Liberalisme dan Terorisme

Liberalisme dan Terorisme

Paham liberalisme dalam konteks hubungan international mengarah kepada hubungan antar negara untuk bekerjasama. Selain itu paham liberal mengakomodasi aktor non negara dalam hubungan international. Pengaturan banyak pihak dan banyak faktor dalam hubungan international, oleh paham liberal, dapat diwujudkan dengan pengelolaan oleh lembaga international.

Negara liberal menganggap bahwa dengan majunya peradaban dan diakomodasinya kebebasan, serta ditunjang oleh perkembangan teknologi yang maju pesat, akan membuat konflik semakin tereduksi

Namun tidak selamanya liberalisme menjadi ideal dalam suatu hubungan harmonis skala international. Isu-isu dalam liberalisme seperti kebebasan, kesetaraan sosial, homoseksual, kepemimpinan perempuan, dan gaya hidup memicu perlawanan dari kelompok dengan paham tertentu. Kelompok-kelompok yang mengalami ketidakpastian, sebagai dampak liberalisme, melakukan aksi perlawanan untuk mewujudkan kepastian hidupnya. Perlawanan ini berakibat pada suatu konflik.

“Soft Approach” vs “Hard Approach”

Paul Wilkinson membagi konflik dalam empat kategori yaitu[1]

  1. Pertikaian yang terjadi pasca penarikan koloni, seperti yang terjadi di negara-negara Afrika bekas pendidikan Portugis.
  2. Gerakan separatis atau otonom yang muncul dari perbedaan etnis, agama, dan bahasa yang terus memperjuangkan hak-hak minoritas di seluruh dunia.
  3. Pertikaian ideologis yang umumnya dilakukan oleh keompok-kelompok kecil dengan tujuan menggulingkan penguasa dari dalam.
  4. Kelompok buangan yang berusaha melakukan revolusi terhadap rezim otoriter di tanah air mereka.

Terorisme muncul sebagai salah satu taktik dalam konflik. Konsekuensi sebagai negara liberal adalah penanganan konflik dengan cara yang menghargai hak-hak warga negaranya. Munculnya konflik di negara liberal tentu tidak mudah jika ditangani dengan prinsip-prinsip demokratis dan politis. Pendekatan “soft approach” untuk menangani konflik dengan terorisme sulit dilakukan. Hal-hal seperti negosisasi dan diplomasi tidak cocok untuk menangani aksi teror.

Negara liberal seperti Amerika mengalami titik terendah atas aksi serangan terorisme pada kasus 11 September. Paradigma liberal negara Amerika Serikat ternyata tidak siap menghadapi serangan teror yang mereka anggap hanya akan terjadi di negara dengan budaya yang “rendah”.  Kepanikan Amerika Serikat ini akhirnya diwujudkan dengan menggunakan pendekatan “hard approach” dalam menangani aksi terorisme.

Peperangan terhadap Osama bin Laden di Afganistan yang dianggap sebagai dalang kasus 11 September menunjukkan sifat otoriter Amerika Serikat dalam reaksi atas kasus 11 September. Invansi Amerika Serikat di Afganistan dapat dilihat sebagai tindakan “hard approach” terhadap terorisme.

Isu Liberalisme di Indonesia

Falsafah politik liberalisme berarti melindungi hak-hak warga negara termasuk kebebasan  dalam pemikiran, agama dan keyakinan.  Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram terhadap liberalisme [2]. Perlawanan atas liberalisme ini tampak jelas dalam fatwa haram dari MUI yang dikeluarkan pada tahun 2005[3].

Munculnya fatwa ini adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap aliran Islam Liberal yang dianggap sebagai Islam yang menggunakan pemikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandasi agama.

Liberalisme, dalam konteks agama, dianggap sebagai suatu paham yang bisa memunculkan keraguan atas akidah dan ibadah. Liberalisme yang biasanya muncul berdampingan sekularisme dan pluralisme, membuka peluang pemikiran-pemikiran bebas yang dianggap bisa mendangkalkan akidah.      

Paham liberalisme diduga menjadi salah satu alasan kelompok tertentu untuk melakukan perlawanan secara radikal. Radikalisme muncul sebagai penolakan atas budaya moder/barat yang liberal. Bahkan kecenderungan sekarang terdapat dua kubu Islam di Indonesia yaitu Islam radikal (kanan) dan Islam liberal (kiri). Konflik antara kedua kubu ini tentu dapat berubah menjadi ancaman persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  

Liberalisme berdampak munculnya orang atau kelompok yang lemah, berbeda, tersingkir dan akhirnya melakukan perlawanan dengan cara teror.

Penanganan Terorisme di Indonesia

Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan negara demokrasi, dalam menangangani terorisme lebih mengedepankan aspek non militer. Presiden Indonesia ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono  (2004-2014) yang telah menginisiasi pembentukan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mempunyai strategi untuk mengedepankan elit polisi didukung TNI dalam menangani terorisme[4].

TNI yang berperan pada lapis kedua mempunyai kekuatan dan personel dengan kemampuan anti teror yang sudah teruji. TNI-AD mempunyai Satuan Penanggulangan Teror atau disebut Sat Gultor-81 Kopassus. Detasemen Jala Mengkara yang dimiliki oleh TNI-AL dan Detasemen Bravo-90 yang dimiliki oleh TNI-AU tidak kalah pamor dan kualitas dengan saudaranya di TNI-AD. Personel dari TNI dengan kemampuan anti teror ini terlalu disayangkan jika tidak dimanfaatkan dengan baik oleh negara dalam penanggulangan terorisme.

POLRI sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam penindakan hukum membentuk Satuan Tugas Anti Teror bernama Detesamen Khusus 88 Anti Teror POLRI (Densus 88/AT). Tugas Densus 88/AT adalah menangani segala bentuk ancaman teroris termasuk diantaranya ancaman bom dan penyanderaan. Dalam menangani ancaman dan aksi teroris, Densus 88/AT memerlukan laporan intelijen sebagai informasi awal untuk melakukan tindakan[5].

Kesimpulan

Hubungan antara isu liberalisme dengan terorisme adalah sebagai berikut :

  1. Paham liberalisme membuat ada kelompok atau orang yang merasa lemah, beda, tersingkir, sehingga memunculkan terorisme.
  2. Paham liberal menuntut penanganan terorisme secara “soft approach” yaitu dengan mengedepankan prinsip demokrasi, manusiawi, dan pendakatan manusiawi lain yang berhasil diterapkan di Indonesia dengan konsep deradikalisasi. Sementara Amerika sebagai punggawa paham liberal justru menerapkan pendekatan “hard approach” / militer dalam menuntaskan dendam aksi teroris 11 September, dengan mengadakan peperangan di Afganistan.

(Tulisan ini dibuat sebagai tugas Mata Kuliah : Terorisme dan Kontraterorisme – Program Studi Kajian Ketahanan Nasional, Kekhususan : Kajian Stratejik Intelijen, Pascasarjana Universitas Indonesia – 2015)

Referensi

  1. Paul Wilkinson, “Terrorism and The Liberal States”, (London: The Macmillan Press Ltd, 1977).
  2. AM Hendropriyono, “Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam”, (Jakarta, Penerbit Buku KOMPAS, 2009).
  3. Ansyaad Mbai, “Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia”, (AS Production Indonesia, 2014).

[1] Paul Wilkinson, Terrorism versus Liberal Democracy: The Problem of Response hal 3

[2] M Dawam Rahadjo dalam media online tempo.co tanggal 1 Agustus 2005 menyebutkan bahwa “Fatwa ini bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia” selain itu disebutkan juga bahwa “Latar belakang pengharaman itu agaknya adalah timbulnya aliran Islam Liberal yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah, dengan tokohnya yang paling vokal Ulil Abshar-Abdalla”. Tulisan lengkap bisa dilihat pada

http://nasional.tempo.co/read/news/2005/08/01/05564630/kala-mui-mengharamkan-pluralisme

[3]Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Sekretariat MUI dan Penerbit Erlangga, 2011), disebutkan bahwa Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuaid engan akal pikiran semata.

[4] H. Ansyaad Mbai, dalam Buku Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia hal 137-13 menulis bagaimana Indonesia menghadapi isu ini dengan menggunakan ‘pendekatan lembut’, termasuk empat cabang strategi yang telah diterapkan selama ini (1) membuat kampanye anti-terorisme benar-benar manasional, (2) melibatkan bekas teroris dalam kampanye anti terorisme (3) mengedepankan elite polisi (Densus 88/AT), didukung TNI, memimpin perjuanan melawan teroris, dan; (4) menindak para teroris secara bijaksana dan terbuka.

[5] Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28).

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent