidak langsung, teror juga membawa dampak yang merugikan di bidang ekonomi (investor akan menahan diri), pariwisata (travel warning), dan hubungan international.

Di Indonesia teror yang dilakukan oleh perorangan dan kelompok hampir tidak ada keuntungan dalam konteks berhasil dalam mencapai tujuan organisasinya. Teror yang dilakukan sejak tahun 1981,Woyla hingga teror-teror pada tahun 2015 seperti kasus Poso, hampir semua dapat ditanggulangi oleh negara melalui BNPT dan pasukan pemukulnya Densus 88/AT Mabes Polri.

Keuntungan kecil pelaku aksi teror bagi perorangan dan kelompok secara umum, jika terjadi adalah:

  • eksistensinya bisa terdongkrak karena menjadi perhatian publik dan media
  • pesan-pesan politiknya tersampaikan secara mudah mengingat terbantu dengan pemberitaan media

Keuntungan Aksi Teror Bagi POLRI

Polri secara institusi justru diuntungkan karena adanya aksi teror. Paska bom Bali, Polri justru semakin profesional dalam bekerja mengungkap dan menanggulangi aksi teror. Tahun 2004 Densus 88/AT Mabes Polri didirikan, kerja tim DVI juga semakin profesional.

Tekanan-tekanan dan bantuan-bantuan dari dunia international terutama dari negara yang warganya menjadi korban Bom Bali 1 dan 2 ikut membantu Polri untuk meningkatkan profesionalismenya.

Seringnya negara Indonesia mengalami teror membuat Indonesia semakin matang dalam menangani teror termasuk dalam melakukan program deradikalisasi.

Analisis Penanganan Aksi Teror di Indonesia

Prunckun (2010)[4] mendefinisikan suatu teknik analisis kontraterorisme yang salah satu metodenya bernama PPRR Planning. PPRR adalah Prevention Preparation, Response, dan Recovery. Indonesia sebagai negara yang sudah berkali-kali terkena aksi teror cukup mempunyai pengalaman dalam penanganan aksi teror terutana dalam prevention, preparation, dan response. Untuk fase recovery masih menjadi pertanyaan dan perlu usaha dan aksi nyata lebih jauh dari pemerintah bagaiman memulihkan korban aksi terorisme untuk kembali hidup normal.

Prevention atau pencegahan, secara sistem kelembagaan sudah dilakukan di Indonesia melalui hard approach dan soft approach. Tindakan pencegahaan dengan hard approach dilakukan oleh BNPT dan Densus 88/AT Mabes Polri dengan penangkapan para teroris yang diduga akan melakukan aksinya. Pencegahan dengan soft approach juga dilakukan oleh BNPT melalui program deradikalisasi dan kontra radikalisasi.

Pendekatan yang dilakukan oleh BNPT melalui kelompok-kelompok atau ormas keagamaan, lembaga pendidikan, dan publikasi melalui media merupakan cara yang dilakukan pemerintah untuk menangkal dan melawan faham radikal.

Tahap preparation atau persiapan, secara teknis rutin dilakukan oleh BNPT. Mabes Polri dan pengelola obyek vital, terutama simulasi penanganan kejadian teror bom. Persiapan ini juga melibatkan RS Polri yang biasanya akan menangani korban-korban teror bom hingga tahap identifikasi korban.

Simulasi juga dilakukan oleh pasukan khusus Polri dan TNI untuk mempersiapkan SDM yang dimiliki negara Indonesia agar selalu siap siaga dan waspada dalam menghadapi kemungkinan aksi teror bom di Indonesia.        

Pengalaman Indonesia sebagai negara yang sering mendapat ancaman dan serangan teror bom membuat Indonesia terlatih dalam penanganan (response) kejadian aksi teror dengan menggunakan bom. Sinerginya tim Densus 88/AT Mabes Polri, Tim DVI Polri, TNI, BNPT dan instansi lain dalam penanganan kejadian teror bom di Indonesia tidak perlu diragukan lagi.

Tahap recovery, masih perlu dikembangkan lebih baik di Indonesia. Korban aksi bom perlu mengalami fase penyembuhan atau perbaikan baik secara fisik maupun secara psikis. ASKOBI, selama mempunyai tujuan yang baik dan benar, maka pemerintah tidak perlu ragu untuk menggandeng ASKOBI dalam melakukan tahapan recovery korba langsung dan korban sekunder dari aksi teror bom.

Berdasarkan analisis kontraterorisme dan dianalogikan dengan praktek di Indonesia maka sebenarnya pemerintah masih belum memperhatikan korban langsung dan korban sekunder dari aksi teror bom yang terjadi. Pada saat terjadi aksi teror bom tentu saja pemerintah (BNPT – POLRI) disibukkan dengan kegiatan untuk mengungkap siapa pelakunya, siapa korbannya. Aksi pemerintah sering kali terhenti dan dianggap selesai ketika pelaku sudah tertangkap dan korban sudah teridentifikasi.

Kesimpulan

Aksi teror yang dipilih oleh pihak tertentu untuk mewujudkan cita-cita atau meraih tujuannya akan merugikan banyak pihak dan tidak membawa keuntungan apapun bagi pelaku dalam jangka panjang.

Negara harus melakukan rencana untuk pencegahan, persiapan, tanggapan dan pemulihan (PPRR Planning) atas aksi terorisme. Dengan rencana ini maka kerugian dapat ditekan, dan tidak ada keuntungan yang bisa diperoleh sehingga pilihan atas aksi teror tidak dilakukan lagi oleh pihak-pihak yang ingin memaksakan kehendaknya.

Teror tidak menguntungkan, tapi merugikan. Kerugian akan ditanggung orang tidak berdosa, bahkan kerugian akan ditanggung oleh teroris itu sendiri.**

*) Stanislaus Riyanta, peneliti dan editor jurnalintelijen.net, menempuh studi S2 Kajian Stratejik Intelijen di Universitas Indonesia

 

[1] Logika Terorisme : Perilaku Terorisme Sebagai Hasil Pilihan Strategis oleh Martha Crenshaw, dipublikasikan dalam buku Origin of Terrorism, Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental (2003, Ed: Walter Reich).

[2] ibid

[3] J. Post, “Narcissim and the Charismatic Leader- Fellower Relationship,” Political Psychology 7, no 5 (1986): 675-88.

[4] Hank Prunckun, Handbook of Scientific Methods of Inquiry for Intelligence Analysis, Chapter 11 : Analytic Techniques for Counterterrorism, page 178-180.

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent