Mengenal Terorisme
Definisi Dasar
Istilah teror menjadi marak dalam beberapa waktu terakhir. Perkembangan terbaru gerakan teror yang dilakukan oleh ISIS turut mempopulerkan istilah ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai “kekerasan yang direncanakan, bermotivasi politik, ditujukan terhadap target-target yang tidak bersenjata oleh kelompok-kelompok sempalan atau agen-agen bawah tanah, biasanya bertujuan untuk mempengaruhi khalayak. (Hudson dan Mejeska, 1992:12)[1].
Beberapa definisi tentang terorisme ternyata tidak jauh beda. Persamaan definisi terorisme adalah dalam penggunaan cara kekerasan untuk mencapai tujuan.
Teror dan Kriminal
Apakah sebuah aksi atau gerakan yang menggunakan kekerasan bisa disebut dengan teror? Sebagai contoh aksi kriminalitas yang marak akhir-akhir ini di Jakarta, begal motor, apakah termasuk dalam kategori tindak terorisme? Dalam buku Terrorism and Organized Hate Crime: Intelligence Gathering, Analysis and Investigations, Third Edition 3rd Edition karangan Michael R. Ronczkowski, dijelaskan perbedaan mendasar antara teroris dengan jenis kriminal jalanan.
Teroris bertempur untuk tujuan politik, sementara pelaku kriminal melakukan tindakannya karena kebutuhan atau kepentingan sesaat. Gerakan teroris dimotivasi oleh ideologi atau agama, berbeda dengan aksi kriminal yang lebih netral. Pola aksi teroris berorientasi pada kelompok, sementara kegiatan kriminal berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Secara kemampuan, teroris adalah orang yang terlatih dan termotivasi oleh sebuah tujuan, berbeda dengan pelaku kriminal yang tidak terlatih. Tujuan dari aksi terorisme biasanya adalah sebuah serangan, sementara pelaku kriminal berorientasi untuk meloloskan diri.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat terbaca dengan jelas bahwa terorisme berbeda dengan aksi kriminal, walaupun dalam beberapa kasus ada persamaan dalam aksi terorisme dengan kriminal seperti sama-sama menggunakan kekerasan.
Tindakan kriminal hanya salah satu cara teroris untuk mewujudkan tujuan utamanya.
Terorisme di Indonesia
Dalam konteks aksi terorisme di Indonesia maka kelompok radikal kanan menjadi pelaku dominan dengan tujuan utama meneruskan perjuangan berdirinya Negara Islam Indonesia[2]. Negara Islam Indonesia sebagai sebuah gerakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Garut Jawa Barat. Cara-cara kekerasan termasuk penggunaan senjata dilakukan oleh kelompok ini untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia.
Kasus-kasus pada era orde baru yang dapat dimasukkan dalam kategori terorisme seperti Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985) merupakan bukti kaum teroris ingin menunjukkan eksistensinya. Dari beberapa kasus di atas maka aksi terorisme yang sangat terkenal adalah aksi pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla pada 28 Maret 1981.
Aksi pembajakan pesawat tersebut berhasil ditumpas oleh RPKAD pimpinan Benny Moerdani dan komandan lapangan Sintong Panjaitan. Aksi pasukan RPKAD tersebut berhasil menewaskan semua teroris/pembajak pesawat (Machrizal, Zukfikar, Wendy Mohammad Zein, Abu Sofyan dan Imronsyah) dan berhasil menyelamatkan semua penumpang, walaupun Pilot dan seorang anggota RPKAD gugur tertembak. Pembajakan pesawat Woyla ini menujukkan bahwa keinginan mendirikan Negara Islam Indonesia sangat kuat dan menggunakan cara-cara kekerasan dengan senjata[3].
Setelah era reformasi dimulai, Indonesia sudah mengalami aksi terorisme selama beberapa kali. Ratusan jiwa tewas dan lebih banyak lagi korban luka di Indonesia akibat aksi terorisme. Tahun 2001 bom meledak di Bali, disusul serangan Bom di Hotel J.W Marriot pada tahun 2003. Kedutaan Australia di Jakarta tak luput dari serangan bom teroris pada tahun 2004. Tahun 2005 Bali mengalami serangan bom dari teroris untuk kedua kalinya. Hotel J.W Marriot dan Ritz-Carlton pada tahun 2009 juga menjadi sasaran bom dari teroris.
Tahun 2010 jaringan teroris pimpinan Abu Tholud melakukan aksi penembakan terhadap warga sipil di Aceh. Selain itu aksi kriminal perampokan bank CIMB Niaga Medan pada September 2010 terbukti adalah aksi dari kelompok teror.
Mulai tahun 2010-2011 ada perubahan sasaran dari kelompok terorisme. Sebelumnya kelompok teroris melakukan aksinya kepada korban yang mempunyai simbol barat dan kafir, sasaran kelompok teroris berubah dengan menjadikan polisi sebagai sasaran.
Bom bunuh diri di masjid Mapolres Cirebon pada 11 April 2011 menewaskan pelaku M.Syarif dan melukai lebih dari 20 korban. Di tahun yang sama bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo melukai 22 korban, pelaku Ahmad Hayat tewas.
Di Solo pada saat pengamanan lebaran September 2012 terjadi penembakan dan pelemparan granat ke beberapa pos polisi yang dilakukan oleh kelompok Farhan.
Di Poso Sulteng pada Oktober 2012 dua anggota Polres Poso ditemukan tewas di hutan Tamanjeka Poso. Menyusul kejadian tiga anggota Brimob Sulteng yang ditembak di kawasan Tambarana pada 20 Desember 2012.
Pada Tahun 2013 Polri secara signifikan melakukan penangkapan pelaku terorisme. Penangkapan secara maraton di Depok, Bandung, Kendal, Kebumen dan Jakarta berhasil membongkar jaringan kelompok Thoriq, Farhan, Hasmi, Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat), dan termasuk kelompok Santoso di Poso (Mujahidin Indonesia Timur). Akhir tahun 2013 Polisi menggenapi aksinya dengan melakukan penyergapan teroris kelompok Dayat di Ciputat Tangerang Selatan dengan menewaskan 6 orang teroris.
Pengaruh ISIS di Indonesia
Peta kelompok dan gerakan teroris di Indonesia mengalami perubahan sejak adanya ISIS. Beberapa deklarasi sebagai pengikut ISIS terjadi di Indonesia. Catatan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme[4] tentang deklarasi dukungan terhadap ISIS dari Indonesia terjadi pada 11 Juli 2014, Abu Bakar Ba’asyir menyatakan bergabung dengan ISIS.
Kelompok Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso di Poso juga melakukan Baiat sebagai pengikut ISIS. Sebelumnya pada 16 Maret 2014, Zaenal Anshori, Ketua Faksi Jatim dan H. Chep Hernawan, Ketua Gerakan Islam Reformis dari Cianjur melakukan deklasi ISIS di Bunderan HI.
Di Bekasi pada 22 Juni 2014 terungkap ada kelompok yang melakukan deklari ISIS. Sementara pada 15 Juli 2014 di Masjid Baitul Makmur Sukoharjo dilakukan deklarasi ISIS yang diikuti oleh ribuan orang adri Forum Pendukung Daulah Islamiyah (FPDI).
Motif Terorisme di Indonesia
Hingga saat ini dari berbagai pelaku teror yang tertangkap, diketahui bahwa motif mereka melakukan teror sebagian besar adalah untuk mewujudkan Negara Islam di Indonesia. Berkembangnya ISIS sedikit mempengaruhi tujuan kelompok teroris dari radikal kanan.
Adanya deklarasi terhadap ISIS menunjukkan bahwa tujuan kelompok radikal kanan bergeser dari yang semula mewujudkan Negara Islam di Indonesia berubah menjadi bagian dari khilafah Islam ISIS.
Kelompok teror di Indonesia yang terdiri dari beberapa kelompok, dengan adanya ISIS membuat kelompok-kelompok tersebut (NII, JI, JAT) seolah-oleh melebur dalam satu tujuan mendukung ISIS karena ada persamaan ideologi dan teologi[5].
Kesimpulan
Gerakan terorisme sudah ada di Indonesia sejak pasca kemerdekaan hingga sekarang dengan motif utama mendirikan negara Islam di Indonesia. Kelompok-kelompok teror di Indonesia yang semula terdiri dari tiga kelompok utama (NII, JI, dan JAT) dengan afiliasi masing-masing, sekarang cenderung melebur dengan mendukung satu kelompok teroris international ISIS.
Kelompok radikal dalam menjalankan aktivitas politiknya menggunakan kekerasan dengan salah satu tujuan untuk melemahkan mental oposisi dan memaksakan tujuannya. Selain itu kelompok ini juga melakukan kejahatan seperti membunuh dan merampok (kriminal) sebagai salah satu upaya/sarana untuk mewujudkan tujuan kelompoknya.
Aksi terorisme di Indonesia harus diwaspadai dan dicegah sedini mungkin mengingat kejadian teror sebelumnya yang memakan korban jiwa tidak sedikit dan berkembangnya jaringan radikal kanan yang semakin eksis terutama dipengaruhi oleh ISIS.
*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
[1] Rex A. Hudson dan Marilyn Majeska (ed), 1999, The Sciology and Phychology of Terrorism, Who Becomes a Terrorist and Why? Federal Research Division, Library of Congres, Washington, diakses melalui pada tanggal 1 September 2015 http://www.loc.gov/rr/frd/pdf-files/Soc_Psych_of_Terrorism.pdf, lih pada halaman 12.
[2] H. Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, hal 12 : Ide gerakan inilah yang diadopsi oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dengan mendirikan Jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara untuk meneruskan perjuangan mendirikan Negara Islam Indonesia yang telah ada sejak 1950-an, dengan menerapkan syariat Islam.
[3] Julios Pour, Benny Tragedi Seorang Loyalis, hal 228: Diungkapkan juga oleh Pangkopkamtib, surat dari Imran Muhammad Zein, pimpinan pembajak Wolyla, kepada Ayatollah Khomeini, surat minta bantuan dengan menggunakan nama Dewan Revolusi Islam Indonesia. Mereka mengaku sebuah gerakan bawah tanah yang ingin menggulingkan rezim Soeharto dan menjadikan Indonesia Negara Islam.
[4] Data diperoleh dari Komjem Pol Drs Saud Usman Nasution, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada Seminar tentang Terorisme Kelompok ISIS di Jakarta Utara.
[5] Terrorism and Organized Hate Crime, Chapter Two : Understanding and defining terrorism page 45.