Media Masa dan Internet sebagai Katalisator Aksi Terorisme
Selain melakukan kontra radikalisasi dan deradikalisasi, terorisme bisa dicegah dengan mengurangi faktor-faktor pendorongnya. Salah satu faktor yang bisa mendorong dan mempercepat terorisme adalah penyebaran informasi yang semakin cepat dan mudah. Informasi disebarkan untuk menjadi alat propaganda, menarik simpati. Informasi tentang terorisme di media massa bahkan digunakan sebagai bahan yang berharga untuk strategi dan aksi para pelaku teror.
Media massa (termasuk dalam hal ini dan selanjutnya adalah internet) adalah salah satu alat yang bisa menyebarkan informasi secara mudah, cepat, dan terjangkau. Bagaimana jika media massa justru menjadi katalisator, melalui penyebaran informasi yang digunakan, untuk mendukung aksi terorisme? Bagaimana fungsi sebenarnya media massa dalam kasus terorisme?
Pertanyaannya selanjutnya adalah berpihak kepada siapakan media massa? Teroris, korban, aparat (negara), atau hanya berpihak kepada kepentingan media massa sediri?
Teroris Memanfaatkan Media Massa
Sering kali media massa dimanfaatkan oleh teroris untuk mensukseskan aksinya. Informasi yang disajikan media massa menjadi pengetahuan dan bahan penyusun strategi teroris. Bahkan secara langsung di media internet disajikan teknik-tenik melakukan teror. Hal ini membuat orang belajar dengan mudah dan cepat untuk menjadi teroris.
Peristiwa Mumbai 2008 di Hotel Taj Mahal menjadi pelajaran berharga bagi media massa. Peran media massa yang seharusnya positif justru menjadi bumerang dan menimbulkan korban jiwa.
Sejumlah teroris yang berada di hotel, ketika pihak keamanan mengepung pasca pengeboman, memanfaatkan informasi dari media massa yang menyiarkan secara langsung peristiwa tersebut. Teroris menyerang balik pasukan keamanan yang mengepungnya, dan belasan aparat tewas.
Dalam kasus ini jelas bahwa media massa hanya ingin menayangkan sesuatu hal yang spektakuler yang tidak dilakukan media lain, namun dampaknya adalah korban jiwa di pihak aparat/pihak yang benar.
Di samping secara teknis media massa digunakan sebagai salah satu bahan strategi teroris untuk menjalankan aksinya, media lain seperti internet juga digunakan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham-pahamnya.
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (27/3/2005) menyatakan bahwa “Media sosial membuka ruang tertutup menjadi terbuka. Tak heran jika beberapa remaja 18-25 tahun bergabung dengan ISIS karena pengaruh propaganda media sosial”. Agus juga menyatakan bahwa WNI yang berangkat ke Suriah, disinyalir bergabung dalam jaringan kelompok oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), diduga korban penyebaran paham radikalisme melalui jaringan internet.
Agus SB (BNPT) pada bulan Agustus 2015 lalu di Jambi bahkan menyatakan bahwa tren munculnya bibit terorisme baru-baru ini karena banyak yang belajar agama dari internet. Dijelaskan pula oleh Agus SB bahwa 47% orang belajar agama dari internet.
Pernyataan pejabat BNPT ini jelas menggambarkan bahwa internet digunakan sebagai suatu alat propaganda yang efektif dan menghasilkan simpatisan-simpatisan bagi kelompok radikal.
Dari sisi pelaku terorisme, seperti Agus Abdillah (kasus Beji), yang tertangkap pada 17 September 2012 oleh Tim Densus-88/AT Mabes Polri, terbukti pada fakta persidangan bahwa dia merasa terpanggil untuk berjihad setelah belajar melalui internet.
Fungki Isnanto, pelaku teror bom di Lumajang pada 1 Juni 2013 bahkan mengaku mempelajari cara membuat bom dan merencanakan pengembomannya melalui internet.
Dari fakta-fakta di atas terbukti bahwa media masa dan terutama internet menjadi katalisator terjadinya tindak terorisme. Penyebaran paham-paham radikal dan propaganda bahkan teknik-teknik teror seperti cara merakit dan melakukan pengemboman dapat diperoleh dengan mudah di internet.
Sementara itu media massa sering kali justru menampilkan para teroris sebagai hero, menampilkan adegan penangkapan dan penyergapan yang dilakukan polisi sehingga menjadi pembelajaran aksi terorisme berikutnya atau justru menjadi bumerang karena menarik simpati dari orang lain atas aksi teroris.
Posisi Media Massa dalam Terorisme
Di Indonesia, Dewan Pers selaku organisasi yang mengatur tentang media massa di Indonesia, pada tanggal 9 April 2015, mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme. Dewan Pers menjelaskan dalam peraturan tersebut secara tegas bahwa tindak terorisme adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan keterlibatan semua pihak termasuk pers untuk menanggulanginya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa media massa di Indonesia harus berada pada posisi menanggulangi terorisme.
Pedoman tersebut berisi tiga belas hal yang harus dilakukan oleh wartawan media massa dalam melakukan peliputan terorisme. Jika wartawan mentaati pedoman ini, maka kasus seperti di Mumbai tidak akan terjadi di Indonesia. Dalam kontenk penanggulangan terorisme sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan Dewan Pers, maka tugas wartawan disebutkan untuk mengungkapkan kebenaran. Kebenaran dalam jurnalistik sendiri bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak tetapi kebenaran yang bersifat fungsional, yakni kebenaran yang diyakini pada saat itu dan terbuka untuk koreksi.
Kepentingan Lain
Sering kali media massa mempunyai kepentingan tertentu sehingga mengabaikan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip jurnalistik yang bekerja untuk kepentingan publik. Demi meraih hak ekslusif atau rating yang tinggi, media bahkan rela mengabaikan kepentingan publik (kasus Mumbai 2008).
Pemerintah wajib menegaskan posisi ini dan berbuat tegas terhadap media massa yang melanggar Pedoman Peliputan Terorisme yang sudah dikeluarkan oleh Dewan Pers untuk tetap menjunjung tinggi kepentingan publik dan turut serta menanggulangi tindak terorisme yang sudah termasuk kejahatan luar biasa.
Saran untuk Media Massa
Media masa jika tidak dikontrol dengan baik akan menjadi berbahaya bagi kelangsungan hidup bernegara, bahkan lebih berbahaya dari terorisme itu sendiri. Prof Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Radikalisme dan Terorisme di Indonesia (2012) menyatakan bahwa :
Ancaman terbesar bukan dari radikalisme dan terorisme Islam (jumlah pengikut radikalisme Islam di Indonesia sangat kecil dibandingkan mayoritas umat Islam Indonesia yang cinta damai), melainkan datang dari teknologi infomasi global dan media massa, yang makin lama makin tidak terkontrol oleh pemerintah, sementara komunitas IT dan media massa sendiri tidak mengembangkan sistem kontrol diri yang kuat.
Pendapat Sarwono (2012) tersebut jelas mengatakan bahwa media massa mempunyai peran yang siginifikan dalam kehidupan bernegara.
Supaya media massa menjadi bermanfaat dan berpihak kepada hal yang positif sesuai fungsinya, maka penulis menyarankan agar media massa melakukan hal sebagai berikut :
- Media massa tetap perpegang teguh terhadap kode etik jurnalistik dan menjalankan fungsi utamanya yaitu fungsi informasi, fungsi hiburan, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial.
- Media massa sebaiknya tidak menampilkan/menyiarkan teknis-teknis tindakan terorisme karena justru dapat menjadi bahan pembelajaran tindakan teror. Media sebaiknya lebih menampilkan dari sisi korban tindakan terorisme.
- Media massa sebaiknya menjadi suatu alat untuk menumbukan rasa nasionalisme dan pluralisme, menjunjung tinggi kebhinekaan sebagai salah satu kekuatan bangsa, tidak menanamkan kebencian terhadap kelompok tertentu atau terlalu memuji-muji kelompok tertentu.
Sementara itu, mengingat perkembangan teknologi internet yang semakin pesat dan terbuka, maka penulis menyarankan sebagai berikut :
- Negara terutama Kementrian Informasi melakukan fungsi pengawasan terhadap situs-situs dan media sosial, agar segera melakukan tindakan jika terdapat konten-konten radikal dan konten yang mendukung aksi terorisme.
- Negara melakukan propaganda anti terorisme melalui media internet sehingga bisa menjawab keingintahuan generasi muda yang potensial direkrut oleh kelompok radikal.
- Negara memberikan insentif/kemudahan khusus bagi kelompok-kelompok sosial masyarakat yang berperan serta melalui media massa atau internet untuk mendukung program kontra terorisme.
Langkah positif yang perlu mendapat apesiasi adalah adanya MOU yang sudah dilakukan antara Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) dengan Komisi Penyiaran Indonesia tentang peningkatan peran media penyiaran dalam mencegah penyebaran faham ISIS pada tanggal 18 September 2015 di Jakarta.
Adanya kerjasama (tidak hanya kontrol) dari pemerintah dengan KPI yang mengawasi media massa penyiaran maka akan menuntun media massa penyiaran dalam melakukan pemberitaan yang positif dan bertindak kepada kepentingan negara.
Selangkah lebih maju hal ini juga bisa dilakukan dalam konteks kontra radikalisme sehingga terjadi social protection di masyarakat terhadap masuknya faham radikal yang berpotensi menjadi tindak terorisme.