Hubungan Ketidaksehatan Jiwa dengan Terorisme
Ketika terjadi peristiwa terorisme, secara umum yang akan menjadi pertanyaan adalah “siapa”? Kata “siapa” di sini adalah merujuk pada pelaku dan korbannya. Aparat penegak hukum secara normatif juga akan mencari jawaban dari pertanyaan “siapa” tersebut.
Dampak dari konsep umum “siapa” tersebut maka peristiwa terorisme akan terhenti pada pengungkapan dan tindakan hukum terhadap pelaku. Hal ini tentu akan berbeda jika pertanyaan diubah menjadi “mengapa”. Mengapa terjadi terorisme? Mengapa X melakukan bunuh diri dengan bom? Mengapa Y mau membunuh demi keyakinannya?
Untuk menjawab pertanyaan “mengapa” perlu dilakukan kajian-kajian latar belakang terjadinya terorisme. Dalam hal ini maka penulis memilih kajian Teori Psikiatrik Ketidaksehatan Jiwa. Penulis tidak memilih pendekatan lain seperti teori filosofis agama karena sudah menjadi perdebatan umum.
Teori Psikiatrik Ketidaksehatan Jiwa dipilih penulis untuk menghasilkan analisis hubungan antara perilaku teroris dengan kesehatan jiwa, sehingga diharapkan dapat dilakukan pendekatan yang tepat untuk mencegah terjadinya peristiwa terorisme di Indonesia. Selain itu teori psikiatrik ketidaksehatan jiwa digunakan untuk menjawab apakah pelaku aksi terorisme mempunyai jiwa yang tidak sehat? Jika ternyata pelaku aksi teroris tersebut cenderung sehat/normal, kenapa aksinya bisa begitu kejam?
Pendapat Umum
Penulis mempunyai pendapat bahwa terorisme muncul karena adanya persepsi terhadap nilai-nilai tertentu yang diyakini benar, dan diluar yang diyakini adalah salah. Untuk mendukung kebenaran dan ketaatan atas nilai tersebut maka dilakukanlah cara-cara kekerasan, yang dianggap sebagai cara paling efektif. Pandangan terhadap suatu nilai merupakan ranah disiplin ilmu psikologi yang berhubungan erat dengan teori psikiatrik ketidaksehatan jiwa. Walaupun penulis yakin bahwa teori ini tidak akan dipakai oleh aparat penegak hukum, mengingat pelaku kejahatan yang mengalami gangguan (ketidaksehatan) jiwa, jika mengacu pada KUHP, tidak bisa dikenai tindakan hukum[1].
Secara umum, hal yang menyebabkan teroris dianggap menderita ketidaksehatan jiwa adalah aksi teror dengan kekerasan bahkan hingga mengakibatkan korban jiwa termasuk jiwanya sendiri (bunuh diri). Teori Psikiatrik Ketidaksehatan Jiwa juga menyatakan bahwa ketidaksehatan jiwa mendorong orang melakukan kekerasan yang ekstrim[2]. Selain itu orang yang mempunyai perilaku fanatik akan berkarakter sadisme dan buas[3].
Dengan penjelasan di atas maka dapat dipahami jia muncul pendapat umum yang mengatakan bahwa pelaku tindak terorisme adalah orang yang menderita ketidaksehatan jiwa. Namun untuk menentukan apakah sesorang menderita ketidaksehatan jiwa tentu saja tidak semudah hanya dengan suatu persepsi, namun perlu observasi yang mendalam dengan prinsip-prinsip psikologi.
Faktor Pendorong Terorisme
Keyakinan yang kuat akan suatu hal yang dianggap kebenaran mutlak membuat pelaku bom bunuh diri rela melakukan aksinya demi menjadi pahlawan sebagai jawaban atas pencarian identitas diri[4]. Untuk menuju keyakinan yang kuat tersebut tentu saja diperlukan proses.
Sarwono (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa para pelaku teror pada awalnya mereka bergabung dengan kelompok belajar Islam di sekolah atau universitas atau di lingkungannya yang didorong oleh keingintahuannya. Sarwono (2012) juga menyebutkan bahwa banyak pelaku yang mempunyai motivasi seperti balas dendam karena keluarganya dibunuh umat Kristen. Motivasi lain adalah para pelaku teror ingin memperbaiki keadaan, yang mereka anggap sebagai tidak adil dan tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Teroris Bukan Psikopat
Prof Sarlito Wirawan Sarwono dalam karyawanya berjudul “Terorisme di Indonesia, Dalam Tinjauan Psikologi” (2012) menyatakan bahwa teroris pelaku bom bali bukan psikopat[5]. Sarlito juga menjelaskan bahwa keterlibatan seseorang dalam aksi teror dipengaruhi oleh lingkungan, seperti faktor kekerabatan, ajakan teman, mengikuti perintah senior, dan sebagainya[6].
Kecenderungan bahwa para pelaku aksi teror dimanfaatkan oleh pihak tertentu juga dijelaskan oleh Sarlito[7]. Yang unik adalah ada kondisi tertentu yang biasanya direkrut sebagai kandidat pelaku bom bunuh diri seperti usia yang cukup muda antara 15-25, penuh dengan kebimbangan, disorientasi, dan secara sosial-psikologis terisolasi[8]. Sarwono (2012) juga menyebutkan bahwa perilaku teror lebih banyak disebabkan oleh sikap yang dipelajari, bukan gangguan jiwa bawaan.
Sarwono (2012) menyimpulkan tidak ditemukan indikasi/simton gangguan jiwa baik dari jenis psikosis maupun antisosial. Penelitian Sarwono ini menentang perkiraan beberapa peneliti Barat (Rehov, 2005; Bizot, 2000). Dalam kasus khusus palaku aksi terorisme dapat dianggap sebagai penderika ketidaksehatan jiwa seperti pada pelaku mutilasi siswi SMA di Poso.
Untuk melakukan aksi teror diperlukan suatu kecerdasan tersendiri. Aksi teror tidak gampang dilakukan begitu saja. Perlu sebuah perencanaan yang matang, menghitung risiko, bahkan teroris juga melakukan simulasi awal untuk memastikan keberhasilan aksi bom bunuh diri tersebut.
Selain kecerdasan, seorang pemimpin aksi teror juga membutuhkan kemampuan organisasi dan kepemimpinan. Para pelaku teror yang telah tertangkap terbukti juga memiliki keluarga dan menjalin hubungan kekerabatan secara normal. Mereka juga mempunyui anak, dan menunjukkan perilaku yang menyangi keluarganya.
Kecerdasan, kemampuan berorganisasi, dan kehidupan berkeluarga yang wajar menunjukkan bukti bahwa para pelaku teror ini adalah orang yang relatif normal, atau tidak tepat jika dikatakan sebagai penderita ketidaksehatan jiwa.
Crenshaw (1998) menyebutkan bahwa tindakan terorisme bukanlah merupakan tindakan yang irasional namun sebagai hasil dari strategic choice, sehingga tindakan kekerasan yang diambil dalam kegiatan terorisme adalah suatu pilihan dan bukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa aksi terorisme dilakukan oleh orang yang rasional.
Penulis juga meyakini bahwa aksi teror dilakukan dengan proses yang panjang. Pelaku akan melakukan operasi klandestin dengan mempelajari sasaran, perkiraan korban, rute yang dilalui, bahkan dampak yang akan terjadi pasti juga sudah diperkirakan. Untuk melakukan hal seperti ini tentu saja diperlukan suatu tingkat kecerdasan tertentu. Meskipun dalam aksi bom bunuh diri bisa saja pelaku tinggal menjalankan dengan instruksi orang lain.
Pengaruh Kelompok sebagai Pendorong Perilaku Kekerasan
Ketika teroris disimpulkan bukan sebagai penderita ketidaksehatan jiwa, lalu bagaimana mereka dapat melakukan aksi yang begitu kejam, membunuh manusia lain, bahkan melakukan bunuh diri hanya untuk mempertahankan keyakinannya? Penulis berpendapat bahwa ketidaksehatan ini bukan pada pribadi pelaku tapi ada pada kelompok pelaku teroris.
Model aksi terorisme biasanya didahului dengan perekrutan, penanaman nilai atau paham-paham (doktrinasi), setelah calon pelaku mempunyai keyakinan yang kuta dan loyalitas yang militan maka baru disusun aksi terorisme yang penuh dengan strategi. Di dalam kelompok inilah calon pelaku aksi terorime memperoleh paham-paham dan doktrin keyakinan bahwa kekerasan adalah cara untuk mencapai tujuannya.
Untuk mempermudah menanamkan paham-paham ini maka calon pelaku dipilih dari orang yang berusia muda (15-25 tahun), dengan kondisi bimbang, krisis identitas, bahkan beberapa pelaku ternyata dasar agamanya tidak kuat.
Kondisi diatas mempermudah masuknya doktrin kekerasan untuk mencapai tujuan. Calon pelaku yang krisis identitas akhirnya mempunyai keyakinan bahwa menjadi pelaku teroris adalah bentuk kepahlawanan untuk memperjuangkan nilai yang dianutnya.
Penulis melakukan wawancara kepada Nasir Abbas, mantan aktifis Jemaah Islamiyah, pada tanggal 2 September 2015, yang menghasilkan informasi bahwa proses perekrutan kelompok radikal terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut:
- Tabligh, (Penyampaian pesan/nasehat secara umum), contoh: Tabligh Akbar, kegiatan pengajian, eks-skul dll
- Ta’lim (Pengajaran)
- Tamrin (Pelatihan)
- Tamhish (Penseleksian)
- Bai’at (melaksanakan bai’at sebagai syarat menjadi anggota)
Dalam tahapan di atas terlihat bahwa ada proses perekrutan secara sistematis kepada para anggota kelompok radikal. Pada fase Ta’lim dan Tamrin adalah fase yang paling mungkin ditanamkan sikap kebencian dan penggunaan kekerasan terhadap orang yang dianggap musuh.
Dari uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kekerasan sebagai ketidaksehatan jiwa bukan merupakan sebagai sebab utama dari tindakan terorisme. Perilaku radikal yang menggunakan kekerasan ditanamkan oleh organisasi dengan doktrinasi bahwa kekerasan adalah jalan untuk mencapai tujuan.
Penutup
Seperti sudah diungkapkan oleh Sarwono (2012) bahwa terorisme bukan psikopat. Mereka mempunyai kecerdasan, mempunyai keluarga, mampu berorganisasi bahkan beberapa terbukti berprestasi ketika menempuh pendidikan.
Ada pelaku aksi terorisme yang sudah teruji sehat mental spiritualnya karena sudah lolos mengikuti pendidikan STPDN seperti Yudi Zulfahri, PNS eks STPDN yang bergabung dengan teroris kelompok Aceh. Anggota Polisi juga sudah ada yang berhasil direkrut oleh kelompok radikal. Syahputra anggota polisi dari Jambi bergabung dengan ISIS pada bulan Maret 2015 dan meninggal di Suriah pada Juni 2015. Untuk masuk menjadi PNS atau anggota Polri tentu harus lolos tes yang membuktikan bahwa orang tersebut tidak mengalami gangguan jiwa.
Para pelaku aksi terorisme melakukan kekerasan karena doktrin dalam kelompok yang mereka ikuti. Kelompok inilah yang sebenarnya mengalami ketidaksehatan.
Penulis berpendapat bahwa karena aktivitas kelompok menjadi penyebab utama perilaku kekerasan, maka untuk mencegah terjadinya terorisme, orang yang berpotensi melakukan aksi terorisme harus dipisahkan dari kelompok tersebut dan dibawa dalam kelompok atau lingkungan yang sehat.
Pemerintah harus berperan aktif untuk melakukan deradikalisasi bagi orang yang sudah menganut paham radikal dengan melakukan pendekatan secara humanis dengan dukungan lingkungan/kelompok yang sehat. Pemerintah juga harus melakukan kegiatan kontra radikalisme untuk membentengi paham radikalisme masuk ke dalam masyakarakat atau orang tertentu yang sedang mengalami krisis identitas.
Mengingat bahwa ada ketidaksehatan perilaku kelompok yang menyebabkan tidak kekerasan dalam aksi terorisme maka perlu dilakukan penguatan kesehatan jiwa masing-masing individu agar tidak mudah didoktrin dengan paham-paham dan ideologi radikal.
*) Stanislaus Riyanta, analis masalah keamanan dan terorisme, menempuh studi pada Program Pascasarjana S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.
Referensi
- Bahan kuliah Terorisme dan Kontraterorisme – Kajian Stratejik Intelijen Universita Indonesia, oleh Prof Adrianus Meliala Ph.D
- Buku “Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi” karya Sarlito Wirawan Sarwono (2012).
- Buku “Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia, Jejak Sang Pengantin Boo Bunuh Diri” karya Bilveer Singh & Abdul Munir Mulkhan.
Catatan Kaki :
[1] Pasal 44 ayat (1) KUHP: “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi:“Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.”
[2] Prof Adrianus Meliala Ph.D, dalam bahan kuliah Terorisme dan Kontraterorisme, S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia
[3] Ibid
[4] Singh & Mulkhan (2012) dalam buku berjudul : Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia, hal 66 menyebutkan “Bagi anak-anak muda, menjadi hero atau pahlawan adalah dambaan mereka sebagai identitas diri. Di sini teologi teror memberi tawaran dan jalan anak-anak muda yang selama ini memperoleh pendidikan agama berbasis logika hitam-putih sehingga mudah dijejali konsep syahid (mati surgawi) sebagai hero.
[5] Sarlito WA (2012), Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi, hal 61-62 menyebutkan bahwa “Namun pertemuan saya pribadi dengan tersangka teroris dan hal-hal yang terungkap dalam video klip tiga pelaku pengeboman di Bali yang diambil beberapa hari sebelum pengeboman, sekaligus juga berdasarkan telaah literatur yang saya lakukan, mengungkapkan tidak ada indikasi ketiga orang tersebut memiliki sakit mental ataupun kelainan kepribadian.
[6] Ibid – lihat halaman XVIII
[7] Ibid – hall 67 “Mereka hanyalah eksekutor yang direkrut dari beberapa pemuda yang haus akan nilai, identitas diri, atau ingin melarikan diri dari lingkungan yang membuat stress. Aktor intelektual, orang yang berada di balik layar, hanya memanfaatkan mereka.
[8] Ibid – hal 69