Intelijen dan Kepentingan Nasional, Studi Kasus Trikora 1961

Intelijen dan Kepentingan Nasional, Studi Kasus Trikora 1961

Kepentingan Nasional sebuah negara tidak selalu bisa dijalankan secara terbuka. Sebagai contoh kegiatan infiltrasi ke daerah lain yang sedang dalam sengketa, harus dilakukan secara tertutup untuk menjaga aksi tandingan dari pihak lain. Kegiatan intelijen adalah metode yang tepat untuk mencapai kepentingan nasional secara lebih taktis dan efisien daripada metode lain seperti perang terbuka yang akan menguras tenaga dan biaya lebih banyak.

Tanggal 19 Desember 1961, Bung Karno mengumumkan Tri Komando Rakyat yang berisi (1) gagalkan pembentukan Papua, negara boneka Papua bikinan Belanda (2) kibarkan Merah Putih di Irian Barat, wilayah tanah air Indonesia (3) bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan tanah air dan bangsa. Dalam hal ini Kepentingan Nasional Indonesia adalah membebaskan Papua dari sengketa dengan pihak Belanda

Bung Karno membentuk Komando Mandala untuk mensukseskan kepentingan Indonesia di Papua. Komando Mandala dipimpin oleh Mayor Jendral Soeharto. Pada saat pembentukan Komando Mandala terjadi insiden Laut Arafura.

Pihak Indonesia menyadari banya kekuatan Indonesia belum mampu untuk menandingi kekuatan Belanda. Maka opsi yang dipilih adalah infiltrasi tertutup dengan model lintas udara. Saat itu Kapten Benny Moerdany yang baru saja menyelesaikan pendidikan lintas udara dari Amerika ditunjuk sebagai komandan pasukan. Tugas Benny Moerdani sesuai arahan dari Ahmad Yani adalah “memberikan dukungan kepada para diplomat kita dalam berunding dengan Belanda. Kita harus membuktikan, punya wilayah yang berhasil kita rebut.”[1]

Benny Mordani merencanakan akan menguasai Merauke dengan metode inflitrasi dengan lintas udara. Hitung-hitungan Benny adalah dengan menguasai Merauke maka Belanda akan mengerahkan pasukan besar-besaran ke Merauke karena di Merauke berkumpul anak istri Belanda. Pengerahan pasukan Belanda ke Merauke akan membuat pertahanan Belanda di wilayah lain jadi terbuka. Merauke hanya dipertahankan 200 pasukan Belanda, sementara anggota keluarga Belanda sejumlah 2000 orang.

Tim penerjunan ke Merauke yang dipimpin Benny terdiri dari 206 pasukan terdiri daro 56 RPKAD dan 150 anggota Yon 530/Para Kodam VIII Brawijaya. Walaupun terjadi kesalahan penerjunan pasukan pada Sabtu 23 Juni 1962 yang seharusnya dropping zone di wilayah Merauke ternyata diterjunkan 30 km arah utara dari sasaran. Beberapa pasukan tewas dalam penerjunan di malam hari ini. Tetapi kemampuan Benny Moerdani untuk memimpin pasukan dengan baik dapat melakukan konsilidasi dengan cepat.

Tanggal 28 Juni 1962 ketika perjalanan pasukan menuju Merauke, pasukan Benny melakukan kontak senjata denganKoninklijke Mariniers. Taktik perang gerilnya pasukan Benny berhasil, Belanda dipukul mundur dan kembali ke Merauke.

Tanggal 2 Juli 1962 ada kabar bahwa Belanda dalam waktu singkat akan bersedia menyerahkan Irian Barat. Tanggal 1 Oktober 1962 kekuasaan Belanda di Irian Barat berakhir. Namun sayang kabar tersebut tidak sampai ke pedalaman Merauke. Pasukan Benny masih menekan pertahanan Marinir Belanda.

Kekuatan Indonesia jika dihadapkan secara frontal dengan pasukan Belanda di atas kertas pasukan Belanda lebih unggul, namun dengan metode infiltrasi dengan mengedepankan intelijen dan perang gerilya pasukan Indonesia berhasil menekan pasukan Belanda di Merauke.

Kepentingan Nasional Indonesia untuk merebut kembali Irian Barat dari Belanda akhirnya tercapai dengan salah satu faktor pendukung pasukan Benny di Merauke.

 

[1] lih halaman 86 buku Jolius Puor, Benny Tragedi Seorang Loyalis, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2007

Print Friendly, PDF & Email

Share This:

jurnalintelijen

Subscribe

verba volant scripta manent