Peran Intelijen dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Terorisme dapat didefinisikan sebagai sebuah aksi kekerasan terencana dengan motivasi tertentu yang dapat menimbulkan ketakutan pada orang banyak. Kekerasan dalam terorisme bisa terjadi terhadap negara atau terhadap kelompok tertentu. Aksi terorisme bertujuan untuk intimidasi atau memaksakan kepentingan tertentu karena dianggap cara lain sudah tidak mungkin dilakukan.
Selain itu hal tersebut, teroris mempunyai keyakinan bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang diperkuat dengan tafsir keyakinan (misal keyakinan terhadap suatu ideologi) secara parsial. Definisi tersebut linear dengan arti terorisme yang merujuk pada KBBI Pusat Bahasa edisi IV yaitu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).
Aksi Teror
Ratusan jiwa tewas dan lebih banyak lagi korban luka di Indonesia akibat aksi teroris. Tahun 2001 bom meledak di Bali, disusul serangan Bom di Hotel J.W Marriot pada tahun 2003. Kedutaan Australia di Jakarta tak luput dari serangan bom teroris pada tahun 2004. Tahun 2005 Bali mengalami serangan bom dari teroris untuk kedua kalinya. Hotel J.W Marriot dan Ritz-Carlton pada tahun 2009 juga menjadi sasaran bom dari teroris.
Peristiwa terorisme international di Timur Tengah yang dilakukan oleh ISIS lebih mengerikan lagi. Berbagai berita mengabarkan bagaimana aksi ISIS yang penuh kebrutalan dan kekejaman terhadap kelompok dengan ideologi berbeda dan kaum minoritas. Aksi ISIS patut diwasapadai oleh Pemerintah Indonesia mengingat ada beberapa warga negara Indonesia turut hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Para simpatisan ISIS ini jika kembali lagi ke Indonesia tentu akan sangat berbahaya.
Aksi-aksi simultan serangan bom dari teroris di Indonesia dan aksi teroris di negara lain menujukkan betapa kejamnya teroris dalam mencapai tujuan. Pemerintah Indonesia perlu suatu strategi yang komprehensif untuk menangani terorisme. Salah satu strategi adalah dengan menggunakan pendekatan intelijen. Ancaman terorisme di Indonesia tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga luar negeri. Sebagian besar pelaku terorisme di Indonesia adalah warga negara Indonesia yang sudah hijrah ke luar negeri untuk mendapatkan pengalaman dan membangun jaringan secara global.
Dalam konteks aksi terorisme di Indonesia maka kelompok radikal kanan menjadi pelaku dominan dengan tujuan utama meneruskan perjuangan berdirinya Negara Islam Indonesia.[1] Negara Islam Indonesia sebagai sebuah gerakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Garut Jawa Barat. Cara-cara kekerasan termasuk penggunaan senjata dilakukan oleh kelompok ini untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia.
Kasus-kasus pada era orde baru yang dapat dimasukkan dalam kategori terorisme seperti Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985) merupakan bukti kaum teroris ingin menunjukkan eksistensinya. Dari beberapa kasus di atas maka aksi terorisme yang sangat terkenal adalah aksi pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla pada 28 Maret 1981.
Aksi pembajakan pesawat tersebut berhasil ditumpas oleh RPKAD dengan pimpinan Benny Moerdani dan komandan lapangan Sintong Panjaitan. Aksi pasukan RPKAD tersebut berhasil menewaskan semua teroris/pembajak pesawat (Machrizal, Zukfikar, Wendy Mohammad Zein, Abu Sofyan dan Imronsyah) dan berhasil menyelamatkan semua penumpang, walaupun Pilot dan seorang anggota RPKAD gugur tertembak. Pembajakan pesawat Woyla ini menujukkan bahwa keinginan mendirikan Negara Islam Indonesia sangat kuat dan menggunakan cara-cara kekerasan dengan senjata.[2]
Lalu bagaimana langkah pemerintah/negara dalam mencegah dan menanggulangi aksi terorisme mengingat aksi tersebut sudah berulang kali terjadi? Bagaimanakah peran penegak hukum dan aparat keamanan TNI/POLRI dalam mencegah dan menanggulangi aksi terorisme? Secara lebih spesifik adalah bagaimana intelijen negara berperan dalam memberantas aksi terorisme?
Peran Intelijen
Dalam aplikasi sistem pemerintah Indonesia peranan intelijen adalah memberikan peringatan (early detection and early warning system) tentang hal-hal yang berkaitan dengan ancaman terhadap negara dari dalam maupun dari luar. Secara yuridis maka peran intelijen jika diterjemahkan dari tujuan Intelijen Negara yang tertulis dalam UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 5 disebutkan bahwa: Tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.
Secara umum fungsi sebuah organisasi intelijen negara adalah mengamankan kepentingan nasional[3]. Berkaitan dengan terorisme yang terjadi di Indonesia yang merupakan salah satu ancaman yang mengganggu kepentingan nasional, maka intelijen wajib berperan serta dalam mencegah, menanggulangi dan memberantas terorisme. Intelijen tidak memiliki kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Jika intelijen menemukan alat bukti yang menyangkut tentang pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan ancaman keamanan nasional maka dilakukan koordinasi dengan pihak lain seperti kepolisian untuk penegakan hukum.
Berdasarkan tugas dan kewenangannya maka intelijen mempunyai peran yang sangat vital dalam penganggulangan terorisme. Sesuai dengan Pasal 7 UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara maka ruang lingkup intelijen negara adalah Intelijen dalam negeri dan luar negeri, Intelijen pertahanan dan/atau militer, Intelijen Kepolisian, Intelijen penegakan hukum, dan Intelijen kementrian/lembaga pemerintah nonkementrian.
Intelijen pertahanan/militer di Indonesia berada dalam organisasi BAIS (Badan Intelijen Strategis TNI). Dalam organisasi BAIS TNI, yang sudah mempunyai sejarah perkembangan cukup panjang dan berpengalaman, terdapat potensi intelijen yang sangat besar. Intelijen militer adalah unsur yang sudah lama ada dan terlatih beriringan dengan masa keberadaan negara Indonesia. Setelah peristiwa reformasi 1998 keberadaan intelijen militer di tubuh TNI mulai terduksi mengikuti TAP MPR NO. VII/2000 yang menyebutkan bahwa peran TNI merupakan alat pertahanan negara, bertugas pokok mempertahankan negara. Hal ini sangat tegas untuk membagi kewenangan dengan POLRI yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dan keutuhan wilayah NKRI. Dengan landasan ini maka ancaman terorisme menjadi tugas utama Polri untuk menanganinya.
Presiden Indonesia ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) yang telah menginisiasi pembentukan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mempunyai strategi untuk mengedepankan elit polisi didukung TNI dalam menangani terorisme[4]. TNI yang berperan pada lapis kedua mempunyai kekuatan dan personel dengan kemampuan anti teror yang sudah teruji. TNI-AD mempunyai Satuan Penanggulangan Teror atau disebut Sat Gultor-81 Kopassus. Detasemen Jala Mengkara yang dimiliki oleh TNI-AL dan Detasemen Bravo-90 yang dimiliki oleh TNI-AU tidak kalah pamor dan kualitas dengan saudaranya di TNI-AD. Personel dari TNI dengan kemampuan anti teror ini terlalu disayangkan jika tidak dimanfaatkan dengan baik oleh negara dalam penanggulangan terorisme.
POLRI sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam penindakan hukum membentuk Satuan Tugas Anti Teror bernama Detesamen Khusus 88 Anti Teror POLRI (Densus 88/AT). Tugas Densus 88/AT adalah menangani segala bentuk ancaman teroris termasuk diantaranya ancaman bom dan penyanderaan. Dalam menangani ancaman dan aksi teroris, Densus 88/AT memerlukan laporan intelijen sebagai informasi awal untuk melakukan tindakan[5].
Intelijen menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana terorisme. Bukti awal dari laporan intelijen memberikan kewenangan Densus 88/AT untuk melakukan penangkapan. Fungsi intelijen dalam struktur organisasi dari Densus 88/AT sangat strategis. Densus 88/AT dalam organisasinya memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen (Subden), yakni: Subden Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan.
Di bawah Subden terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88/AT, seperti pada Subden Intelijen terdapat Unit Analisa, Deteksi, Unit Kontra Intelijen, pada Subden Penindakan terdapat Unit Negoisasi, Pendahulu, Unit Penetrasi, dan Unit Jihandak. Sedangkan pada Subden Investigasi membawahi Unit Olah TKP, Unit Riksa, dan Unit Bantuan Teknis, terakhir pada Subden Bantuan terdapat Unit Bantuan Operasional dan Unit Bantuan Administrasi.
Personel Densus 99/AT sudah dilengkapi kemampuan intelijen pengamanan. Kemampuan tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam menangani terorisme. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat negara dalam menangani terorisme sering kali membuat berbagai pihak cenderung resisten. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan analisis-analisis dan metode intelijen sehingga menjadi bahan acuan dalam melakukan operasi penanaganan terorisme yang lebih tepat sasaran dan humanis dengan tetap mengedepankan keselamatan rakyat di atas segalanya.
Perspektif intelijen dalam penanggulangan terorisme diperlukan dalam spektrum strategis. Kemampuan intelijen untuk mencari informasi, mengolah informasi dan menyajikan informasi untuk pengambilan keputusan sangat diperlukan dalam mendukung langkah-langkah penanggulangan terorisme. Informasi intelijen sangat diperlukan mengingat aksi terorisme disusun dan dilakukan secara tertutup dengan metode klandestin (kegiatan rahasia).
Kelompok terorisme bergerak secara rahasia. Untuk membaca dan menganalisis gerakan tersebut diperlukan kemampuan intelijen dan kontra intelijen. Hal ini tentu harus dilakukan oleh petugas yang cakap dan kompeten sehingga dalam penindakan dan penanggulangan terorisme dapat dilakukan secara tepat dan efektif.
Salah satu usaha efektif untuk mencegah terorisme adalah dengan deradikalisasi. Secara sederhana deradikalisasi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk membuat orang tidak radikal. Sasaran dari program deradikalisasi adalah teroris yang sudah tertangkap, bekas teroris, kelompok potensial yang bisa direkrut teroris maupun masyarakat umum.
Kerjasama Antar Lembaga
Deradikalisasi dilakukan sebagai upaya pendamping penanggulangan teroris dengan cara hard approach yang telah berhasil dilakukan oleh Densus 88/AT. Program deradikalisasi di Indonesia dijalankan oleh BNPT[6]. Untuk menjalankan program ini BNPT bekerja sama dengan banyak pihak seperti ulama, lembaga pendidikan, Ormas, instansi pemerintah, dan masyarakat umum. Peran intelijen dalam proses deradikalisasi sangat penting. Metode intelijen seperti penggalangan sangat tepat dilakukan untuk mengubah opini kelompok dari radikal menjadi tidak radikal. Penggalangan sangat tepat dilakukan karena tidak mengandung unsur kekerasan yang bisa dianggap melanggar HAM.
Deradikalisasi akan menitik beratkan pada akar masalah pelaku terorisme. Pendekatan persuasif dengan mengedepankan tokoh agama, pendidik, budayawan, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan lembaga lain yang ada diharapkan dapat mengubah persepsi dan konsep aksi radikal menjadi tidak radikal. Tokoh agama menjadi kunci program deradikalisasi mengingat terorisme dan kekerasan terjadi karena sempitnya pemahaman tentang jihad[7]. Aksi kekerasan oleh teroris dianggap benar mengatasnamakan jihad.
Petugas intelijen yang sudah tersebar di seluruh Indonesia dapat diberi tugas untuk mendeteksi potensi-potensi kelompok yang radikal. Dengan kemampuan penggalangan maka petugas intelijen dapat dimanfaatkan untuk menjalankan deradikalisasi terhadap sasaran sehingga potensi kelompok radikal tidak berkembang menjadi aksi terorisme.
Densus 88/AT sudah teruji dalam penanganan kasus terorisme di Indonesia. Kemampuan personel Densus 88/AT tidak perlu diragukan lagi. Namun perlu diwaspadai adalah pola gerakan kelompok radikal/teroris yang semakin berkembang. Dalam 2-3 tahun lagi diperkirakan simpatisan ISIS dari Indonesia yang ikut bergabung di Suriah akan kembali di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak bisa dianggap sepele karena para simpatisan ISIS tersebut berpotensi membuat sel-sel baru sebagai kekuatan untuk melakukan teror.
Kemampuan intelijen dari BIN, BAIS, Imigrasi, Polri, dan lembaga lain harus dimanfaatkan dengan baik untuk mengantisipasi ancaman terorisme. Bahkan lembaga PPATK juga perlu dilibatkan untuk melakukan analisis transaksi keuangan. Hal ini untuk mendeteksi aliran dana dari para donatur sebagai dana kegiatan terorisme. Salah satu cara efektif untuk melemahkan aksi terorisme adalah dengan memutus aliran dananya, tentu saja untuk melakukan pemutusan dana perlu dilibatkan PPATK.
Penutup
Untuk mencegah tumpang tindih atau konflik kepentingan antar organisasi intelijen maka Badan Intelijen Negara mempunyai fungsi sebagai koordinator intelijen negara[8]. BIN harus mampu mewujudkan amanat konstitusi menjadi koordinator intelijen negara. Organisasi intelijen seperti BAIS TNI sebagai pengelola intelijen pertahanan, Intelijen Kepolisian, Intelijen Imigrasi, dan organisasi intelijen lainnya harus mampu bersinergi secara produktif untuk menyajikan informasi bagi BNPT dalam konteks penanggulangan terorisme. Ego sektoral antar lembaga intelijen harus dilunturkan demi kepentingan nasional.
UU No 17 tahun 2011 dapat diletakan sebagai tonggak reformasi intelijen. Penanggulangan terorisme yang saat ini menjadi domain Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tidak bisa lepas dari fungsi intelijen. BIN sebagai koordinator intelijen negara dan BAIS menangani intelijen militer dan sudah mempunyai perangkat yang cukup kuat harus lebih dimanfaatkan potensinya secara maksimal oleh BNPT terutama dalam rangka melakukan deteksi dini, peringatan dini, pencegahan, penanggulangan dan deradikalisasi terorisme.
*) Stanislaus Riyanta, peneliti dan editor di jurnalintelijen.net, menempuh studi Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen di Universitas Indonesia
[1] H. Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, hal 12 : Ide gerakan inilah yang diadopsi oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dengan mendirikan Jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara untuk meneruskan perjuangan mendirikan Negara Islam Indonesia yang telah ada sejak 1950-an, dengan menerapkan syariat Islam.
[2] Julios Pour, Benny Tragedi Seorang Loyalis, hal 228: Diungkapkan juga olek Pangkopkamtib, surat dari Imran Muhammad Zein, pimpinan pembajak Wolyla, kepada Ayatollah Khomeini, surat minta bantuan dengan menggunakan nama Dewan Revolusi Islam Indonesia. Mereka mengaku sebuah gerakan bawah tanah yang ingin menggulingkan rezim Soeharto dan menjadikan Indonesia Negara Islam.
[3] Supono Soegirman dalam buku berjudul Intelijen Profesi Unik Orang-Orang Aneh hal 10 mengatakan bahwa pengertian intelijen sebagai organisasi adalah “struktur formal dalam sebuah negara sebagai wadah sejumlah sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan ketrampilan khusus dengan karakteristik khusus yang secara umum bersifat tertutup, bertujuan mengamankan kepentingan nasional”
[4] H. Ansyaad Mbai, dalam Buku Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia hal 137-13 menulis bagaimana Indonesia menghadapi isi ini dengan menggunakan ‘pendekatan lembut’, termasuk empat cabang strategi yang telah diterapkan selama ini (1) membuat kampanye anti-terorisme benar-benar manasional, (2) melibatkan bekas teroris dalam kampanye anti terorisme (3) mengedepankan elite polisi (Densus 88/AT), didukung TNI, memimpin perjuanan melawan teroris, dan; (4) menindak para teroris secara bijaksana dan terbuka.
[5] Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28).
[6] http://www.damailahindonesiaku.com/suara-cegah-terorisme/139-deradikalisasi-terorisme.html, untuk meng atasi masalah radikalisme dan terorisme, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melakukan deradikalisasi dengan melibatkan banyak pihak mulai dari kementerian dan lembaga, Polri, TNI, perguruan tinggi, hingga masyarakat sipil seperti ormas dan LSM. Desain Deradikalisasi memiliki empat komponen yaitu reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi.
[7] H. Ansyaad Mbai dalam Buku Dinamika Baru dalam Jejaring Teror di Indonesia hal 169: Sebagaimana diketahui bahwa aksi-aksi radikal terorisme terjadi tidak lepas dari sempitnya pemahaman tentang jihad dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Pemaknaan-pemaknaan yang tekstual dan tanpa dibarengi kajian tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran) dan asbab al-wurud (sebab-sebab turunnya hadis) serta makna kontekstual dari ayat-ayat Al Quran dan Hadis, turut menyumbang kemunculan aksi-aksi radikal-teror yang mengatasnamakan jihad.
[8] lih pasal 28 ayat 2 UU No 17 Tahun 2011 : Selain menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Intelijen Negara menyelenggarakan fungsi koordinasi Intelijen Negara